Wabah yang Menguak Stigma

Nasib pilu para korban covid-19 mengingatkan kembali pada wabah-wabah masa silam seperti kusta atau lepra yang dalam sejarahnya berada dalam titik nadir penistaan dan pengucilan.

Wabah yang Menguak Stigma
Ilustrasi foto/Net

SUNGGUH miris membaca senarai berita di balik gelegar wabah covid 19. Ada perawat pasien covid-19 sebuah rumah sakit di Jakarta yang mendapat stigma di lingkungan tempat tinggalnya. Mereka dianggap sebagai pembawa virus sehingga harus meninggalkan kamar kosnya dan terpaksa tinggal di rumah sakit. Dengar-dengar juga adanya stigma yang dialami keluarga petugas medis dan mahasiswa kedokteran.

Cerita makin giris saat membaca seorang pasien covid 19 di beberapa daerah yang meninggal dan ditolak masyarakat sekitar pemakaman. Petugas berpakaian hazmut yang hendak mengubur harus mencari tempat lain dan akhirnya dikubur tengah malam. Bahkan ambulance yang mengangkut jenazah harus menerima nasib diusir warga. Masyarakat kadung terperdaya oleh informasi bila virus corona bisa dengan mudah menjangkiti. Padahal penularan corona tidak melalui udara, melainkan dari percikan air liur atau sentuhan pada tempat-tempat yang telah ditempeli virus. Yah, kematian akibat covid 19 memang sangat tragis. Larangan keluarga untuk mendekatinya dan bahkan untuk ikut di pemakaman. Kalau toh boleh harus dalam jarak yang terbilang aman.

Sama, Tapi Tak Serupa

Kisah duka lara kematian akibat covid-19 ini melayangkan ingatan pada  jenazah pelaku teror. Sama walau tak serupa nasib. Kala itu, ada tujuh mayat pelaku teror yang melakukan aksi bom gereja di Surabaya dan taman Wonocolo yang ditolak warga. Kuburan yang sudah terlanjur digali untuk tujuh jenazah pelaku teror tersebut akhirnya ditutup kembali. Warga sendiri yang menutup ramai-ramai liang lahat itu. Seperti juga yang dialami jenazah pelaku teror di Medan. Sekelompok warga menggelar unjuk rasa menolak jenazah Rabbial Muslim Nasution, pelaku bom bunuh diri Polrestabes Medan. Alasannya, pelaku teror tersebut sudah meresahkan masyarakat dan mengakibatkan korban masyarakat tak berdosa.

Namun bila berhitung, nasib jenazah pelaku teror masih ada yang mujur.  Ambil contoh jenazah dua terduga teroris yang tewas tertembak oleh aparat Densus di sebuah pengunungan di Bima, yakni, Yaman dan Amir, malah disambut takbir oleh ratusan warga saat tiba di Kelurahan Penato’i, Bima pada 2017. Contoh lagi, jenazah pelaku penyerangan Mapolda Riau, Mursalim alias Ical alias Pak Ngah, disambut secara baik oleh masyarakat setempat pada 2018. Bahkan sebelumnya tahun 2009, kedatangan jenazah Air Setiawan dan Eko joko Sarjono, tersangka pelaku teror yang tewas ditembak di Jatiasih, Bekasi, oleh Tim Detasemen Khusus 88 disambut bagai pejuang. Ratusan masyarakat terlihat melayat di rumah duka. Bahkan pula terpampang spanduk bertuliskan "Selamat Datang Pahlawan Islam" yang mereka pasang di depan rumah Eko.

Dramaturgi Nasib

Nasib ngilu yang lebih mengharubiru dalam wajah kematian pada penyandang covid 19 mengingatkan kembali pada penyakit kusta atau lepra yang dalam sejarahnya berada dalam titik nadir penistaan dan pengucilan. Kusta sebagai penyakit kulit selama ini dianggap buruk oleh beberapa orang. Stigma negatif dan perlakuan diskriminatif kerap dialami para penderita kusta hampir di seluruh dunia. Tak sedikit tempat di beberapa negara  menjadi saksi bisu sejarah kelam tempat para penderita kusta diasingkan. Meski sudah sembuhpun, mereka tetap mendapat pandangan negatif dari masyarakat yang menganggap kusta sebagai penyakit menular, tidak bisa diobati, dan hukuman dari Tuhan. Stempel penuh kutukan ini bersumber dari kitab suci dan kepercayaan yang turun temurun.

