Kementerian Mestinya Menjadi Pelopor Penggunaan Produk Lokal

MONITORDAY.COM - Ketika Presiden Joko Widodo mengkritik sejumlah Kementerian dan Lembaga dalam hal pengadaan barang dengan cara impor, ada sejumlah pesan yang dapat ditangkap dari pernyataan tersebut. Baik pesan untuk mengganti sejumlah menteri yang tidak cakap, mengingatkan para pengusaha khususnya para importir, atau kritik tajam pada penyelenggara negara yang entah dengan alasan apa lebih memilih barang impor.
Kementerian dan Lembaga semestinya menjadi pelopor dalam penggunaan produk lokal dan menekan impor barang. Tentu dengan catatan bahwa barang yang dibutuhkan tersedia dengan kualitas yang memadai. Perbaikan ekosistem investasi, manufaktur dan bisnis di dalam negeri harus menjadi prioritas seluruh pemangku kepentingan. Jika penyelesaiannya tidak komprehensif ibarat lingkaran setan persoalan impor tidak akan pernah dapat diatasi.
Hingga kini masih tertanam di benak publik bahwa barang impor identik dengan mutu. Hal yang bersumber dari mental inferior alias minder. Mobil mewah, tas mahal, dan sejumlah barang bermerek menjadi simbol kesuksesan bagi masyarakat pada umumnya. Merek-merek ternama dari berbagai belahan dunia melekat kuat di benak konsumen. Kelas sosial orang berduit tak absah tanpa hadirnya barang-barang impor tertentu yang diidentikkan dengan kualitas.
Kualitas dan ketersediaan menjadi faktor penting dalam perdagangan. Termasuk menjadi alasan mengapa kita mengimpor sejumlah barang. Untuk menghasilkan barang berkualitas, sebuah negara harus memiliki pondasi yang kuat dalam riset, sains, teknologi, hingga bisnis. Apalagi dari merek hingga proses produksi sudah mendapatkan hak kekayaan intelektual.
Alasan yang paling kita sering dengar dari para pengusaha adalah lebih mudah mencari cuan dari impor barang daripada membangun basis produksi di dalam negeri. Apalagi jika ada sejumlah ketidakpastian dalam regulasi dan kebijakan Pemerintah terkait investasi dan perizinan usaha.
Untuk menjawab alasan tersebut Pemerintah telah menggulirkan sejumlah langkah. Termasuk bersama DPR membuat regulasi yang terintegrasi seperti Omnibus Law. Instrumen ini masih menghadapi kendala karena divonis inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan diberikan waktu revisi selama dua tahun.
Perdagangan antar negara atau ekspor dan impor niscaya semakin besar volumenya dalam dunia yang semakin saling bergantung satu sama lain. Badan Pusat Statistik (BPS) kebutuhan komoditas impor terus meningkat di tahun 2021. Realisasi impor barang konsumsi yang mencapai US$20.182,8 juta selama Januari-Desember 2021. Naik dari periode yang sama tahun sebelumnya US$14.656,0 juta.
Tercatat bahwa Indonesia masih mengimpor barang migas, pupuk, minyak nabati, kulit hingga tekstil. Juga mengimpor kaca dan tembikar, dari peralatan makan hingga traktor, bahkan peralatan dan komponen alat mesin pertanian (alsintan). Sehingga wajar bila Presiden menyatakan keprihatinannya jika untuk produk dan mesin sederhana saja kita masih harus impor.
Agenda untuk menekan impor dan mendorong penggunaan produk lokal masih sangat berat dan panjang. Di sektor pangan dan energi pun kita harap-harap cemas. MInyak, gas alam, terigu, daging, kedelai, dan bahan baku pakan ternak pun kita harus mengimpor dari negara lain.
Setidaknya Jokowi mengingatkan bahwa dimulai dari Kementerian dan Lembaga, penggunaan produk dalam negeri harus ditingkatkan. Hal itu akan mendorong penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan devisa negara.