Ketika Beda Tak Lagi Indah

Di Tanwir Muhammadiyah 1960, Buya Hamka terlibat debat panas dengan Kiai Farid Ma'ruf. Penyebabnya, Hamka tak setuju Moelyadi masuk dalam lingkaran Istana.

Ketika Beda Tak Lagi Indah
Ilustrasi Foto/Truffelpix
Sekali konflik terjadi, susah untuk merekatkan kembali keutuhan.

BERBEDA itu anugerah, berbeda itu menciptakan harmoni yang indah. Demikian beberapa frase yang biasa kita ungkapkan kala menanggapi fakta keberbedaan masyarakat Indonesia. Sampai-sampai kita lelap dalam lantunan indah keberbedaan itu. Seolah, tak ada lagi negara di dunia ini yang multikultural, multietnis, multi ras, atau multitheis selain Indonesia.

Hingga akhirnya, sampailah kita pada masa dimana beda itu menjadi tak biasa. Beda itu nestapa. Bahkan beda itu karma. Paling tidak itu kita jumpai di ruang-ruang digital terutama media sosial saat ini.

Sebutan bayaran, kolot, dungu, do’a tentang keburukan, atau bahkan sumpah serapah betapa mudahnya masih saja keluar dari mulut orang-orang yang sekian lama sebetulnya tertata secara baik dalam keberbedaan.

Ya, polarisasi Pemilu 2019 ternyata telah menaikkan level keterbelahan masyarakat. Peneliti senior Populi Center Afrimadona menjelaskan, tren polarisasi meningkat secara bertahap pada Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, hingga Pemilu 2019. Menurutnya, permainan politik identitas menjadi salah satu pemicunya.

“Ketika isu identitas dimainkan, politik menjadi sangat personal. Sehingga politik dilihat secara emosional, bukan rasional lagi,” ujarnya.

Dan anehnya, sangat sedikit orang, atau mungkin tidak ada orang yang berani bersikap di tengah pada Pemilu 2019. Padahal, seperti diungkap Pramono Ubaid dari KPU, bahwa kekuatan tengah itu sangat penting untuk membangun iklim persaingan politik yang beradab.

“Yang di tengah itu KPU yang dipukul kanan-kiri. Dikira pro sini, dikira pro sana,” tutur Komisioner KPU serta penulis buku ‘Kebangkitan Politik Santri’ ini.

Sebaliknya, jika tidak ada yang berani bersikap di tengah, maka seperti yang kita telah saksikan, perbedaan pandangan pun menimbulkan efek buruknya. Perang mulut di media sosial adalah yang terburuk, lalu turunannya, adalah kasus bentrokan masa di beberapa daerah sepanjang Pemilu 2019 berlangsung.

Terkini, seorang pemuda terpaksa harus diringkus lantaran memproduksi dan menyebarkan video ancaman kepada salah satu pasangan calon presiden.

Para pendahulu kita, sesungguhnya telah memberikan contoh bagaimana sejatinya perbedaan harus dihadapi. Terutama di tahun 1955 hingga tahun 1960-an. Masa dimana ummat harus dihadapkan dengan keterbelahan akibat Pemilu tahun 1955. Ini tak lepas dari para kandidat partai yang beragam secara ideologis, dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), hingga partai buruh.

Meski pemilu pertama itu berlangsung damai, namun sebetulnya masyarakat Indonesia tengah mengalami tren polarisasi hampir di semua level masyarakat, seperti yang kita rasakan saat ini. Tak terkecuali dalam tubuh Muhammadiyah. Dalam sebuah tulisan untuk Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, Djarnawi Kusuma mendeskripsikan perjumpaan mengharukan Buya Hamka dan Kiai Farid Ma’ruf di Forum Tanwir Muhammadiyah tahun 1960, pasca perdebatan keduanya dalam menyikapi kepemimpinan nasional.

Menurut Djarnawi, di tahun-tahun pasca Pemilu 1955, tepatnya jelang Tanwir Muhammadiyah 1960, terjadi kehebohan di kalangan Muhammadiyah. Penyebabnya, Pak Moelyadi Djoyomartono diangkat Bung Karno sebagai menteri sosial. Padahal, hubungan Muhamadiyah dan Bung Karno sedang tidak baik, lantaran dibubarkannya Masyumi.

Kalangan Muhammadiyah, termasuk Buya Hamka menganggap, pemberian jabatan tersebut hanya akan membuat Muhamadiyah bertekuk lutut di kaki Soekarno. Sementara kalangan lainnya, termasuk Kiai Farid melihat ada sisi lain dari penunjukkan Pak Moelyadi, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan Muhammadiyah.

Puncaknya, Hamka menulis di Harian Abadi berjudul, Maka Pecahlah Muhammadiyah. Hamka menyatakan, ada dua golongan dalam Pimpinan Pusat yaitu golongan istana dan luar istana. Hamka bahkan menyebut Farid Ma’ruf sebagai golongan istana karena selalu berusaha membawa Muhammadiyah ke lingkaran Istana.

Pengaruh tulisan Hamka amat luas. Selain karena ditulis di Harian besar saat itu, juga karena kepopuleran Buya Hamka yang juga tengah moncer. Kulminasinya, sebagian besar warga Muhammadiyah menyudutkan Farid Ma’ruf dan Moelyadi.

Dalam Sidang Tanwir di Gedoeng Muhammadiyah Yogyakarta, Hamka dipersilahkan tampil ke mimbar lebih dahulu untuk menjelaskan tulisannya di Harian Abadi, sekaligus sebagai pertanggungjawabannya.

