Tata Kelola UMKM di Era Disrupsi

UMKM berpeluang dapat menyelamatkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah dan naik kelas. Syaratnya, UMKM harus melakukan perubahan tata kelola.

Tata Kelola UMKM di Era Disrupsi
Ilustrasi foto/MMG.
Tata Kelola atau GCG menjadi sangat penting, karena bukan saja bisa menjamin kualitas dan keberlangsungan perusahaan UMKM, namun juga membawa Indonesia naik kelas.

Tahun 2020 (MMXX) adalah tahun penuh tantangan bagi para pelaku usaha. Selain karena tahun ini merupakan tahun dimana perdagangan bebas di kawasan Asia Pasific diberlakukan, juga karena hingga tahun 2019 tutup buku pertumbuhan ekonomi kita mandek di kisaran 5 persen.

Tentu saja, yang namanya tantangan harus dihadapi, jangan sekalipun dihindari apalagi disikapi dengan wajah sendu. Karena Ibarat kamboja tua yang ditadah rinai hujan, ia akan mengkerut hingga akhirnya terjatuh ke bumi.

Optimisme harus tetap digaungkan, karena hanya dengan begitu kita akan bisa bertahan atau bahkan melakukan lompatan. Apalagi jika mengacu pada simulasi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), bahwa pertumbuhan ekonomi kita dapat mencapai 7 hingga 9,3 % per tahun. Syaratnya, 10 persen dari UMKM kita harus naik kelas dan mendorong kelas menengah keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

Dari namanya UMKM memang identik dengan usaha berskala kecil, namun jangan salah ‘si kecil’ ini sebetulnya memiliki kontribusi yang sangat besar dan krusial bagi perekonomian kita secara makro. Laporan Kementrian Koperasi dan UKM RI menyebutkan, secara jumlah unit UMKM memiliki pangsa sekitar 99,99% (62.9 juta unit) dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia (2017), sementara usaha besar hanya sebanyak 0,01 atau sekitar 5400 unit.

Usaha Mikro menyerap sekitar 107,2 juta tenaga kerja (89,2%), Usaha Kecil 5,7 juta (4,74%), dan Usaha Menengah 3,73 juta (3,11%); sementara Usaha Besar menyerap sekitar 3,58 juta jiwa. Artinya jika digabungkan UMKM sebetulnya menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional, sementara Usaha Besar hanya menyerap sekitar 3% dari total tenaga kerja nasional.

Apalagi jika UMKM yang ada tersebut bisa berkolaborasi dengan ekonomi digital yang tengah mendapat atensi cukup tinggi dari kalangan pelaku usaha. Porsi ekonomi digital Indonesia saat ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan nilai transaksi sebesar US$ 40 miliar dan diproyeksi bertambah menjadi US$ 133 miliar di tahun 2025.

Belum lagi dari aspek regulasi hingga infrastruktur, pemerintah telah bekerja dan melangkah maju. Merujuk riset Hootsuite dan We Are Social, kecepatan unduh di Indonesia naik dari 9,73 Mbps pada 2017 menjadi 9,82 Mbps pada Januari 2018.

Pemerintah juga telah menargetkan angka-angka ambisius dalam misinya. Indonesia ditargetkan memiliki 44 usaha rintisan lokal berstatus unicorn yang berarti punya kapitalisasi tinggi. Yaitu, start-up yang mengantongi nilai 1 miliar dolar AS atau setara Rp 14,3 triliun sebagai standar valuasi.

Kendati begitu, peluang UMKM untuk bisa menyelamatkan Indonesia dari Jebakan Kelas Menengah ini sarat tantangan. Terlebih karena baik UMKM maupun ekonomi digital merupakan industri yang sangat dinamis, terus berkembang dan menyajikan lonjakan-lonjakan tak terkira.

Lepas dari Jebakan

Sebuah riset yang dilakukan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) menyebut bahwa, salah satu upaya agar UMKM bisa naik kelas, adalah harus melek teknologi. Lebih lanjut menurut riset ini, dengan bantuan teknologi, pasar akan lebih mudah diraih dan UMKM lebih memiliki daya saing.

Kabar baiknya, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) melansir sebanyak 3,79 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah ini berkisar 8 persen dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta.

Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menggenjot jumlah pelaku UMKM yang berselancar di dunia maya, Misalnya saja, Kemenkop UKM dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama dengan para pelaku e-commerce menggagas program bertajuk 8 Juta UMKM Go Online.

