Jokowi Dekat Dengan Islam, #2019gantipresiden Dinilai Akan Sulit Diwujudkan

Pengamat Politik dan juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, Gerakan #2019GantiPresiden akan sulit diwujudkan pada pemilu 2019. Alasanya, adanya perpecahan dalam tubuh inisiator gerakan tersebut yang dimotori oleh gerakan 212.

Jokowi Dekat Dengan Islam, #2019gantipresiden Dinilai Akan Sulit Diwujudkan
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago/foto: istimewa

MONITORDAY.COM - Pengamat Politik dan juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, Gerakan #2019GantiPresiden akan sulit diwujudkan pada pemilu 2019. Alasanya, karena adanya perpecahan dalam tubuh inisiator gerakan tersebut yang dimotori oleh gerakan 212.

"Setidaknya ada tiga organisasi terpisah yang mengatasnamakan 212 yairu, Presidium 212, Persaudaraan 212, dan Garda 212 sehingga akan menurunkan tensi dan daya tekan gerakan yang berujung pada menurunnya efektifitas dalam mobilisasi dukungan," ujar Pangi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/11).

Kendala lainnya, kata Pangi adalah kegagalan mendefinisikan musuh utama. Sebab, Gerakan 212 sebagai salah-satu representasi dari populisme Islam Indonesia secara elitis akan mudah menerima posisi yang berseberangan dengan pemerintah saat ini, namun pada basis akar rumput pemilih akan gagal mendefenisikan dan menerima kesimpulan yang sama. 

"Hal ini disebabkan oleh upaya serius yang dilakukan poros Jokowi untuk merangkul kalangan Islam dengan pendekatan intensif kapada para Ulama, Santri, Cendikiawan Muslim dan Ormas Islam," ucapnya.

Jokowi, kata Pangi ingin mengambil posisi tidak berseberangan dengan kekuatan Islam, sehingga perlahan tapi pasti Jokowi berhasil memperluas basis dukungannya yang tidak hanya dari kalangan ceruk segmentasi nasionalis. 

Dengan kondisi seperti itu, kata Pangi, tentu sangat merugikan bagi gerakan populisme Islam atau 212 karena tidak terdapat garis demarkasi yang jelas antara isu yang dijual oleh pihak sang penantang dan pemerintah yang sedang berkuasa.

"Situasi ini semakin diperparah dengan adanya eksodus elite dari gerakan ini yang berbalik arah/banting stir mendukung pemerintah," sebut dia.

Pangi menambahkan, kombinasi nasionalis-religius adalah pilihan paling Ideal untuk meredam ketegangan politik dan berkembangnya politik SARA dan pecah-belah. Kubu Jokowi membuat keputusan strategis dengan mengambil ulama sebagai calon wakil presidennya sebagai bentuk respon serta menjawab isu SARA, menghapus stempel yang terkesan anti Islam.

"Keputusan ini tentu menjadi pukulan telak bagi lawan politik dan kelompok yang sebelumnya terlanjur membuat stigma negatif terhadap pemerintah. Jualan politik agama jadi tak laku, politik SARA padam," jelasnya.

Selain itu, kata dia, Jokowi menunjukkan keberpihakan nyata kepada umat Islam, bahkan calon wakil presiden pilihannya adalah ulama besar yang memegang posisi strategis sebagai Rais ‘am NU dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Di sisi lain, kata Pangi kubu Prabowo justru memilih Sandiaga Uno rekan separtainya yang jauh dari representasi gerakan populisme Islam, bahkan pemilihan Sandiaga Uno menunjukkan kesan partai Gerindra seolah tidak mau berbagi dan memborong semua jabatan strategis mulai dari capres-cawapres dan ketua tim pemenangan. 

Situasi ini, kata Pangi tentu sangat tidak menguntungkan bagi kubu oposisi dimana akan kesulitan membangun soliditas koalisi dan yang terpenting adalah kesulitan membangun argumentasi pada para pendukungnya terutama kelompok Islam yang rekomendasinya tidak menjadi pertimbangan dalam penentuan calon wakil presiden.

Dengan kondisi tersebut, kata Pangi kelompok pembuat stigma negatif kepada Jokowi harus berfikir ulang karena semua tuduhan ini terbantahkan dengan kerja nyata dari pemerintah, hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai data dan fakta yang menunjukkan hal yang sebaliknya. 

Dia mencontohkan, program 1000 Balai kerja Pesantren dan pembangunan ekonomi Pesantren, penetapan hari Hari Santri Nasional, Kunjungan rutin ke 60 pesantren selam 3 tahun, Komite nasional keuangan syariah, Pembangunan Universitas Islam Internasional yang sudah dimulai pembangunannya, Lembaga keuangan mikro Syariah, peresmian beberapa pesantren baru. 

"Bahkan baru-baru ini presiden Jokowi dinobatkan sebagai “Top 50” tokoh Muslim berpengaruh di dunia menduduki peringkat ke-16," pungkasnya.