Ketahanan Energi dan Konversi PLTD ke EBT

MONITORDAY.COM - Konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit yang bersumber dari energi baru terbarukan semakin mendesak. Dan tahun ini upaya itu akan semakin terlihat wujudnya. Semua langkah itu mendukung upaya terciptanya ketahanan dan kedaulatan energi. Disamping kesadaran politik untuk menghadirkan pembangkit yang ramah lingkungan.
Sistem energi terbarukan menggunakan sistem statis atau generator berputar untuk mengubah energi terbarukan dalam berbagai bentuk menjadi energi listrik. Generator tersinkronkan dengan magnet permanen dengan metode kontrol kecepatan dapat langsung digabungkan ke turbin angin, sehingga menghilangkan gearbox.
Sumber energi terbarukan yang paling populer saat ini adalah energi matahari, energi angin, energi hidro, energi pasang surut, energi panas bumi dan energi biomassa.
Tenaga hidro atau air menjadi sumber tenaga terbarukan yang paling banyak digunakan, dengan kapasitas terpasang hidroelektrik global melebihi 1.295GW, terhitung lebih dari 18% dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang di dunia dan lebih dari 54% dari kapasitas pembangkit listrik terbarukan global.
Data menunjukkan bahwa konversi yang dilakukan masih menghadapi tantangan berarti. Sementara cadangan energi fosil dunia semakin menipis, upaya konversi pembangkit menjadi prioritas utama. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) hingga akhir 2020 mencapai 10.467 megawatt (MW). Tren kenaikan kapasitas pembangkit EBT pun masih terus berlanjut mengingat di tahun 2019 lalu realisasi kapasitas yang terpasang sebesar 10.291 MW.
Tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT di tahun 2020 berasal dari sejumlah proyek, antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso berkapasitas 66 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Merauke berkapasitas 3,5 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Sion berkapasitas 12,1 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap berkapasitas 13,4 MW.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) selesai pada tahun 2023. Total pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) yang bakal dikonversi mencapai 5.000 unut dan tersebar di 2.000 lokasi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menegaskan bahwa untuk tahap awal atau pilot project, konversi PLTD menjadi pembangkit EBT bakal dilaksanakan awal 2021. Mayoritas pembangkit tersebut berada di lokasi yang terpencil.
PT PLN (Persero) akan menggandeng produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) dalam menggarap konversi 5.200 unit pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke energi terbarukan. Rencananya, perseroan akan menggelar lelang proyek ini di Januari 2021.
Direktur Mega Project PLN M Ikhsan Asaad menuturkan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, pihaknya akan mengkonversi 5.200 unit PLTD menjadi pembangkit energi hijau tersebut. Selain itu, konversi ini juga untuk menekan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik dari PLTD juga cukup tinggi lantaran menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Dalam menggarap proyek konversi ini, pihaknya akan melibatkan perusahaan swasta.
Tak hanya mempercepat pengembangan energi terbarukan, tambahnya, konversi tersebut juga akan memangkas impor BBM. Sementara bagi masyarakat, konversi ke pembangkit listrik energi terbarukan direncanakan dapat memenuhi kebutuhan setrum sepanjang hari. Hal ini mengingat beberapa daerah di mana PLTD beroperasi hanya bisa menikmati listrik sekitar 6-12 jam per harinya.
PLN mencatat sekitar 5.200 unit PLTD tersebut tersebar di 2.130 lokasi di Indonesia, dengan potensi untuk dikonversi ke pembangkit berbasis energi terbarukan sebesar 2 gigawat (GW). Program konversi PLTD menuju pembangkit energi terbarukan ini akan dilakukan secara bertahap.
Pada tahap pertama, PLN akan melakukan konversi terhadap PLTD di 200 lokasi dengan kapasitas 225 megawatt (MW). Konversi tahap awal ini dilakukan dengan memilih mesin PLTD yang telah berusia lebih dari 15 tahun dengan mempertimbangkan kajian studi yang telah dilakukan oleh PLN.
Sementara, pada tahap kedua dan ketiga konversi akan mencakup total kapasitas pembangkit masing-masing 500 MW dan 1.300 MW. Metode pelaksanaannya akan menggunakan analisis geospasial. Metode ini mencakup pemetaan titik-titik sebaran PLTD eksisting dan potensi sumber energi terbarukan di wilayah tersebut, kemudian dikombinasikan dengan potensi pertumbuhan ekonomi regional di titik yang telah diidentifikasi tersebut.
Konversi dari pembangkit PLTD menjadi pembangkit energi terbarukan mempunyai beragam tantangan karena melibatkan pembangkit dalam jumlah yang sangat besar dan titik-titiknya berada di wilayah yang relatif paling sulit, yakni wilayah 3T.
Masing-masing PLTD yang sekarang masih digunakan memiliki pola operasi yang berbeda-beda tergantung jam nyala, termasuk keterbatasan infrastruktur dan telekomunikasi menjadi tantangan yang juga harus diselesaikan.