Khilafah, Mitos Menggebuk Lawan Politik?
Dan ujaran mengenai ‘intoleran’, ‘pendukung khilafah’, bisa jadi merupakan mitos yang diciptakan untuk menggebuk lawan politik.

MONDAYREVIEW.COM – Hizbut Tahrir Indonesia telah resmi dibubarkan oleh pemerintah. Ide-ide Khilafah dipercaya melanggar konstitusi serta peraturan perundangan yang ada di Indonesia. Pemerintahan Jokowi-JK pun telah memberikan payung hukum untuk membubarkan HTI yakni melalui Perppu Ormas.
Langkah isolasi terhadap pendukung HTI pun telah dilakukan baik di lingkup pemerintahan daerah ataupun perguruan tinggi. Sementara itu pihak HTI dan beberapa tokoh mengkritisi pembubaran yang dilakukan.
Bara polemik yang masih hangat tersebut kembali disulut. Kali ini melalui pidato Ketua Fraksi NasDem DPR, Victor Laiskodat di Kupang, NTT. Dalam penggalan pidatonya yang tersebar di media sosial, Victor diantaranya mengaitkan dengan peristiwa PKI 1965. Berikut nukilan pidato dari Victor Laiskodat:
Negara khilafah tidak boleh ada perbedaan semua harus salat. Saya tidak provokasi, tetapi orang Timur yang semua itu berarti tunggu nanti negara hilang kita bunuh pertama mereka, sebelum kita dibunuh (warga tertawa). Ingat dulu PKI 1965, mereka tidak berhasil, kita yang eksekusi mereka. Lu telepon lu punya ketua umum di sana, suruh jangan tolak-tolak itu Perppu yang melarang untuk.. Perppu Nomor 2 tahun 2017.
Victor pun menuding empat partai politik yang berbeda pandangan dalam presidential threshold sebagai pendukung berdirinya khilafah di Indonesia.
"Mau bikin satu negara, dong mau di negara NKRI, dong mau khilafah. Ada sebagian kelompok ini yang mau bikin negara khilafah," ujar Victor dalam video tersebut.
Lalu Victor melanjutkan, kelompok-kelompok ini mendapat dukungan politik dari partai. Setidaknya ada empat partai yang disebut Victor mendukung terbentuknya khilafah.
"Celakanya partai pendukung ada di NTT. Yang dukung khilafah ini ada di NTT itu nomor satu Partai Gerindra, nomor dua itu namanya Demokrat, partai nomor tiga itu PKS, nomor empat itu PAN. Situasi nasional ini partai mendukung kaum intoleran," tegasnya.
Apa yang diungkapkan oleh Victor tersebut tentu ibarat melemparkan bara ke hubungan antara partai politik yang ada. Jangan-jangan hal ini bagaikan meng-copy paste yang dilakukan di era Orde Baru. Bahwa yang berseberangan secara pendapat, pemikiran, “dikaramkan secara opini” melalui labelling. Ekstrem kanan, ekstrem kiri, antipembangunan menjadi labelling tersebut pada masa Orde Baru. Dan ujaran mengenai ‘intoleran’, ‘pendukung khilafah’, bisa jadi merupakan mitos yang diciptakan untuk menggebuk lawan politik.
Tentu praktik ini tidak sehat secara politik. Demokrasi memiliki etika dan cara-cara penyelesaian konfliknya. Jika cap, stempel negatif dilekatkan kepada kubu yang berseberangan secara pendapat, jangan-jangan secara substansial negeri ini tengah memutar jarum demokrasinya ke era non demokratis.