Peta Elektoral dan Kuda Hitam 2024

MONITORDAY.COM - Geliat sejumlah nama yang digadang-gadang sebagai calon pemimpin nasional pada gelaran Pemilu 2024 mendatang makin menyita perhatian publik. Perkembangan terbaru dalam tiga bulan terakhir menunjukkan dua nama bersaing ketat, yaitu Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Dari hasil survei dalam tiga bulan terakhir, Prabowo dan Ganjar berganti posisi pertama dan kedua, atau malah imbang. Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 2-6 November 2021 menghasilkan keunggulan Prabowo dengan elektabilitas mencapai 23,7%, disusul Ganjar 20,9%.
Sebaliknya, survei Poltracking Indonesia pada 3-10 Oktober 2021 mengunggulkan Ganjar dengan elektabiltas 22,9%, sedangkan Prabowo 20,0%. Posisi imbang tercatat dari survei Litbang Kompas pada 26 September-9 Oktober 2021, masing-masing meraih elektabilitas 13,9%.
Posisi berikutnya diduduki oleh Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Elektabilitas Anies sebesar 15,1% (Indikator), 13,5% (Poltracking), dan 9,6% (Litbang Kompas). RK agak jauh di bawah yakni sebesar 5,1% (Indikator dan Litbang Kompas) dan 4,1% (Poltracking).
Nama-nama lain yang patut diperhitungkan adalah Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, dan Erick Thohir. Seperti halnya Prabowo dan Ganjar, posisi Sandi dan AHY kerap bertukar tempat dalam survei elektabilitas.
Indikator dan Litbang Kompas mengunggulkan Sandi dengan elektabilitas 4,5-4,6%, sedangkan AHY masing-masing 3,3% dan 1,9%. AHY lebih unggul dalam survei Poltracking, yakni 3,3%, baru kemudian Sandi 2,8%.
Nasib lebih mengenaskan dialami Puan dan Airlangga, di mana elektabilitas keduanya hanya berkisar 1% atau kurang. Litbang Kompas bahkan tidak menampilkan dalam 10 besar. Elektabilitas Puan paling tinggi sebesar 1,9% menurut survei Poltracking, sedangkan Indikator mencatat hanya 1,0%.
Airlangga meraih elektabilitas tertinggi 1,0% berdasarkan survei Poltracking, dan hanya 0,4% menurut Indikator. Posisi Erick tampak lebih baik, dengan raihan elektabilitas 1,3% (Indikator) dan 0,9% (Poltracking).
Survei lain yang dilakukan Y-Publica pada 1-7 November 2021 menunjukkan elektabilitas Ganjar 21,1%, agak jauh meninggalkan Prabowo 17,0%. Berikutnya RK unggul dengan elektabilitas 12,5%, disusul Anies 8,0%, Sandi 7,5%, AHY 4,5%, dan Erick 4,0%. Terakhir Puan 1,5% dan Airlangga 1,3%.
Di luar latar belakang sosiologis para kandidat, seperti gender, etnisitas, dan agama, bisa dibuat pengelompokan berdasarkan relasi dengan partai politik serta jabatan publik yang disandang. Kedua faktor tersebut berpengaruh kuat terhadap peluang kandidat dalam mendapatkan tiket pilpres.
Prabowo, AHY, Puan, dan Airlangga merupakan ketua umum atau figur kuat dalam partai politik. Ganjar dan Sandi terhitung sebagai kader partai, tetapi bukan figur kuat di tubuh partai. Sedangkan Anies, RK, dan Erick independen atau belum pernah masuk ke partai mana pun.
Berdasarkan jabatan politik yang disandang, ada deretan para menteri (Prabowo, Airlangga, Sandi, dan Erick), ketua DPR (Puan), dan kepala daerah (Ganjar, Anies, dan RK). Hanya AHY yang tidak memiliki jabatan politik apa-apa saat ini.
Jika melihat faktor relasi partai, hanya Prabowo ketua umum partai yang memiliki elektabilitas paling tinggi, bahkan kerap unggul dalam berbagai survei. AHY berada di papan tengah, sedangkan Puan dan Airlangga harus rela berjuang di papan bawah.
Bagaimana dengan ketua umum partai-partai yang lain? Jauh lebih buruk lagi. Misalnya saja, Muhaimin Iskandar hanya mampu meraih elektabilitas berkisar 0,2-0,3% dalam survei Poltracking dan Indikator. Demikian pula dengan Zulkifli Hasan, hanya 0,1-0,2%.
Sebaliknya dengan figur seperti Ganjar, Anies, dan RK. Meskipun bukan ketua umum atau tokoh kuat partai, bahkan bukan kader partai, tetapi elektabilitasnya menjulang tinggi atau mampu bersaing dengan ketua-ketua partai.
Dari klaster menteri, Prabowo lagi-lagi memiliki elektabilitas yang paling tinggi. Prabowo bergabung dalam kabinet Jokowi bersama Sandi, mantan cawapres pasangannya, dalam proses rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019 yang sangat sengit.
Keputusan Prabowo-Sandi masuk pemerintahan tampaknya menguntungkan secara politis. Dengan memegang jabatan publik, mereka mampu mempertahankan elektabilitas tetap tinggi. Selain akses terhadap sumber daya, posisi tersebut memungkinkan untuk tampil di panggung politik dan media.
