Keagungan Nilai Islam Jangan Disalahartikan.

Untuk meredakalisasi pemahaman islam yang radikal, dibutuhkan tidak hanya peran kelompok muslim yang moderat, juga peran negara yang menciptakan keadilan.

Keagungan Nilai Islam Jangan Disalahartikan.
Dr. Haedar Nashir

MONDAYREVIEW- Islam yang berkemajuan yang kini dikampanyekan oleh Muhammadiyah, untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Pemahaman Islam yang keliru bisa berakibat pada buruknya citra Islam di mata dunia. Karena itu, menurut Dr. Haedar Nashir Ketua PP Muhammadiyah, Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulululah shollallahu alaihi wa sallam adalah Islam yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan kedamaian dan keselamatan bagi umat manusia.

 

Nilai-nilai luhur Islam inilah, yang menjadi tema penting dalam Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA), yang menghadirkan Dr. Haedar Nashir, pada pekan lalu. Menurut Haedar, nilai-nilai luhur Islam kadang karena bias pemahaman kemudian menjadi keliru dalam aktualisasinya seperti kalimat agung “Allahu Akbar” sering dipekikkan kurang pada tempatnya.

 

Pandangan radikal atau ekstrem juga sering karena adanya bias pemahaman itu. Misalkan di sejumlah acara kalau ada pidato sedikit-sedikit terdengar pekik Allahu Akbar ketika setuju dengan isi pidato itu. “Tentu itu baik, tapi kalau sering begitu kalimat agung itu menjadi terasa kurang tepat, “ jelas Haedar.

 

Banyak yang menyalahgunkan kalimat suci itu untuk kepentingan tertentu. Karena itu,  menurut Haedar, dirinya ingin menunjukkan bahwa muslim yang baik adalah muslim yang berilmu dan berkontribusi  positif bagi masyarakat, bukan mereka yang sedikit-sedikit meneriakkan “Allahu Akbar” untuk sesuatu yang sebenarnya sangat politis dan bukannya religius.  “kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok,” kata Haedar.


Dalam pemaparannya di depan para mahasiswa dan staf pengajar UQ, Haedar juga mengakui adanya mahasiswa Indonesia yang justru menjadi radikal setelah kuliah di luar negeri. Menurutnya ini semacam fenomena “salah pergaulan”.  “Karena itu bila kita tidak bisa mempengaruhi, sebaiknya jangan bergaul dengan mereka yang sudah diketahui berpaham radikal,”katanya.


Fenomena ini pula yang menurutnya membuat posisi Muhammadiyah, NU, dan mayoritas muslim Indonesia yang moderat menjadi sangat penting serta perlu memperkuat posisi muslim moderat di masyarakat.  Muhammadiyah sendiri justru menawarkan pendekatan moderasi dalam berhadapan dengan kelompok radikal, bukan deradikalisasi.

 

Deradikalisasi, kata Haedar, adalah berusaha mengubah pihak radikal dengan cara yang juga radikal. Ia merasa pendekatan ini kurang pas, terutama untuk jangka panjang, karenanya Muhammadiyah mengedepankan moderasi.  "Kelompok radikal biasanya mereaksi pihak lain yang sama radikalnya. Misalnya, ada kelompok yang ngotot menolak LGBT sementara di ujung spektrum yang lain ada kelompok yang tak kalah radikalnya dalam mendorong pengakuan hak LGBT," ujar Haedar.

 

Paham radikal atau ekstrem itu bukan hanya di lingkungan umat beragama atau karena paham agama, apalagi hanya ditujukan pada Islam dan umat Islam. Tetapi radikalisme itu universal karena ideologi non agama seperti komumisma, liberalisme, sekularisme, nasionalisme, dll. Radikalisme jg sering tumbuh berkaitan dg pandangan serta situasi politik dan ekonomi tertentu yg memicu orang untuk bertindak radikal.

 

Aspek krusial lain yang dilihat Muhammadiyah adalah penegakan hukum. Masyarakat akan terus memantau bagaimana aparat, sebagai representasi negara, memperlakukan pihak-pihak yang dipersepsi melakukan hal yang sama.  Kelompok moderat seperti Muhammadiyah dan NU sangat penting dalam membendung pertumbuhan radikalisme.

 

Bila negara secara tidak langsung ikut berkontribusi “menumbuhkan” kelompok radikal dengan kebijakannya yang tidak adil, maka peran yang diemban kelompok moderat menjadi makin berat.  Padahal, di saat yang sama, Muhammadiyah, NU, dan kelompok moderat lain juga harus bekerja keras membangun agar umat Islam maju dan mapan baik di ranah politik, ekonomi, pendidikan, bisnis, budaya dan lainnya. 

 

“Umat Islam yang moderat ini takkan bisa menjalankan perannya dengan baik dalam menjaga stabilitas di masyarakat bila dirinya sendiri terbelakang,” kata Haedar.