Kerja Keras Bukan Faktor Utama Kesuksesan?

Anak yang terlahir dari keluarga kaya cenderung akan mendapatkan penghasilan yang cukup di masa depannya. Sebaliknya anak yang terlahir dari keluarga miskin cenderung akan akan tetap hidup dalam kemiskinan saat dewasa.

Kerja Keras Bukan Faktor Utama Kesuksesan?
Sumber foto: antara

MONDAYREVIEW.COM – Kerja keras adalah kunci meraih kesuksesan. Sebuah kata-kata yang terdengar sangat klise. Angela Duckworth dalam bukunya Grit: Kekuatan Passion dan Kegigihan berhasil meyakinkan kembali bahwa untuk sukses kita harus bekerja keras. Angela berhasil memperkenalkan sebuah istilah baru yang bernama Grit, sebuah kata yang dalam bahasa Inggris berarti ketabahan dan keberanian. Bagi Angela seorang sukses tidak cukup hanya mempunyai kecerdasan, namun juga harus mempunyai grit, yang menurutnya berarti passion dan kegigihan.

Angela mengisahkan bahwa perguruan tinggi paling sulit dimasuki di Amerika Serikat bukanlah Harvard atau MIT, melainkan akademi militer West Point. Yang berhasil memasuki akademi ini adalah orang dengan kecerdasan di atas rata-rata dan fisik yang kuat. Jika anda berhasil masuk ke sana, maka anda akan ditempa dengan sangat keras. Banyak yang tidak kuat di pertengahan jalan lalu memutuskan keluar dari West Point. Angela menemukan bahwa yang bisa menjalani latihan di West Point tidak hanya yang cerdas saja, namun juga yang mempunyai grit. Artinya kecerdasan dan kegigihan lebih penting dibanding kecerdasan untuk menjadi sukses.

Namun benarkah kerja keras satu-satunya tiket untuk meraih kesuksesan? Tidak adakah faktor lain di luar itu? Bangsa kita sering disuguhkan kisah-kisah heroik seseorang yang berjuang dari nol untuk mencapai kesuksesan. Misalnya Dahlan Iskan, sosok mantan menteri BUMN ini hidup dalam kemiskinan semasa kecilnya. Ayahnya seorang pekerja serabutan dan ibunya pengrajin batik. Dahlan harus mencari uang di masa kecilnya dari mencari tebu hingga menggembala. Dahlan berhasil keluar dari jerat kemiskinan dan menjadi tokoh yang dikenal oleh banyak kalangan.

Berapa banyakkah anak-anak miskin yang bernasib seperti Dahlan Iskan? Sayangnya menurut penelitian tidak banyak. Anak yang terlahir dari keluarga kaya cenderung akan mendapatkan penghasilan yang cukup di masa depannya. Sebaliknya anak yang terlahir dari keluarga miskin cenderung akan akan tetap hidup dalam kemiskinan saat dewasa. Pernyataan barusan merupakan hasil riset dari SMERU Institute yang telah dipublikasikan di jurnal internasional Asia Development Bank (ADB). SMERU menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari keluarga miskin saat besar pendapatannya 87% lebih rendah dibanding anak yang tidak tinggal di keluarga miskin.

Dikutip dari theconversation.com, tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun.

Menariknya, ketika riset ini dirilis ke publik, beberapa pihak menyangsikan hasil penelitian tersebut. Beberapa menampik hasil riset ini dan memilih percaya bahwa anak yang miskin bisa saja terlepas dari jerat kemiskinan ketika mereka bekerja keras. Namun ada beberapa alasan yang memang logis guna menguatkan hasil riset tersebut.

Pertama adalah soal akses, anak-anak yang tumbuh di keluarga yang berkecukupan mempunyai akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan mobilitas sosial. Anak dari keluarga mampu bisa mendapatkan pendidikan di luar sekolah formal, juga bisa memiliki gawai yang digunakan mencari informasi. Keluarganya juga bisa memberikan kendaraan untuk mobilitas sosial yang lebih tinggi. Sebaliknya anak yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak bisa menikmati semua akses itu.

Kedua soal pola pengasuhan, anak-anak yang tumbuh di keluarga kaya dan terdidik cenderung diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk mengekspresikan pandangannya. Pola pendidikannya cenderung lebih demokratis sehingga memungkinkan anak untuk berkembang. Sementara itu anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin mengalami pengasuhan yang otoriter. Anak tidak bisa menyampaikan keluh kesah kepada orang tuanya. Hal ini membuat mentalitas ini kurang berkembang.

Tentu saja penelitian ini tidak hendak menggeneralisir bahwa anak yang kaya pasti sukses dan anak yang miskin tidak sukses. Kenyataannya banyak kasus yang sebaliknya. Namun penelitian ini harus menjadi warning untuk kebijakan pemerintah agar tidak membiarkan orang miskin berjuang sendirian keluar dari kemiskinannya. Anak-anak dari keluarga miskin relatif lebih sulit keluar dari kemiskinan dibanding anak orang kaya. Karenanya pemerintah harus juga berperan, misalnya dengan beasiswa bidik misi. Program pemerintah lainnya juga layak kita evaluasi apakah sudah berhasil membantu orang miskin atau belum. Perlu dilakukan penelitian juga terkait ini.