Demikian pula dengan posisi kepala daerah, seperti Ganjar, Anies, dan RK. Pengalaman Jokowi yang sukses menapaki karier politik dari walikota, gubernur hingga menjadi presiden dua periode memberi preseden bagi kepala-kepala daerah untuk muncul sebagai calon pemimpin nasional.
Hanya saja tidak semua beruntung, sebut saja Puan dan Airlangga. Meskipun menduduki jabatan tinggi, sekaligus ketua atau tokoh kuat partai, keduanya tidak mampu mendongkrak elektabilitas. Puan dan Airlangga sampai harus bekerja keras memasang baliho di berbagai penjuru kota.
Jabatan yang diduduki keduanya bukan berasal dari pemilihan presiden ataupun pilkada, berbeda dengan nama-nama yang lain. Tanpa pengalaman elektoral semacam itu, mereka tidak mampu menikmati popularitas maupun akseptabilitas yang cukup tinggi, sehingga elektabilitas pun rendah.
Survei Charta Politika pada 12-20 Juli 2021 menunjukkan popularitas Puan 60,7%, sedangkan Airlangga jauh di bawah yaitu 30,4%. Survei SMRC pada 15-21 September 2021 menunjukkan Puan dan Airlangga paling rendah disukai oleh publik, yaitu 51% dan 43%.
Bisa dibandingkan misalnya dengan Tri Rismaharini atau Khofifah Indar Parawansa, yang mampu mendudukkan diri pada papan tengah. Elektabilitas keduanya bertengger pada 1,7% (Indikator), 2,5% (Poltracking), bahkan 4,9% (Litbang Kompas).
Popularitas Khofifah dan Risma memang lebih rendah, yaitu 48,2-50,3% (Charta) dan 52-56% (SMRC), sedangkan Puan 66% (SMRC). Tapi keduanya jauh lebih disukai, yaitu 82% (SMRC) dan 88,4-89,8% (Charta), sedangkan Puan hanya 72,1% (Charta).
Fenomena sedikit berbeda terjadi pada AHY dan Erick. AHY merupakan ketua umum partai dari kalangan oposisi, dan tidak masuk dalam jajaran pemerintahan pusat. Tidak pula menjabat kepala daerah, setelah kalah dalam Pilkada DKI 2017.
Erick bukan tokoh partai, tidak pernah bertarung dalam pilkada, dan masuk kabinet. Pengalaman elektoral Erick baru dirasakan ketika memimpin Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Baik Erick maupun AHY relatif stabil elektabilitasnya pada papan tengah.
Di antara nama-nama yang ada, bisa dibuat tiga penggolongan. Pertama, tokoh dengan dukungan kuat partai dan memiliki jabatan publik serta elektabilitasnya tinggi. Prabowo menjadi satu-satunya nama, sehingga tidak heran jika Gerindra yakin untuk kembali mengusung Prabowo sebagai capres.
Kedua, tokoh-tokoh dengan dukungan kuat partai dan/atau memiliki jabatan publik, tetapi elektabilitasnya rendah atau sedang. Puan, Airlangga, dan AHY termasuk dalam golongan ini. Mereka harus mencari pasangan yang mampu menaikkan elektabilitas dan memperluas dukungan koalisi.
Ketiga, tokoh-tokoh minim dukungan partai dan memiliki jabatan publik, tetapi elektabilitasnya tinggi atau sedang. Ganjar, Anies, RK, Sandi, dan Erick berpeluang menjadi kuda hitam baik sebagai capres ataupun cawapres, dengan menjaga elektabilitas serta merebut dukungan partai-partai.
Indikator misalnya, membuat dua model simulasi 3 pasangan capres-cawapres. Model pertama, Prabowo-Puan (29,6%), Ganjar-Airlangga (28,8%), dan Anies-Erick (28,2%). Model kedua, Ganjar-Erick (31,1%), Anies-Sandi (30,8%), dan Prabowo-Puan (28,1%).
Survei Index Research pada 21-30 Mei 2021 membuat simulasi dengan memasangkan Prabowo, Ganjar, Anies, dan RK sebagai capres, sedangkan Sandi, AHY, Erick, Puan, dan Airlangga diplot sebagai cawapres untuk masing-masing nama capres.
Dari berbagai simulasi yang terbentuk, Prabowo-Puan mendapat dukungan paling tinggi (51,4%). Disusul kemudian oleh Ganjar-Erick (37,8%), Anies-AHY (35,3%), Prabowo-Sandi (28,8%), dan terakhir RK-Airlangga (24,8%).
Prabowo-Puan muncul sebagai pasangan capres-cawapres paling favorit. Berikutnya, Ganjar yang bisa berpasangan dengan Airlangga maupun Erick. Ketiga, Anies yang kemungkinan berpasangan dengan Sandi dan AHY. RK menghadapi tantangan paling berat jika maju sebagai capres.
Pemilu 2024 masih kurang dari tiga tahun lagi. Publik masih akan melihat dinamika dalam peta elektoral, naik-turunnya elektabilitas, dan arah dukungan partai. Tetapi setidaknya gambaran awal sudah mulai terpetakan pada penghujung tahun ini.