Hasil Riset: Ibu Lebih Berperan dalam PJJ Dibanding Ayah

Ibu harus lebih banyak menanggung beban mengajar anak di rumah ketimbang ayah.

Hasil Riset: Ibu Lebih Berperan dalam PJJ Dibanding Ayah
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Tahun ajaran 2020/2021 masih mengandalkan PJJ sebagai metode pembelajaran utama untuk keselamatan guru dan peserta didik. Pembelajaran jarak jauh tak hanya melibatkan orang guru saja, namun juga orang tua. Orang tua mau tidak mau harus mengawasi anaknya dalam melaksanakan PJJ. Hal ini menjadi beban tambahan bagi orang tua disamping bekerja dan mengurus rumah tangga. Mendampingi anak belajar kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan, orang tua diharuskan mempunyai kesabaran ekstra menyikapi berbagai tingkah laku anak.

Studi yang dilakukan oleh Diyan Nur Rakhmah dan Siti Nur Azizah dari Balitbang Kemdikbud sepanjang April hingga Mei 2020 pada orang tua di 34 provinsi menunjukkan sebanyak dua pertiga - atau sekitar 66,7% - pendampingan anak di Indonesia masih dominan dilakukan oleh perempuan. Artinya ibu yang harus lebih banyak menanggung beban mengajar anak di rumah ketimbang ayah. Hal ini menjadi masalah karena peran ayah juga penting dalam perkembangan akademik sang anak.

Riset dari University of Illinois di Urbana-Champaign, Amerika Serikat menunjukkan bahwa keterlibatan ayah yang minim atau bahkan terlambat berdampak buruk pada capaian akademik anak. Studi lain menemukan bahwa keterlibatan yang seimbang dari ayah membantu anak dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, serta mengembangkan ketahanan mental dan empati. Bias gender dalam pendampingan proses belajar anak ini disebabkan oleh budaya patriarki yang kuat mengakar pada sistem ketenagakerjaan dan pendidikan di Indonesia.

Survei Balitbang Kemdikbud menemukan penyebab utama responden (53,8%) tidak bisa mendampingi anak mereka belajar di rumah adalah karena tuntutan pekerjaan. Data terakhir menunjukkan 61,5% tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh laki-laki dan hal ini menjelaskan mengapa pendampingan proses belajar ajak didominasi perempuan. Namun, peneliti juga menemukan bahwa pada pasangan suami istri yang keduanya bekerja pun, masih terdapat ketimpangan gender dalam pendampingan anak. Salah satu penyebab terbesar dari hal ini terkait dengan masih rendahnya fleksibilitas yang diberikan tempat kerja terhadap pekerja laki-laki yang memiliki anak.

Selain itu, budaya sekolah pun turut berperan dalam memelihara bias gender yang terjadi. Misalnya saat kegiatan-kegiatan sekolah, seperti pembagian rapor, identik menjadi urusan ibu saja, bukan ayah. Adapun jika ayah yang mengambil rapor anaknya, maka akan dianggap aneh oleh masyarakat. Padahal baik ayah maupun ibu seharusnya terlibat aktif memantau perkembangan belajar anaknya.

Setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan dalam membangun keadilan gender dalam pendampingan pendidikan anak.

Pertama, sekolah perlu memberikan iklim yang kondusif bagi orang tua untuk terlibat dalam aktivitas belajar anak-anak mereka. Di Jepang, misalnya, orang tua khususnya ayah dilibatkan dalam kegiatan orientasi sekolah. Terdapat kebijakan yang mengharuskan orang tua masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran selama satu bulan supaya mereka memahami norma dan proses pembelajaran siswa di sekolah tersebut.

Sekolah juga dapat mengundang orang tua, khususnya ayah yang biasanya bekerja, untuk secara sukarela membagikan pengalaman kerja mereka pada siswa. Ini bertujuan untuk memantik rasa ingin tahu dan motivasi siswa tentang ragam profesi di masa depan.Program ektsrakurikuler, olah raga, dan pengembangan bakat siswa dapat menjadi pintu masuk untuk melibatkan ayah di sekolah, mengingat umumnya pelaksanaan berbagai kegiatan ini berada di luar jam pelajaran atau di luar hari sekolah.

Kedua, institusi tempat bekerja perlu memberikan fleksibilitas waktu bekerja pada orang tua untuk dapat mengalokasikan waktu khusus dalam pendidikan anak mereka. Praktik ini dilakukan Jepang dan Korea Selatan dan mereka berhasil meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan anak mereka.

Ketiga, budaya patriarki yang menyuburkan stigma bahwa urusan pendidikan adalah urusan perempuan juga perlu pelan-pelan dihilangkan. Bagaimana pun, ibu maupun ayah memiliki hak yang sama dalam pendidikan untuk mencapai keseimbangan capaian akademik sekaligus psikologis anak-anak di masa depan.