Pentingnya Edukasi Fikih Zakat Kontemporer untuk Menjawab Problem Kekinian

MONITORDAY.COM - Disadari, rukun Islam ketiga ini masih banyak terabaikan dan kurang dipahami oleh kaum muslimin. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa potensi zakat yang begitu besar belum bisa diakses secara maksimal. Melihat kenyataan ini, edukasi zakat secara massif menjadi hal yang sangat penting guna meningkatkan kesadaran kaum muslimin dalam menunaikan zakat.
Hal itu terungkap dalam kajian rutin bulanan yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan al-Islam dan Kemuhammadiyah (LPP-AIKA) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta yang bekerjasama dengan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, dengan tema: “Zakat, Perspektif Klasik dan Kontemporer” di Ruang Sidang A Kampus A UHAMKA (Kampus Limau) Jl. Limau II Kebayoran Baru Jakarta Selatan (28/3/2018).
Kajian yang dihadiri oleh 35 peserta terdiri dari dosen dan para pengurus dan anggota wilayah, cabang dan ranting Muhammadiyah Jakarta dan Tangerang Selatan. Bertindak sebagai narasumber Ustdz Dr. Izza Rohman N. dan Ustdz Arif Hamzah, MA. Kedua narasumber dihadirkan sebagai ahli hukum Islam yang mumpuni untuk kajian klasik dan kontemporer.
Mengapa fikih zakat kotemporer perlu dikaji, karena untuk menjawab persoalan-persoalan zakat terkini yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Menurut Ustadz Izza Rohman, zakat dapat menjadi instrumen yang efektif untuk melakukan pemberdayaan sosial. Hal ini yang menyebabkan salah satu perbedaan diantara para ulama tentang kedudukan zakat dalam hukum Islam. “Sehingga ada yang menempatkannya sebagai ibadah (mahdhah) dan ada pula yang menempatkannya sebagai muamalah (ghairu mahdhah),” paparnya.
Berdasarkan hal, Ustadz Izza menilai bahwa penting untuk dipahami secara mendalam menyangkut cara pandang penetapan hukum (istimbat) dan situasi yang dihadapi oleh para ulama tersebut.
Dengan demikian, lanjut Ustadz Izza, umat Islam yang hidup di era modern dapat menempatkan pendapat-pendapat para ulama itu dalam posisi yang tepat. “Kendati demikian, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah telah memberikan fatwa untuk dijadikan pedoman bagi warga Muhammadiyah khususnya dan masyarakat pada umumnya,” jelasnya.
Beliau juga mencontohkan bagaimana mustahik zakat fitri, amil dan sabilillah dalam perkembangannya sebagai bagian dari asnaf perlu dikaji kembali dasar-dasar hukumnya. “Termasuk zakat yang sumbernya dari hasil pengelolaan sumber daya alam,” terang penulis buku Tujuh Metode Tafsir Al-Maun ini.
Sementara itu, Ustadz Arif Hamzah, mengatakan, sebagai organisasi Islam modern, Muhammadiyah dalam beristinbat hukum selain mendasarkan pada al-Quran, Sunah, dan pendapat para ulama juga mempertimbangkan aspek-aspek lain yang memengaruhinya.
Sebagai contoh dalam hal zakat fitrah, MTT Muhamadiyah memberikan fatwa bahwa pembagian zakat fitrah dapat dilakukan sepanjang tahun. Penyerahan zakat dari muzaki kepada amil memang harus ditunaikan sebelum salat Idul Fithri. Namun penyerahannya, menurut Ustadz Arif tidak harus sebelum salat Idul Fitri.
Termasuk dalam hal obyek harta yang harus dizakati dan penerima zakat. Dalam perspektif kontemporer, menurutnys obyek harta zakat lebih luas, meliputi hampir seluruh harta seorang muslim yang memenuhi syarat.
“Demikian juga mengenai mustahik, juga sangat luas. Melalui perspektif ini, zakat menjadi instrumen yang lentur terutama dalam rangka melakukan pemberdayaan sosial,” pungkasnya.
Hal ini berbeda dengan pendapat umum klasik yang menyebutkan, zakat fitrah harus didistribusikan sebelum saalat Idul Fitri. Fatwa MTT Muhammadiyah ini tentunya telah didasarkan pada kajian-kajian mendalam, termasuk kajian realitas kekinian. Tetapi, MTT Muhammadiyah tetap menghargai pendapat lain yang berbeda.
[Th/FSm]