Meneropong Masa Depan Jawa Barat di Tangan Sang Arsitek

Buah pemikiran yang dihasilkan Kang Emil dalam perjalanan politiknya tidak terlepas dari basis intelektualitas terhadap disiplin ilmu yang dimiliki, yaitu 'arsitektur'.

Meneropong Masa Depan Jawa Barat di Tangan Sang Arsitek

ADA banyak imaji dan harapan yang bisa diteropong ketika melihat mahligai perkawinan antara arsitektur dan kepemimpinan. Ada karya yang bernilai tinggi, ada janji kesejahteraan, atau bahkan puncak peradaban. Seperti yang kita lihat pada Soekarno, sosok fenomenal yang lahir dari pertautan dua hal tersebut, arsitektur dan seni kepemimpinan.

Pun demikian yang bisa kita lihat dari sosok Ridwan Kamil, atau biasa disapa Kang Emil yang tengah menahkodai Jawa Barat. Warga Jawa Barat sedang dan terus menunggu racikan Sang Gubernur. Ia bukan praktisi ataupun politisi murni. Tapi berlatar belakang seorang arsitek. Kang Emil kini tak lagi diuji daya imajinya untuk merancang dan menata bangunan, tapi imaji dan rancangan ciamiknya menata tata ruang infra dan supra struktur Jawa Barat.

Kang Emil pun kini dielu-elukan, bisa menjadi seperti pendahulunya sesame arsitek. Menjadi ‘anak hilang’ dan alternatif dalam khazanah kebudayaan politik di Indonesia. Terutama sejak 1 tahun terakhir, tepatnya pasca penetapan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018 tepatnya dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 43/PL.03.2-Kpts/32/Prov/II/2018 Tentang Penetapan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat pada Pemilihan Umum dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2018.

Dapat diketahui bersama, buah pemikiran Kang Emil dalam perjalanan politiknya tidak terlepas dari basis intelektualitas terhadap disiplin ilmu yang dimiliki, yaitu arsitektur. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa mahakaryanya yang berdampak secara multidimensional.

Pertama, bermula dalam dimensi agama dengan hadirnya Masjid Al – Irsyad, masjid yang lahir berdasarkan kelihaian tangan sang arsitek dinobatkan sebagai The Best 5 World Building of The Year 2011, sebagai salah satu desain terbaik dari lima tempat ibadah yang ada di dunia. Salah satu dari sekian rancangan arsitekturnya dalam dimensi agama pun cukup menarik perhatian salah satu ulama muslim di Indonesia, yakni konsep arsitektur yang masih dilahirkan dari buah fikir sang arsitek (RK) masjid Al – Shafar yang terletak di  Rest Area KM 88 Tol Cipularang Bandung yang selanjutnya menjadi buah bibir di beberapa media sosial. Namun, terdapat Blessing in disguise “rahmat yang tersembunyi” atas hadirnya polemik tersebut, dengan kebijaksanaan MUI yang memfasilitasi proses dialog terbuka yang bertempat di Pusat Dakwah Islam Jawa Barat (PUSDAI) beberapa bulan silam, tentunya memberikan sentuhan cakrawala pengetahuan bagi masyarakat dalam disiplin ilmu arsitektur dan keagamaan.

Kedua, Dalam dimensi infrastruktur, saat hendak menjalankan amanah menjadi Walikota Bandung, Ridwan Kamil (sang arsitek) ikut serta berperan dalam kebijakannya untuk membangun komposisi infrastruktur Overpass Pelangi Antapani, Bandung (Jembatan Pelangi). Overpass yang dibangun dengan dana Rp 35 miliar ini merupakan pilot project teknologi Corrugated Mortarbusa Pusjatan (CMP) yang pertama kali diterapkan di Indonesia.

Ketiga, dalam dimensi tata ruang dan kota. Smart City menjadi konsep tata Kota yang tidak kalah populer untuk menjadi buah bibir masyarakat untuk berspekulasi berkenaan akan relevansi kebijakan tata kota dengan kemajuan zaman dan teknologi yang saat ini tidak dapat dibendung. Dengan alur percepatan informasi dan imbas revolusi industri 4.0 tentunya Pemerintah Daerah dituntut untuk melaksanakan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Bab XXI bertajuk Inovasi Daerah. Dari Pasal 386 hingga Pasal 390 UU 23/2014, menjelaskan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi. Sebagaimana Implementasi Kebijakan mengenai Smart City telah dijelaskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meluncurkan program Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2015 di Balai Sidang Jakarta pada 24 Maret 2015.

Di bawah kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil, Kota Bandung sangat serius membawa jargon Smart City. Dengan lebih dari delapan juta orang penduduk, Bandung adalah kota terbesar ketiga di Indonesia, di bawah Jakarta dan Surabaya. Populasi penduduknya yang muda dan melek teknologi semakin mendukung ekosistem teknologi di Bandung.

Semangat berbagi dan kolaborasi, kang Emil untuk mendorong pemerataan informasi berkenaan dengan gagasan Smart City telah dilakukan olehnya bersama Pemerintahan Kota Bandung salah satunya dengan diadakannya Smart City Forum yang dilaksanakan di Ballroom Trans Luxury Hotel Bandung, Jumat 2 September 2016 oleh Bapak Ridwan Kamil selaku Walikota Bandung. Smart City Forum yang dihadiri oleh 38 kepala daerah dan perwakilan dari 76 Kabupaten/kota seIndonesia. Hal ini tentunya sangat pantas dilakukan mengingat Prestasi Kota Bandung telah memenangkan ajang Smart City Award 2015 yang diadakan oleh majalah Asia’s Tech Ecosytem.

