Karakteristik Kisah Dalam Al Qur'an (2)

MONITORDAY.COM - Kategori kedua, pemaparan kisah berawal dari adegan klimaks, lalu dikisahkan rinciannya dari awal hingga akhir.
Kisah yang menggunakan pola seperti ini antara lain, kisah Musa dengan Fir’aun dalam surat ke 28 surah al-Qasas yang berawal klimaks kisah, yaitu keganasan Fir’aun (ayat:3-5), lalu dikisahkan secara rincian mulai dari Musa dilahirkan dan dibesarkan (ayat:7-13), ketika ia dewasa (ayat:14-19), ia meninggalkan Mesir (ayat:20-22), pertemuannya dengan dua anak perempuan (ayat:23-28), ia mendapat wahyu untuk menyeru Fir’aun (ayat:29-32), pengangkatan Harun sebagai pembantunya (ayat:33-37), kesombongan dan keganasan Fir’aun (ayat:38-42), Musa mendapat wahyu Taurat (ayat:43).
Kisah Musa dengan Khaidir juga menggunakan gaya seperti ini, antara alain kisah Musa dengan Khaidir seperti yang tercantum dalam surat ke 18 al-Kahfi ayat: 60-82. Kisah dimulai dengan perbincangan Musa dengan muridnya (ayat:60-64). Mereka bertemu dengan seorang hamba (Nabi Khaidir) dan terjadi perbincangan diantara mereka (ayat:65-70), Khaidir melobangi perahu, membunuh anak kecil, minta dijamu, tetapi penduduk tidak mau menjamunya, dan menegakkan dinding yang roboh (ayat:71-78). Penjelasan Khaidir kepada Musa tentang kejadian-kejadian yang aneh itu (ayat:79-82). Lalu kisah itu berakhir.
Kisah dengan pola seperti ini, dapat ditemukan dalam surat ke 2 (kedua) Al-Baqarah terkait dengan kisah penyembelihan sapi betina
Kategori ketiga, Kisah disusun seperti adegan-adegan dalam drama.
Kisah yang menggunakan pola seperti ini antara lain kisah Nabi Nuh as. dalam surat ke 11 Huud ayat: 25-49. Kisah dimulai dengan berita pengutusan Nuh kapada kaumnya, setelah itu dimulailah acting dan dialog tokoh Nuh dengan kaumnya.Ada beberapa fragmen dalam pengunggkapan kisahnya.
Fragmen pertama (ayat:26-36) Nuh mengajak mereka untuk hanya menyembah Allah. Lalu dijawab kaumnya dengan makian dan ejekan. Nuh mengingatkan mereka akan azab atas perbuatanya itu. Kemudan mereka menantang azab tersebut. Fragmen kedua Nuh membuat perahu, setiap kali mereka lewat, mereka mengejeknya. Lalu, muncullah air dari berbagai tempat. Nuh diperintahkan Allah untuk memasukkan binatang dan orang-orang yang beriman. Fagmen ketiga (ayat:41-43) Nuh beserta kaumnya yang beriman dalam kapal. Ia memanggil anaknya untuk masuk ke kapal, tetapi anaknya memilih untuk mencari perlindungan di gunung. Lalu gelombang besar menjadi penghalang diantara mereka, maka tenggelamlah anak itu. Fagmen keempat (ayat:44-45), Nuh beserta seluruh penumpang turun dari kapal. Setelah itu kisah pun berakhir.
Kisah dengan pola seperti ini dalam surat ke 2 (dua) Al-Baqarah dapat ditemukan terkait dengan kisah Ibrahim dan putranya Ismail.
Kategori keempat, pemaparan kisah dipaparkan secara repitisi atau perulangan.
Dengan menggunakan pola ini,terdapat dua aspek yang dirangkumi, yaitu aspek gaya dan kejiwaan. Pengulangan ini berdampak pada seni penggambaran dan seni pemilihan lafal yang berbeda dan berdampak pada kejiwan seseorang demikian At-Tihami Naqrah, mengungkapkan dalam kitabnya(Sikulujiyyah al-Qissas fil-Qur’an, p. 11).
Bentuk pengulangan dalam kategori terakhir ini, Menurut Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, pengulangan kisah dalam al-Qur’an bukanlan pengulang seluruh bagian melainkan bagian-bagian tertentu saja. Jika diteliti pengulangan tersebut minimal terjadi dalam tiga macam. Yaitu pengulangan alur kisah dengan tokoh yang berbeda, pengulangan kisah dengan kronologi yang berbeda dan pengulangan kisah gaya yang berbeda. Adapun menurut Husain Nassar repetisi, terbagi dua: repitisi dalam lafaz dan makna serta repitisi dalam makna saja.
Pola apapun yang tercantum dalam Al-Qur’an ketika menguraikan kisah-kisah, hakekatnya merupakan cara Allah Swt sebagai ”Rabb al-’Aalamin” mengajarkan kepada manusia bagaimana seharusnya memfungsikan”akal”dan”hati”nya.
Fungsionalisasi”akal”dan”hati”secara tepat tentunya akan berdampak positif terhadap proses pengembangan potensi ”ruhaniah dan ”jasmaniah” dalam rangka mempertajam mata ”lahir” dan mata ”batin” baik sebagai hamba maupun sebagai khalifatullah fil ardh. Wallahu’alam bi showab.