Masjid, Antara Politisasi dan Pendidikan Politik (1)

Masjid memiliki peran strategis untuk membangun peradaban Islam. Apakah masjid harus dijauhkan dari politik?

Masjid, Antara Politisasi dan Pendidikan Politik (1)
jamaah masjid Istiqlal

MONDAYREVIEW- Sebuah masjid pernah membuat larangan jamaahnya membawa anak-anak. Karena, dikhawatirkan anak-anak membuat keributan dan merusak kekhusyuan shalat. Masjid yang tidak ramah dengan anak masih saja kita temukan. Padahal, anak harus sejak dini dikenalkan dengan masjid. Sehingga, mereka menjadi akrab dengan masjid dan memiliki kenangan yang indah yang terbawa hingga dewasa.

Pada masa Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam, masjid tidak sekedar tempat ritual shalat, namun menjadi pusat pendidikan umat. Suatu saat Rasululloh pernah sujud lama, sehingga para sahabat mengira wahyu sedang turun. Namun, rupanya Rasululloh memperlama sujudnya karena cucunya Hasan Husain sedang bermain di punggung beliau. Rasululloh juga sempat mempercepat shalatnya, karena mendengar suara bayi menangis.

Di masjid, Rasululloh menyampaikan ajaran Islam kepada para sahabatnya. Di Masjid pula, Rasululloh menggelar berbagai rapat penting tentang keamanan negara dan  strategi perang. Di masjid pula, Rasululloh mendengar keluhan umatnya, bahkan menerima berbagai tamu negara.

Fungsi masjid begitu luas masa pada masa Rasululloh. Tak ada pembedaan mana urusan negara, dan mana urusan agama. Karena, pada hakekatnya Islam mencakup semua hal dalam kehidupan ini, termasuk urusan politik. Jika ada pihak yang menyerukan larangan membicarakan politik di masjid, sama dengan mengkerdilkan fungsi masjid itu sendiri.

Deklarasi program anti politisasi masjid, yang diluncurkan relawan Joko Widodo, beberapa waktu lalu, sebenarnya merusak citra presiden sendiri. Dalam cuitannya di media sosial, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menulis, “Yang model relawan-relawan begitu sesungguhnya yang membuat pak Jokowi justru dianggap tidak paham islam dan suasana kebatinan  umat Islam.”

Padahal, Presiden Jokowi sudah berusaha menepis berbagai tuduhan dan fitnah bahwa dirinya anti Islam. Hampir setiap minggu Presiden menemui para ulama di pesantren, bahkan mengundang para ulama ke Istana. Karena itu, menjadi relawan tidak cukup bermodalkan sikap dan dukungan politik terhadap sang tokoh, tanpa memiliki pemahaman yang utuh dengan aspirasi umat

Masjid tidak sekedar digunakan sehari lima kali, untuk menunaikan shalat sebagi wujud penghambaan dan rasa syukur. Masjid menjadi tempat silaturahmi umat, apalagi, pada hari Jumat, masjid dipadati jamaah lebih banyak. Tanpa membedakan latar sosial, ekonomi pendidikan dan ras, masjid telah menyatukan umat dan menempatkan semuanya sama di hadapan Alloh Ta’ala, kecuali hanya orang paling bertaqwa ditinggikan derajatnya di hadapan Sang Pencipta

Ada sekitar 800 ribu masjid yang terdata dan berada di bawah koordinasi Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di Indonesia, masjid menjadi tempat yang merdeka, jauh dari intervensi negara. Berbeda dengan di negara-negara lain seperti Malaysia dan Brunei, yang membuat aturan khusus materi yang boleh disampaikan oleh khatib atau penceramah.

Para penceramah atau khotib di Indonesia menikmati kebebasan, tak ada sensor apalagi tekanan dalam menyampaikan tausiah agamanya. Namun, menurut Nasaruddin Umar, Imam Masjid Istiqlal, kebebasan yang diberikan “kebebasan terukur.” Mereka tidak boleh semena-mena menyinggung pemahaman mazhab yang berbeda atau menyulut isu SARA.  

Masjid juga dilarang untuk kegiatan politik praktis, misalnya sebagai arena kampanye politik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, gerakan anti politisasi masjid bisa menimbulkan multi tafsir. Seolah-olah, membahas isu-isu politik pun dilarang di Masjid

Menjelang pemilu, pilkada atau pilpres, para politisi tiba-tiba rajin menghadiri berbagai tabligh akbar di masjid, bahkan ikut memberi sambutan atau ceramah, lalu memberikan berbagai sumbangan untuk masjid yang diliput oleh berbagai media. Apakah fenomena ini juga  termasuk politisasi masjid?

Masjid adalah ruang yang terbuka untuk siapa pun, untuk beribadah dan beramal soleh. Kita tentu tak bisa menghakimi di balik niat yang sesungguhnya itu. Kita hanya berdoa, semoga mereka tidak hanya rajin ke masjid di saat musim kampanye saja. Karena, masjid sejatinya memiliki ikatan batin yang dalam bagi orang-orang yang beriman.

Sejauh mana sebenarnya politisasi masjid  memasuki ruang tabu yang bermakna negatif.. ”kalau politiknya untuk meningkatkan moral bangsa, untuk keadilan boleh, tapi kalau untuk kepentingan partai, jelas akan rusak masjid,” jelas Syafii Ma’arif mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Membahas isu politik di masjid tentu bukanlah sesuatu yang tabu, apalagi sebagai ancaman. Shamsi Ali, seorang imam di Islamic Center, New York, Amerika Serikat ini ikut memberikan pandangannya. Menurut Shamsi yang berasal dari Indonesia ini, masjid dan politik adalah dua hal yang paradoks justru dicurigai sebagai bentuk politisasi terselubung. Tujuannya, untuk menjauhkan umat dari kesadaran politik.

Jika demikian, bagaimana menempatkan fungsi masjid sebagai sarana pendidikan politik?