Ketika ilmu pengetahuan medis dan farmasi berkembang, luluhlantaklah kepercayaan tentang kusta ini, walau tetap menyisakan stigma yang masih bersemayam. Hasil penelitian medis menyingkapkan bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan dengan terapi multi obat. Pengobatan pada tahap awal dapat mencegah kecacatan organ tubuh. Kusta memang menular, tetapi hanya dapat ditularkan melalui cairan dari hidung dan mulut. Dan juga penyakit ini dapat menular jika terjadi kontak berulang dalam jangka waktu yang lama.

Di zaman moderen ini masih saja menguarkan tatapan miring seperti saat munculnya wabah corona yang bermula dari Wuhan ini. Sontak memantik respon negatif dari sebagian masyarakat di Indonesia. Mereka menganggap wabah corona adalah ‘pembalasan’ Tuhan terhadap Cina karena telah melakukan penindasan terhadap muslim Uyghur. Sekali lagi ini menayangkan ingatan kembali pada wabah yang disebut ‘maut hitam’ (black death) yang terjadi di Eropa Abad Pertengahan dan telah menelan korban sepertiga warga Eropa. Saking jutek-nya, para pembesar dan agamawan warsa itu lalu melempar tuduhan terhadap komunitas Yahudi yang menyebabkan turunnya wabah tersebut. Akibatnya, banyak Yahudi yang dipersekusi dan diusir. Yah, inilah teodisi, keyakinan bahwa ini adalah  “kebenaran Tuhan,“ lalu berusaha menjustifikasi Tuhan, baik eksistensi maupun atribut-atribut-Nya, di dalam peristiwa-peristiwa kejahatan dan penderitaan manusia.

Absurditas dan Solidaritas

Albert Camus, filsuf dan sastrawan Perancis  menulis sebuah novel berjudul  “La Peste” yang diterjemahkan oleh NH Dini dengan judul  “Sampar”. Latar cerita ini berawal pada tahun 1947 di kota Oran sebuah kota di Aljazair, koloni Perancis, yang terkena wabah penyakit sampar yang membuat penduduk kota Oran menjadi cemas karena mewabah secara mendadak. Tetapi yang lebih memprihatinkan, penduduk tidak dapat berbuat banyak dan hanya menerima kenyataan itu. Dalam novelnya ini,  Camus ingin menunjukkan berbagai potret manusia yang bereaksi terhadap keadaan malang tersebut. Dalam catatan Camus, sebagai ekspresi eksistensialisme, ditulis bahwa dengan sampar, dia memaksudkannya sebagai kepenatan yang mencekik dan keadaan dimana terjadi ancaman dan pembuangan secara nyata dan alamiah.

Menghadapi absurditas, manusia harus menentukan sikapnya. Sikap Camus terhadap absurditas adalah pemberontakan. Pemberontakan adalah eksistensi subjektivitas dan kebebasan. Absurditas dalam “sampar” terkait erat dengan unsur-unsur, seperti penderitaan, kegagalan, keterasingan, dan kematian. Ya, cerita tentang sampar ini mereplikasi peristiwa kemanusiaan yang lengkap.

Dalam novel ini ada tokoh bernama Bernard Rieux. Ia adalah seorang dokter yang “menekan” perasaannya dari tugas-tugas kedokterannya dalam melawan wabah sampar. Ia termasuk tokoh yang memenangkan ‘pertandingan’, karena dalam absurditasnya ia tetap hidup “jiwa dan raganya”, setelah musibah epidemi sampar berakhir. Namun, ia sekaligus mewakili gambaran jiwa seorang yang gagal dalam membawa kehidupannya. Ketika wabah sampar datang, dia harus berpisah dengan istri yang dicintainya karena sakit yang dideritanya dan akhirnya berpisah untuk selama-lamanya.

Sikap Rieux ini sebagai bukti bahwa dia menganggap penderitaan adalah pengalaman bersama. Penderitaan yang dialami lain orang merupakan penderitaannya. Sebagai sorang dokter, Rieux melawan dan melenyapkan sumber penderitaan itu melalui orang sakit.Tindakan yang diambil Rieux untuk mengatasi penderitaan adalah berusaha menyembuhkan korban dan membentuk perkumpulan pelayan kesehatan yang terdiri atas para sukarelawan. Rieux memandang tindakan ini sebagai sikap yang tepat dan nyata.

Ya, Camus sejatinya hendak mendedahkan pikirannya mengenai etika absurditas manusia. Manusia “dihukum” turun ke bumi dengan menanggung segala risiko tak terduga. Orang boleh berharap pada Tuhan, tapi bagi Camus jawaban untuk menjalani hidup yang absurd dan tak tertaklukkan adalah “solidaritas umat manusia”.

