Jokowi 'Never Die'

Jokowi 'Never Die'
Ilustrasi Joko Widodo. MMG

WABAH Covid-19 pagi ini sepertinya mulai menurun. Paling tidak, Itu kita lihat dari berkurangnya antrian mengular di apotek dan depot-depot oksigen. Suara sirine ambulance juga sudah jarang terdengar. Jika pun ada, alunannya terdengar sedang. Itu berarti tidak darurat lagi.

Meski begitu, tetap saja kita tak bisa bersorak sorai terlebih dahulu. Jangan pula lengah dan abai menjaga prokes. Apalagi kita tahu, jika selain melahirkan gelombang kematian wabah juga melahirkan efek traumatik dan halusinasi.

Untuk yang terakhir, ini terasa sekali. Jika ada sekolempok orang yang menafsirkan wabah sebagai momentum untuk mengakhiri permainan, end game atau ending cerita. Padahal, malahan bisa saja end game itu merujuk pada after life atau hari akhir. 

Jika betul begitu, maka mestinya end game menjadi momentum perbaikan diri. Bukan malah memanfaatkan situasi dan membangun narasi untuk keuntungan politik sesaat. 

Bisa dipastikan, jika narasi negatif seperti itu yang dibangun, maka seperti narasi dari tagar ‘Jokowi End Game’ yang sempat viral kemarin, nyatanya malah layu sebelum berkembang.

Disinilah bahaya dan pentingnya kita melawan narasi negatif seperti ‘Jokowi End Game’. Karena jelas-jelas negara sedang berjuang mati-matian melawan wabah. Kita juga tahu, jika wabah Covid-19 efeknya amat luar biasa. Tidak saja di sektor kesehatan, tapi juga pendidikan, ekonomi, bahkan agama.

Di sektor pendidikan, ada sekira 407.000 sekolah yang harus ditutup sementara. Lalu ada 3,4 juta guru yang berjuang mengajar secara daring, sesuatu yang baru dan sulit. Serta 56 juta siswa yang kini harus belajar dari rumah. Sebagian besar mereka tak punya akses internet, dan berpotensi menjadi lost generation.

Tantangan yang dihadapi di dunia usaha pun begitu, berat. Sekira setengah dari 3,3 miliar pekerja di dunia dan 19,1 juta diantaranya di Indonesia jadi punya resiko kekurangan uang dan kehilangan pekerjaan. Sektor UMKM, yang di masa krisis biasanya tampil bak pahlawan, kini juga ikut kedodoran.

Wabah ini juga membuat perdebatan panjang soal penggunaan rumah ibadah. Sesekali diketatkan, lalu ditutup. Kali lain dibuka, lalu ditutup lagi. Perdebatan bergeser ke ibadah virtual, terutama shalat jum’at yang menuai kontroversi. Kita pun masuk dalam labirin perdebatan yang tiada akhir.

Dengan efek yang luas tersebut, maka tantangan untuk bisa keluar dari badai wabah Covid-19 ini pun jelas tidak mudah. Situasi yang tak bisa dihadapi sendiri oleh pemerintah. Kita perlu bekerja secara gotong royong. 

Karena membutuhkan kerja bareng , maka persoalan kinerja pun tidak bisa hanya dilihat selama Pandemi Covid-19. Banyak capaian kerja yang telah ditorehkan oleh Pemerintahan Jokowi selama memimpin Indonesia. Salah satunya pembangunan infrastruktur.

Jika dulu ada kesan bahwa pembangunan sangat Jawa-Sentris, maka kini itu dipastikan sudah berubah. Jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan sama-sama dibangun baik di Jawa maupun di Papua sana.

Pembangunan yang diterapkan Pemerintah Jokowi juga tidak hanya soal infrastruktur, tapi juga soal manusianya. Merujuk berbagai data yang ada, bayi yang lahir tahun 2019 memiliki harapan untuk hidup hingga 71,34 tahun, lebih lama 0,56 tahun dibanding mereka yang lahir empat tahun sebelumnya.

Pemerintah juga berusaha meningkatkan kemampuan siswa di bidang sains, membaca, dan matematika. Termasuk bidang vokasi, ini sangat terlihat perbedaannya sejak Jokowi mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK.

Lulusan SMK saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang penuh dengan hiruk pikuk di jalanan dan terminal untuk tawuran. Mereka kini, justru berada di garda depan ratusan startup ekonomi digital.

Meski di tengah pandemi, kita juga tahu, jika Pemerintahan Jokowi terus berusaha konsisten mereformasi birokrasi dan regulasi. Mulai dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga memangkas lembaga non struktural yang fungsinya saling tumpang tindih.

Dalam situasi sulit, Pemerintah Jokowi berusaha tetap hadir. Beragam upaya bantuan sosial, baik berupa sembako maupun tunai, terus diusahakan agar masyarakat tetap makan dan bertahan hidup.

Hal besar lain yang terbangun berkat hadirnya Jokowi menurut saya, adalah lahirnya tradisi baru dalam memilih pemimpin. Bahwa pemimpin tidak mesti dari kalangan elite, namun bisa hadir dari kalangan akar rumput.

Pada akhirnya, kita memang harus objektif dan rasional menghadapi pandemi Covid-19. Jangan sampai nantinya, kondisi pandemi dipakai pihak tak bertanggungjawab buat mengambil keuntungan pribadi dan bikin suasana makin keruh.

Apalagi dengan memunculkan narasi-narasi seperti ‘Presiden Terburuk Sepanjang Sejarah’ atau ‘Jokowi End Game’. Pernyataan dan gerakan ini, sangat jelas merupakan motif politik yang ingin memperkeruh suasana dan membenturkan masyarakat dengan pemerintah. Jangan sampai karena nila setitik lalu rusak susu sebelanga. Hanya karena perdebatan tiada ujung, dan memaksakan hasrat politik kelompok tertentu lalu menjadi alasan untuk merusak proses demokrasi yang sama-sama kita sepakati dan jalani.

Memang tak bisa dipungkiri, jika saat ini di akhir permainan, Jokowi memang tengah dikelilingi para ‘pahlawan’ yang di kepalanya punya misi yang berbeda. Jika terlalu banyak pahlawan akan lebih banyak misi. Lalu, permainan pun jadi lebih rumit.

Apalagi jika pemain utama tak memiliki keahlian mengelola permainan tahap akhir. Seperti di permainan catur, saat bidak catur tersisa sedikit saja. Pemain utama akan dituntut untuk berpikir di waktu yang amat sempit. Jika tak punya kemampuan, maka semua usaha keras yang dilakukan akan jadi sia-sia. Lalu, dengan satu jentikan jari saja, sang lawan bisa mengubah segalanya. Padahal mestinya, sang legenda tak pernah mati, legend will never die. Semangatnya selalu di hati.