Jokowi dan Reforma Agraria

MONITORDAY.COM - Pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bagai dua sisi dari satu mata uang. Disamping pemerataan pendapatan yang juga tidak kalah pentingnya adalah pemerataan aset terutama tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh ironis bila mengaku punya tanah air namun dalam kenyataannya tidak memiliki sebidang tanah untuk hidup dan air minum pun harus membeli.
Ketimpangan berbanding terbalik pemerataan. Indonesia harus berjuang agar ketimpangan ekonomi tidak semakin melebar. Laporan terakhir menunjukkan indeks gini rasio turun dari 0,41 menjadi 0,39. Sudah lumayan meski harus lebih keras lagi untuk menekannya. Indeks ini menunjukkan tingkat ketimpangan sosial ekonomi. Dikutip dari laman web DPR, Rasio Gini adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk.
Menurut artikel di web parlemen tersebut Indeks atau koefisien ini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.
Dengan kata lain Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Secara sederhana, jika angkanya di atas 0,5 berarti ketimpangan masih tinggi.
Ada lagi istilah indeks gini bidang pertanahan. Di bidang ini, indeks gini Indonesia berada di angka 0,59. Artinya 1% penduduk menguasai 59% lahan yang ada di negeri ini. Sementara yang jumlahnya sekitar 99% itu hanya menguasai 41% lahan yang ada di negeri ini. Ketimpangan ini terkait dengan legalisasi aset tanah atau sertifikasi tanah dan reforma agraria.
Isu ini mengemuka saat Anwar Abbas melontarkan kritik dalam acara Kongres Ummat Islam II. Menurut Anwar Jokowi tidak anti kritik. Meski sebelumnya diakui Anwar koleganya di MUI berseloroh memintanya untuk tidak keras-keras dalam mengkritik.
Terbukti Presiden Joko WIdodo responsif menanggapi kritik tersebut. Jokowi pun memilih membatalkan untuk membaca naskah pidato yang sudah disiapkan dan memilih untuk menanggapi kritik tersebut. Menjawab kritik tersebut Jokowi menjelaskan fakta dan kemajuan yang telah ditempuh Pemerintah.
Pertama, berkaitan dengan Indeks Gini bidang pertanahan, saat ini proses pendistribusian reforma agraria masih berlangsung. Hingga sekarang distribusi reforma agraria sudah mencapai 4,3 juta hektar dari target 12 juta.
Kedua, Indonesia sudah memiliki bank tanah. Semua Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang ditelantarkan selama 20 hingga 30 tahun akan ditarik kembali.
Ketiga, Jokowi berjanji jika ada yang memerlukan lahan dengan jumlah yang sangat besar semisal 10 ribu hingga 50 ribu hektare dapat disampaikan kepadanya dan akan dicarikan tetapi dengan feasibility study yang jelas.