Absurditas ala Camus ini mungkin bisa menjerat siapapun entah itu penderita wabah peyakit seperti covid 19, atau juga bisa juga menimpa mereka yang terpapar ‘wabah’ lain.  Pandemi atau epidemi penyakit apapun bisa menjerat manusia di tubir absurditas. Tak pelak juga, mereka yang galau, hilangan panduan dan lalu melakukan ketidakwarasan seperti mereka yang nekat hijrah dari Bumi Pertiwi  ke Bumi Syam, Suriah. Kini mereka ini tengah menjadi pandemi lain yang kelak setelah usainya covid 19 akan kembali tersingkap. Para returnis ini yang jumlahnya sudah ratusan kembali di negeri ini memang sedari awal mengidap absurditas. Dalam keliaran internet dan militansi para pendoktrin, mereka tak mampu ‘menaklukkan’ akal warasnya. Justru yang terjadi mereka ‘ditaklukkan’ oleh halusinasi tentang ‘negeri impian’ yang dibayangkan ada ‘surga’ di sana. Begitu mereka tiba, bayangan itu tetap bayangan, tak ada surga, tapi justru neraka. Hari demi hari hingga tahun demi tahun, penantian itu makin menjauh dari kenyataan. Hingga ISIS porak poranda, mimpi masih mimpi tak ada secercah wujud. Apa yang mereka teriakkan sebagai kekhalifahan hanya penantian tiada ujungnya. Hingga menujah diri mereka untuk menghalau harapan dan impian, lalu pulang. Mereka pun balik kampung dengan berbagai cara. Bersyukur, ada yang bisa kembali selamat dan kini mereka berdiam di negeri yang dulunya mereka anggap ‘negeri kutukan’. Banalitas kembali mengiringi perjalanan harian mereka. Hidup itu nyata, harus bekerja, berkreasi, meniti prestasi demi menyabung dan mengikuti orkestra kehidupan.

Yah, ‘para perindu kekhalifahan’ bagai ‘menunggu Godot’. Saya teringat  terma dari sebuah naskah drama yang ditulis Samuel Beckett yang pernah dipentaskan di Jakarta. Lagi-lagi, disini bicara tentang absurditas dan ini membelit tatkala manusia merenungkan keberadaannya ditengah keriuhan dunia. Absurd adalah situasi dimana manusia tidak menemukan kepastian dalam hidupnya sehingga ia menjadi aneh, tak jelas, dan serba bingung. Lalu mereka menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir drama, Godot tak pernah muncul. Jadilah kehadiran Godot adalah “ex absentia”, yakni keberadaan dari ketiadaan. Ia dibicarakan terus menerus, namun ia tidak pernah muncul. Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian itulah ia menunjukkan kekuasaannya.

Mereka yang terkena covid 19, harapan untuk sembuh terus menderap-derap. Dengan militansi perjuangan dokter dan tenaga medis yang tulus ikhlas akan mampu menolong mereka untuk sembuh. Solidaritas yang meluas di masyarakat juga memantik optimisme bahwa kita pasti akan mampu menaklukan covid 19. Solidaritas yang diwujudkan hingga pada mereka PDP covid 19 yang harus menerima nasib dijemput ajal.  Karena manusia adalah mulia dari sejak lahir hingga di liang lahat. Pun bagi mereka para returnis yang sudah berada di negeri ini setelah sembuh dari paparan wabah ‘kehalifahan’, kini mereka selayaknya perlu mendapatkan tempat di hati masyarakat. Tak ada lagi bagi PDP covid 19 yang meninggal dan juga para returnis yang telah sadar, menerima stigma yang hanya akan merisak solidaritas sosial.  

Absurditas dalam wujud yang gegar membahana suatu kala bisa jadi akan kembali membebat kehidupan ini. Dialektika antara kewarasan dan kegilaan tatkala menghadapi kepelikan memahami realitas akan terus saling berkelindan. Kita hidup dalam dunia yang makin berisik dengan segenap tingkah dan perilaku manusia. Planet bumi ini kian sesak dengan ‘kreatifitas’ yang tak terkendali. Kita tak bisa mengelak.

Nah, ada banyak wabah yang mungkin  masih mengintai kehidupan kita, kini, esok dan mendatang. Bukan hanya berwujud kuman, virus, mikroba atau apapun namanya, tapi juga ada ancaman yang terang benderang. Dunia kita masih dihuni oleh tak sedikit ‘koloni’ yang didalamnya terhimpun mereka yang terus merawat keserakahan, kemarahan dan dendam kesumat. Semogalah, dalam kegentingan-kegentingan, peradaban kita masih tetap kokoh. Kita yakin masih banyak insan-insan yang mau bergerak, berjibaku dalam pengabdian, serta membangun solidaritas untuk semua. [ ]