Semua mata memandang ke arah Hamka. Gedoeng Muhammadiyah hening sesaat, menunggu kalimat apa yang kiranya keluar dari pria kinasih itu. Dengan tenang, Hamka mulai berjalan dan menuju mimbar. Ia seperti telah menyiapkan setumpuk alasan atas tulisan dan sikapnya tersebut. Para pendukung Hamka harap-harap cemas, namun siap mendukung apa pun yang keluar dari mulutnya.

Di sudut lain, tampak Kiai Farid Ma’ruf tengah duduk dengan setumpuk map berisi berkas-berkas. Sepertinya, ia sudah menyiapkan segalanya, kalau-kalau diminta menjelaskan sikapnya selama ini. Seandainya Hamka menyerangnya secara bertubi-tubi, Kiai Farid Ma’ruf siap lahir bathin.

Belum sempat keluar sepatah kata, tiba-tiba pelupuk mata Hamka berlinang air mata. Seisi ruangan makin hening. Lalu dengan suara tersendat, Hamka pun berkata bahwa apa yang tulis tersebut bermaksud baik. Itu didorong karena kecintaannya pada Muhammadiyah.

Namun, Hamka menyatakan penyesalannya, ia mohon ampun dan seribu maaf jika tulisannya itu menyinggung Kiai Farid Ma’ruf.

Tak berselang lama, giliran Farid Ma’ruf maju ke mimbar. Hadirin masih terlihat tegang, apalagi melihat apa yang dibawa Kiai Farid Ma’ruf ke depan.

Ketika di depan, Farid Ma’ruf tak kunjung membuka map itu. Mimik mukanya pun tak lagi memperlihatkan ketegangan. Sebaliknya, ia malah berkata dengan suara datar. Farid menyatakan, kesediaan pak Moel menerima jabatan Mensos adalah dengan niat baik demi Muhammadiyah, yaitu membantu amal sosial Muhammadiyah. Menurut Farid, kondisi sekarang masih tetap diperlukan kerja sama Muhammadiyah dengan Pemerintah. Perbedaan antara dia dengan Hamka sama–sama didorong niat baik.

Jika pendiriannya dinyatakan salah dan dikhawatirkan membawa Muhammadiyah ke Istana, Farid berujar, “maka dengan ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat ….”

Belum lagi kalimat Farid selesai, Hamka berdiri dan mengacungkan tangan. “Pimpinan!”, serunya, “Jangan saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka yang harus mundur….”

Mendengar itu, Farid menghentikan pidatonya. Ia lalu turun menuju Hamka. Hamka pun menyongsong Farid. Keduanya lalu berpelukan dengan air mata bercucuran. Semua tertegun. Dan tangsi peserta pun pecah. Lalu menyusul ucapan hamdalah, tepuk tangan, dan ada yang bertakbir.

Persoalan selesai. Sidang tanwir terus berjalan membicarakan agenda keummatan lain. Setelah itu muncul berita di Harian Abadi berjudul, Muhammadiyah Tidak Pecah!

Betapa perbedaan politik telah mengubah narasi kita tentang arti penting keberbedaan. Ia tak lagi indah, sebaliknya malah membawa bencana. Celakanya, keterbelahan yang dibuatnya bahkan telah sampai pada level terendah institusi sosial, yakni keluarga. Level keterbelahan masyarakat telah meningkat tajam.

Dalam konteks inilah sebetulnya poin-poin yang dihasilkan dalam Konsolidasi Nasional PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (08/05/2019) menjadi sangat penting. Terutama poin soal Muhammadiyah akan menerima apa pun hasil pemilu dengan lapang dada dan siap bekerjasama dengan siapa pun yang terpilih secara konstitusional.

Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menuturkan Muhammadiyah harus menjadi kekuatan yang berjiwa besar untuk menjadi jembatan bagi semua golongan. Karena menurut dia, peran ini mudah, namun harus diusahakan.

“Sekali konflik terjadi, susah untuk merekatkan kembali keutuhan. Muhammadiyah perlu menjadi contoh dalam merekat kebersamaan. Kita tidak bisa berdakwah, jika negeri ini terpecah belah,” ujar Haedar.

Lebih lanjut, Haedar mengatakan, untuk mencegah keterbelahan, maka Muhammadiyah perlu mendorong politik Islam menjadi kekuatan sekaligus berwatak tengahan.

“Muhammadiyah harus menawarkan rancangan yang konstruktif,” ujar Haedar.

Sikap dan pemahaman ini tentu saja harus merata, tidah hanya di tingkat elite namun hingga lapisan masyarakat paling bawah. Itulah kenapa, Zamzam Erawan, Sekretaris PWM Jabar menuturkan jika dirinya sami’na wa ato’na, akan menerima hasil apa pun dalam Pemilu 2019.

“Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat sebagai bagian dari instrument PP Muhammadiyah, sami’na wa ato’na akan menerima hasil apa pun dalam Pemilu 2019,” kata Zamzam.

Bagi Zamzam, demokrasi mengharuskan penyelesaian apa pun ditempuh jalur musyawarah, bukan turun ke jalan. Bahkan kata Zamzam, Muhammadiyah mestinya melampaui perdebatan itu, dan melangkah lebih maju dengan melakukan mediasi dan memerankan fungsi dakwahnya, untuk mempertemukan kedua kubu.

“Muhammadiyah mengharapkan agar tidak ada cara-cara yang inkonstitusional dalam menyelesaikan konflik hasil pemilu. Muhammadiyah bahkan bila perlu jadi pelopor memediasi, memerankan fungsi dakwah, mempertemukan kedua kubu,” pungkasnya.

Ini dilakukan, kata Zamzam, agar baik di tubuh Muhammadiyah, atau masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tidak ada lagi istilah 01 dan 02 atau bahkan ‘cebong’ dan ‘kampret’. Semuanya kembali menyatu dan melebur dalam ‘Satu Indonesia.