Namun melek teknologi juga tidak melulu soal ekonomi digital, terutama bagi UMKM di sektor manufaktur. Melek teknologi dalam konteks ini harus mendorong UMKM menjadi bagian revolusi industri keempat dengan memanfaatkan teknologi dalam proses produksi. Dalam konteks tertentu, bukan tidak mungkin menggunakan artificial intelligence (AI) ataupun internet of things (IoT).

Upaya kedua dan paling penting yang harus dilakukan agar UMK lepas dari jebakan dan naik kelas adalah dengan menerapkan tata kelola yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Upaya ini menjadi penting karena selama ini UMKM masih dianggap belum memerlukan tata kelola perusahaan yang baik. Padahal UMKM berkontribusi besar pada ekonomi Indonesia.

GCG menjadi sangat penting, karena dianggap bisa menjamin kualitas dan keberlangsungan perusahaan UMKM.  Faktanya, selama ini keberlangsungan bisnis UMKM di Indonesia kebanyakan hanya bertahan selama 10 tahun.

Bandingkan dengan keberadaan UMKM di negara-negara maju atau yang paling dekat di negeri jiran, Malaysia. Mereka bisa bertahan lebih lama. Belum lagi jika melihat Peringkat GCG Indonesia yang ternyata masih rendah di banding Malaysia, Singapura dan Philipina.

Wajar sajalah kiranya jika Menteri Keuangan Sri Mulyani (SMI) bolak-balik merevisi target pertumbuhan ekonomi, hingga akhirnya harus mengakui kenyataan jika pertumbuhan ekonomi hanya bisa bertengger di kisaran 5 persen. Menurut SMI, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan karena gagal menggenjot investasi.

Jika persoalan ini kita turunkan lagi, maka salah satu penyebab dari kurang maksimalnya pemerintah dalam menggenjot investasi masuk ke Indonesia, salah satunya, lantaran UMKM yang memiliki porsi terbesar dalam perekonimian kita masih gagap dalam menerapkan GCG.

Fakta lain, menurut penilaian Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) terhadap 200 emiten yang ditelitinya, bahwa praktik tata kelola perusahaan-perusahaan terbuka di Indonesia masih sekadar memenuhi standar minimum yang disyarakatkan oleh Undang-Undang dan regulasi, sehingga perkembangannya dalam kondisi stagnan.

Disinilah pentingnya penegakkan regulasi yang kuat dan perubahan budaya tata kelola perusahaan bagi UMKM. Agar dalam perusahaan atau UMKM yang hendak naik kelas tercipta sebuah keseimbangan. Proses seleksi anggota komisaris atau pengawas dengan demikian menjadi sangat penting, terutama komisaris independen. Agar fungsi pengawasan berjalan dengan baik. Antara kepentingan pemilik usaha dengan pengguna produk atau jasa usaha serta kepentingan stakeholder lainnya dapat terjembatani.

Pun demikian dengan partisipasi aktif pemegang saham independen, serta pendidikan dan pengembangan berkelanjutan anggota dewan komisaris/pengawas. Ini menjadi penting, karena seperti terjadi di Malaysia dan Thailand, pelatihan khusus untuk calon direksi atau komisaris dinilai menjadi salah satu faktor sukses tata kelola perusahaan.

Di era disrupsi seperti seperti sekarang ini, penerapan Good Corporate Governance menjadi faktor penentu keberhasilan dunia usaha. Karena ternyata, masalah utama UMKM kita ada pada akuntabilitas dan transparansi yang masih rendah sehingga ke depan perlu ditingkatkan.

Jika UMKM bisa mengimplementasikan prinsip-prinsip tata kelola (GCG) dengan baik, maka tentu saja persoalan yang selama ini dihadapi yaitu akses permodalan dapat teratasi. Apalagi dalam konteks ini, lembaga penjaminan terutama Perum Jamkrindo seperti diamanatkan dalam PP 35 tahun 2018 telah memperluas spektrum usahanya sesuai dengan perkembangan teknologi dan dunia industri terkini.

Usaha-usaha rintisan (startup business) yang memenuhi kriteria UMKM dan bergerak di bidang financial technology (FinTech), ritel, teknologi, jasa, dan bidang lainnya bisa mendapatkan penjaminan pembiayaan dari Jamkrindo. Melalui PP 35 ini Jamkrindo bahkan bisa melaksanakan penjaminan pembiayaan untuk kegiatan usaha yang dijalankan oleh non-UMKM, tetapi dalam koridor sinergi BUMN.

Dengan upaya-upaya seperti itu, maka UMKM bukan saja bisa menyelamatkan Indonesia dari jebakan kelas menengah saja, tapi juga membuat Indonesia bisa melakukan lompatan kemajuan bagi ekonomi kita. [  ]