Karakteristik Orang Munafik dalam Al-Quran

MONITORDAY.COM - Menghindari upaya pembunuhan, berkat rahmat dan izin Allah, Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah ditemani dengan sahabat setianya, Abu Bakar, bersembunyi selama tiga hari di Gua at-Thur yang gelap. Demikian Ibnu Hisyam mengungkapkan dalam Sirah jilid 1-2 halaman 486.
Hamidullah dalam The First Writen Constitution in the world menggambarkan bahwa kedatangan Nabi di Madinah diwarnai upacara kebesaran saat beliau tiba pada bulan rabiul awal, dimana seluruh jalan penuh dengan luapan ekspresi kegembiraan pantun dan syair.
Boleh jadi kegembiran ini didasarkan pada pengetahuan yang telah mereka peroleh dari kalangan ahli kitab yang tertulis dalam kitab taurat seperti yang di ungkapkan oleh Nabi Isa AS putra Maryam:
"Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." (QS As-Shaf :6). Dengan demikian, Nabi yang datang di Madinah merupakan nabi yang telah dijanjikan oleh Allah.
Penduduk Madinah terdiri dari sebagian besar suku-suku orang Arab dan beberapa suku orang Yahudi. Aus dan Khazraj adalah suku terbesar di antara yang ada. Kedua suku itu terkait tali hubungan darah, kendati tak serasi dan sering kali terlibat konflik bersenjata.
Orang-orang Yahudi selalu berubah sikap yang mengakibatkan keretakan di antara mereka. Kedatangan Nabi Muhammad telah mengobarkan minat pemeluk agama baru ke setiap rumah suku Aus dan Khazraj. (M.M Al A’zami The History of The Qur’anic Text [terjemahan]: 33).
Keberadaan Nabi Muhammad ini akhirnya memotivasi sebagian besar kalangan suku Aus dan Khazraj masuk Islam. Kedatangannya bukan hanya mempersatukan mereka dalam kehidupan biasa dan menyembuhkan penyakit permusuhan lama diantara suku Aus dan Khazraj, melainkan telah memberi kemulyaan dan cahaya kepada mereka.
Di samping itu, kehadiran Nabi Muhammad telah memunculkan pula anasir-anasir rendah yang digerogoti kedengkian. Bukan hanya dari sebagian penduduk asli, kedengkian ini muncul juga dari kalangan ahli kitab. Al Quran menggambarkan kedengkian mereka sebagai berikut:
“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah:109).
Kedengkian sebagian penduduk Madinah itu, timbul dari kalangan yang memiliki ambisi untuk berkuasa baik dari kalangan penduduk asli dengan tokohnya “Abdullah ibnu Ubay” maupun dari kalangan ahli kitab dengan tokohnya “Abdullah Ibnu Saba”. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, harapan mereka untuk memegang kekuasan dan kepemimpinan di Madinah dengan memanfaatkan permusuhan dan kebencian golongan-golongan itu, sekarang sudah tidak ada lagi.
Kini mereka mulai bekerja di bawah tanah. Karena takut kepada mayoritas, mereka tidak berani terang-terangan menentang persaudaraan kaum beriman yang baru tumbuh itu. Mereka berusaha hendak menikamnya dari belakang dengan jalan mengadakan intrik-intrik rahasia dengan pihak musuh dan di depan Nabi secara terbuka bersumpah menyatakan kesetiaannya (Abdullah Yusuf Ali, Holly Qur’an:1448). Kelompok ini dalam al qur’an di sebut sebagai al-munafikun (orang-orang munafik).
Kemunculan orang-orang munafik itu, menjadi Asbabun Nuzul turunya surat Al-Munafiqun. Bagaimana karekteristik Al-Munafiqun menurut Al-Quran? Dan bagaimana orang beriman menyikapinya?
Surat Al-Munafiqun mengambarkan karakteristik orang-orang munafik baik dalam keadaan lemah, maupun dalam keadaan kuat, dan akibat yang akan dialami oleh mereka dengan kemunafikannya itu di dunia maupun di akhirat. Dan Allah memberikan resep bagaimana orang beriman menyikapinya.
Ketika dalam keadaan lemah, orang-orang munafik menujukkan sikap yang berlawanan antara di depan dan belakang Nabi. Ketika didepan Nabi mereka berkata kami beriman kepadamu bahwa sesungguhnya engkau benar-benar utusan Allah dan kami akan setia kepadamu.
