Kemuliaan Pikiran

Kemuliaan Pikiran
Abi Rekso Panggalih/ net

MONITORDAY.COM - “Kemuliaan pikiran adalah otentifikasi dari setiap tindakan. Pikiran selalu tercermin baik dalam sikap dan gagasan, entah diutarakan dalam ucapan maupun tulisan. Yang kita mengerti pada ujungya harus bermuara dalam kebijaksanaan.”

Dalam tradisi filsafat, pikiran adalah satu media untuk mengenali tingkat perkembangan manusia. Segalanya tidak harus dipaksa menemukan kebenaran atau menghakimi yang dianggap kesalahan. Filsafat kerap menyebutnya sebagai epistemologi. Sebuah metode guna mencari satu syafaat serta manfaat ilmu pengetahuan.

Sudah tentu ilmu pengetahuan bukan saja alat bantu menjelaskan realitas yang kita tangkap. Jauh dari batas itu, ilmu pengetahuan perlu juga memiliki manfaat bagi banyak orang. Jika tidak, maka hal itu sekedar palung penjerumusan. Dalam jalan inilah kita bisa saling memeriksa bahkan menguji dari fondasi pikiran tersebut. Mana yang bertujuan atas kehendak kebijaksanaan, mana yang sekedar ekspresi kepicikan.

Mari beranjak kepada kritik Mahasiswa BEM UI tertuju pada Presiden Jokowi. Contoh ini pantas sebagai uji materi pikiran. Kritik Mahasiswa BEM UI boleh diposisikan sebagai postulat pikiran atas respon berjalannya pemerintahan. Diawali sebuah poster editan Presiden Jokowi dengan judul “The King of Lip Service”. Mahasiwa menyuarakan pikirannya lewat poster tersebut. Kira-kira mereka ingin menyatakan, bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi hanya manis dalam ucapan. Seraya mereka juga bertendensi bahwa Presiden Jokowi tidak sesuai antara ucapan dan tindakan. Mari kita periksa secara seksama.

Aksi itu menuai pro dan kontra, pihak Universitas secara insidentil merespon dengan upaya menginterogasi mereka. Bahkan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rechman juga ikut-ikutan dalam orkestrasi ini. Meski dukungan terhadap tendensi tersebut juga terus berdatangan.

Sepatutnya, aksi tersebut tidak perlu direspon secara berlebihan dengan kadar kental kekuasaan. Ini bukan tentang menjaga marwah atau harga diri kekuasaan. Ini soal memeriksa akar dan motif sebuah pikiran. Apakah itu berangkat dari kehendak kebijaksanaan, atau sekedar ekspresi kepicikan.

Bukan bermaksud membela mahasiswa, tindakan ini sungguh biasa saja. Meskipun apa yang dilontarkan mahasiswa sama sekali bukan hal yang luar biasa. Ini adalah jargon standar semua mahasiswa di dunia, yang berjarak pada pusat kekuasaan. Jika ingin membuktikan tekad dan niat teman-teman mahasiswa. Maka setidaknya sikap protes mahasiswa perlu digelar dalam meja bundar gagasan.

Masih basah dan lengket dalam ingatan kita, ketika Presiden Jokowi memutuskan nomenklatur Staf Khusus Milenial. Apa daya, apa guna, jika kritik yang diedarkan mahasiswa pun harus melulu direspon Staf Khusus Fadjroel Rachman.

Hingga narasi ini dituliskan, formasi wacana masih seputar pembelahan. Antara mendukung atau menolak dari kritik tersebut. Bahkan berulang kali membaca berita, tidak ada satu pun uraian konseptual yang ditawarkan mahasiwa BEM UI.

Ini dia soalnya, jika pembicaraan publik sudah dikunci sejak awal. Hanya tersedia jawaban yang dikotomistik; iya atau tidak. Begitupun kita bertanya kepada teman-teman BEM UI, sejauh ini belum muncul wajah-wajah kemulian pikiran dalam kritik tersebut. Ketatnya filsafat melatih kaum terdidik untuk disiplin pada dua hal prinsipil dalam upaya mendekatkan pada sebuah kebenaran. Yakni fakta dan data. 

Andaikan saja saya masih mahasiswa, detik-detik seperti inilah panggung menunjukan kemurnian gagasan. Saat di mana esai-esai konseptual perlu segera disebarluaskan. Momentum perjuangan nilai-nilai kebangsaan ditonjolkan. Bahkan, bukan sekedar kritik berbasis kepicikan. Melainkan dengan fondasi kebijaksanaan. Dan yang lebih penting, citra kemuliaan pikiran sudah dimunculkan sejak awal.

Jika hanya bersuara, anjing pun punya suara. Jika hanya berteriak, orang gila pun bisa!