Keutamaan Ilmu

MONITORDAY.COM - Saya masih dapat mengingat kata-kata seorang Pemenang Hadiah Nobel dalam Fisika yang berasal dari sebuah Negara di Eropa, dia mengatakan: “Salam apakah anda sungguh-sungguh berpendapat bahwa kami mempunyai kewajiban untuk menolong, membantu, dan mempertahankan hidup bangsa-bangsa yang tidak pernah menciptakan ilmu pengetahuan atau menambah satu titik pun pada pembendaharaan ilmu itu?”.
Demikian Profesor Dr. Abdussalam peraih Nobel bidang Fisika atas penemuan teori “Unifikasi Gaya” dalam fisika teoritis sekitar tahun 1979 yang tertuang dalam tulisannya “Sains dan Dunia Islam” disampaikan pada Simposium Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa tentang kreativitas Ilmiah di Negara-negara Arab dan Islam tahun 1981.
Betapa sakit dan pedihnya hati Profesor Abdussalam mendengar perkataan itu. “Dan sekalipun seandainya ia tidak mengatakan hal ini, harga diri saya menderita nyeri yang sangat bilamana saya memasuki sebuah rumah sakit dan menemukan bahwa hampir tiap obat penyelamat hidup masa kini yang manjur,mulai dari penisilin ke atas telah diciptakan tanpa masukan saham dari Dunia Ketiga, atau Negara-negara Arab atau Ummat Islam.” (Sains dan Dunia Islam: 30-31).
Empat puluh tahun sudah perasaaan sedih dan jeritan hati seorang muslim peraih hadiah Nobel ini di suarakan, namun penciptaan ilmu semangat berkontribusi dalam pembendaharaan ilmu di dunia Islam belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
Tersurat dalam Al-Quran bahwa perubahan yang terjadi baik pada setiap diri, kelompok masyarakat, maupun bangsa tidak akan berlangsung secara otomatis. Perubahan sangat tergantung pada ikhtiar yang dilakukannya.
Allah berfirman: “Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS.Ar-Ra'd Ayat 11).
Mengapa gairah mengembangkan Ilmu dan semangat berkontribusi dalam menambah khazanah ilmu dikalangan kaum muslimin seperti kurang bergairah? Bagaimana ajaran Islam memposisikan ilmu dan orang-orang berilmu?
Bila sejenak menengok ke belakang terutama pada masa awal perkembangan dan penyebaran Islam. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam bahwa begitu luar biasa semangat menemukan dan mengembangkan ilmu serta berkontribusi dalam menambah khazanah ilmu, bahkan membangun pondasi-pondasi sains di kalangan masyarakat Muslim.
Hampir dalam berbagai bidang sains, antara lain; Kimia, Fisika, Matematika, Astronomi, Geografi, Kedokteran, Sosiologi ada jejak kontribusinya. Betapa banyak Ilmuwan muslim yang terkenal baik di lingkungan masayarakat Muslim maupun masyarakat Barat seperti: Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusdyi, Al Khawarizmi, Ibnu Khaitam, Ibnu Khaldun, Al Biruni, dan yang lainnya.
Sebenarnya, terlepas dari sekian banyak perbedaan-perbedaan yang tampak di permukaan, nilai-nilai yang lebih dalam dan permanen memiliki kesamaan antara Barat dan Islam adalah penghargaan pada Sains (ilmu pengetahuan). Demikian Akber S. Ahmed mengungkapkan dalam bukunya “From Samarkand to Stornoway: Living Islam”.
Jika Barat dan Islam memiliki persamaan yang permanen, yaitu penghargaan terhadap Ilmu, idealnya saat ini kondisi umat Islam dalam penemuan, pengembangan, dan kontribusi khazanah ilmu sejajar dengan dunia Barat. Apalagi secara historis, Islam tidak memiliki sejarah kelam dalam konteks penciptaan dan pengembangan ilmu, demikian pula dengan sikap dan tindakan terhadap ilmuwan, bila di bandingkan dengan dunia Barat.
Tidak diragukan lagi bahwa bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber segala ilmu. Ilmu-ilmu yang tercantum dalam Al-Qur’an bukan hanya berfungsi untuk menjadi pedoman dalam mejalankan tugas sebagai hamba Allah tetapi juga menjadi panduan dalam menjalankan tugas sebagai khalifatullah fil ardh. Dalam konteks kehambaan Al-Qur’an memuat ayat-ayat berkenaan dengan legislatif, sementara dalam konteks kekhalifahan Al-Qur’an mengungkapkan isyarat-isyarat ilmiah.
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus: “Tidak ada yang lebih menekankan pentingnya sains (dalam bahasa arab tidak ada kata lain untuk sains kecuali “ilm”) dari pada kenyataan bahwa ayat-ayat legislatif dalam Al-Qur’an hanya berkisar sekitar 250 ayat saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an (hampir seperdelapan seluruh isinya) menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari Alam Semesta untuk berpikir, untuk menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, dan untuk menjadikan kegiatan ilmiah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ummat.”
Gambaran perbandingan ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, gairah penciptaan, pengembangan, dan berkontribusi dalam menambah khazanah ilmu khususnya sains dikalangan kaum muslimin, sangat relevan dengan sejauh mana kaum muslimin memperlakukan Al-Qur’an, bagaimana metode yang digunakan dalam mempelajarinya, dan prioritas ayat-ayat yang dipelajarinya.
Gambaran sikap umat islam terhadap Al-Qur’an membutuhkan studi yang mendalam. Hal ini disebabkan umat islam sejak abad pertama hijriah banyak menitik beratkan pada masalah bacaan, tajwid, dan terpaku pada hafalan teks-teks Al-Qur’an semata, dan tidak begitu mementingkan aspek dialogisnya sehingga mengakibatkan ketertinggalan ummat dari bangsa-bangsa lain. (Syaikh Muhammad Al Gazali “Kayfa Nata’amal ma’al Qur’an” [terjemahan]:15).
Aspek dialogis dalam membaca Al-Qur’an memudahkan pembacanya menangkap pesan moral universal yang terkandung di dalamnya. Disamping itu, mengutamakan aspek dialogis akan menjadi pemicu dan meningkatkan motivasi dalam merefleksikan pesan-pesan universalnya.
Sebagai contoh, ketika Al-Qur’an menginformasikan bahwa betapa tidak berkenannya Allah terhadap siapapun yang berkativitas tanpa Ilmu. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 36:“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
Dan relevan dengan ayat ini, Rasulullah SAW bersabda tentang jaminan orang yang selalu mencari ilmu untuk bekal hidupnya: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya." (HR. Muslim).
Pesan-pesan moral ini menjadi pemicu dan motivasi kaum muslimin untuk tidak menjadi taklid (mengikuti orang lain tanpa ilmu) dan menikmati hasil karya umat lain. Pesan-pesan moral ini serta merta akan menjadi pemicu bagi pembacanya untuk berlomba dalam kebaikan terutama dalam mencari, menemukan, menciptakan, dan mengembangkan, serta berkontribusi dalam khazanah ilmu. (Bersambung)