Ketika mereka berada di belakang Nabi, mereka melakukan upaya menghalang-halangi orang lain untuk beriman dan setia kepada Nabi. Dalam sebuah hadist Nabi bersabda: “Tanda orang munafik ada tiga; pertama jika berkata berdusta, kedua jika berjanji tak pernah ditepati, dan ketiga jika diberi amanah berkhianat”. Dengan demikian, orang munafik itu hanya menjadikan keimanan sebagai tabir.
Penampilan fisik orang munafik mengagumkan dan perkataan merekapun sangat menarik bagi orang-orang beriman. Sehingga tanpa terasa orang beriman akan terbius dan terpesona oleh merekan pada akhirnya keimanannya terhadap Allah dan Nabi-Nya tereduksi.
Padahal menurut Allah, keadaan orang-orang munafik itu tidak ubahnya ibarat kayu yang keropos di dalamnya yang disandarkan (tidak dapat berdiri sendiri) yang mana apabila di ganggu sedikit saja kayu itu akan hancur. Kekeroposan itu, ditunjukkan oleh keadaan batin mereka yang selalu gelisah terutama apabila mendengar terikan yang keras seolah-olah ditunjukan kepada nereka. (QS Al-Munafiqun: 1- 4).
Ketika dalam keadaan kuat, orang-orang munafik selalu enggan dan berbalik serta mengabaikan, juga menujukkan sikap takabur ketika di ajak untuk memohon ampun kepada Allah. Bahkan mereka akan mengatakan janganlah berbuat baik kepada orang beriman dengan memberikan perhatian dan bantuan, dengan cara mencukupi kebutuhan sandang dan pangan serta menjadikan mereka nyaman.
Seharusnya yang dilakukan kepada orang beriman adalah mengusir mereka dari tempat kita (QS AlMunafiqun:5-8). Bagi orang-orang munafik, Allah memberikan ancaman bahwa mereka selamanya tidak akan mendapatkan petunjuk (hidayah) dan selalu dalam keadaan lemah. Yang kuat adalah Alloh, Rasulnya, dan orang-orang beriman.
Keberadaan orang-orang munafik ditengah-tengah orang beriman, sungguh sangat membahayakan. Mereka akan berusaha menghancurkan persatuan orang-orang beriman dengan cara melemahkan setiap aspek kehidupannya baik politis, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, maupun teknologi.
Melalui Surat Al-Munafiqun Alloh mengingatkan kepada orang beriman bahwa orang-orang munafik merupakan orang yang sangat buruk perbuatannya. Mereka merupakan orang-orang yang tidak mau memahami kebenaran. Dengan demikian, mereka itu merupakan musuh bagi orang-orang beriman sehingga perlu kewaspadaan yang sangat ekstra terhadap mereka. Kekurang waspadaan terhadap mereka menjadi pengalaman pahit bagi orang beriman dalam kekalahan perang Uhud.
Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka munafik, secara mendasar ada dua hal yang di firmankan Alloh dalam surat al-munafiqun pertama, “Harta/Kekayaan” dan kedua, “Anak-anak/Keturunan”. Kedua hal ini, telah memotivasi orang-orang munafik menunjukkan keangkuhan, kesombongan, dan kekuatannya untuk menghancurkan orang-orang beriman.
Penampilan yang mengagumkan dari orang-orang munafik karena hartanya yang melimpah dan perkataan yang membius karena kepiawaiannya merangkum kata-kata yang menarik dan logis menjadi pesona orang-beriman. Inilah yang membuat orang beriman luntur kewaspadaannya dan tereduksi keimanannya sehingga tanpa disadari bahwa keadaan orang beraman sudah dalam posisi lemah.
Orang beriman tidak dilarang untuk memiliki harta yang banyak dan juga anak-anak/keturunan. Tetapi prinsip keadilan dan mizan dalam memperoleh dan menggunakannya mesti tetap terjaga.
Allah berfirman: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.””(QS Al Qashash:77).
Dan, dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamannya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi”.
Bagi orang munafik harta, keturunan, ilmu, dan kemampuan berkomunikasi di dipergunakan (di-infakan) dalam rangka menghalang-halangi jalan kebenaran, maka bagi orang beriman harta, keturunan, ilmu, dan kemampuan berkomunikasi dipergunakan (di-infakan) dalam rangka menegakkan kebenaran. Wallahu a’lam bi showab.