Berdasarkan hasil uraian beberapa mahakarya besarnya yang berdampak secara multidimensional, memberikan kesimpulan sementara bahwa perjalanan politik Kang Emil berbanding lurus dengan kekayaan intelektual yang dimilikinya dalam bidang arsitektur.

Meminjam istilah Mangunwijaya (1992) Proses beraksitektur seperti juga berbahasa, melangkah, ialah upaya manusia untuk semakin menyatakan dan menyempurnakan ada diri kita. Melalui best practice dan beberapa basis empiris dan kontribusi konkrit (RK) untuk bangsa, secara kasat mata menjadi sebuah proses pernyataan dan penyempurnaan dirinya yang kemudian menjadi salah satu faktor keyakinan sebagian masyarakat Jawa Barat untuk memandatkan sang arsitek sebagai perancang kemajuan rakyat dan wilayahnya. Pertanyaan selanjutnya, dalam 1 tahun menjalankan amanah, sudah sejauh mana sang arsitek (RK) membangun masyarakat Jawa Barat melalui Visi “Jawa Barat Juara Lahir Batin?”

Jabar Quick Response

Melalui Best Practice dan pengalaman dalam mengagas pengelolaan Smart City sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan tata kelola pemerintahan E-Government. JQR memiliki tujuan besar sebagai Gerakan Sosial (Civil Society Movement) sekaligus inovasi atas keseriusan Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jabar untuk memberikan keputusan atau solusi pertolongan pertama (first aid) bagi warga.

Program kemanusiaan ini diluncurkan oleh Kang Emil pada 18 September 2018. Ia berusaha menghadirkan pemerintahan yang cepat tanggap terhadap curahan hati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan data Per 31 Juli 2019 alias 312 hari setelah JQR diluncurkan, program tersebut sudah menerima 57.187 aduan, merespons 34.364 aduan, dan berhasil menindak 404 aduan.

Merancang Arsitektur Pemerintahan yang Terbuka

Tidak puas sampai disitu, dalam memanfaatkan teknologi dan percepatan informasi di era disrupsi, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terus mendorong pemerintahan yang dinamis (dynamic government) demi menyukseskan visi Jabar Juara Lahir Batin. Salah satu caranya dengan menerapkan teori Pentahelix dalam bingkai dynamic government.

Pentahelix merupakan pendekatan pembangunan melalui kolaborasi dengan Academic (akademisi), Business (swasta), Community (masyarakat), Government, dan Media atau sering disingkat ABCGM.Kini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) berupaya mendorong keterbukaan informasi publik dan kemudahan akses data melalui program 'Jabar Open Data' kerja sama dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jabar.

Jabar Future Leader

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat mulai membuka pendaftaran beasiswa Jabar Future Leader (JFL) tahun 2019, pada Senin (26/8), dan berakhir pada 8 September. Untuk program JFL ini, Pemprov Jabar mengalokasikan anggaran Rp 50 miliar.

Program beasiswa JFL 2019 ini dipersembahkan bagi masyarakat Jawa Barat yang sedang menempuh pendidikan jenjang S1, S2 dan S3. Adapun kuota penerima beasiswa prestasi akademis, kata dia, yakni sebanyak 1.312 mahasiswa. Untuk beasiswa pendidikan penuh jenjang S1 sebayak 705 mahasiswa, beasiswa pendidikan penuh jenjang S2 sebanyak 157 mahasiswa. Sedangkan beasiswa bantuan biaya pendidikan jenjang S3 adalah 50 mahasiswa dan beasiswa percepatan akses pendidikan tinggi jenjang S1 sebanyak 400 mahasiswa.

Dari beberapa uraian diatas, kiranya dapat mewakili 3 dari sekian peran Sang Arsitek dalam membangun Jawa Barat. Bukan secara kebetulan, “Visi Jabar Juara Lahir Batin” apabila dimaknai melalui kontemplasi yang mendalam, sejatinya memiliki relevansi dengan pribadi Ridwan Kamil (RK) sebagai seorang arsitek.

Hal ini disebabkan hubungan kausalitas – sebab-akibat yang bersumber dari kajian arsitektur secara komprehensif, untuk membuktikan hal itu, maka penting pula untuk menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi dan relasi-relasi yang terbentuk serta berkait berkelindan dengan arsitektur itu sendiri.

Dalam tataran ini, arsitektur dapat dilihat sebagai produk dan proses budaya. Sebagai produk budaya, teori dari Altman (1980) menjelaskan bahwa lingkungan binaan pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, faktor budaya, dan teknologi. Faktor lingkungan, mencakup kondisi alamiah lingkungan seperti faktor geografis, geologis, iklim, suhu, dan sebagainya. Faktor teknologi, meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan ketrampilan teknis membangun.

Faktor budaya, di antara banyak definisi tentang kebudayaan, Altman menjelaskannya sebagai aspek-aspek falsafah, kognisi lingkungan, persepsi, norma dan religi, struktur sosial, struktur keluarga, dan lain-lain. Di sisi lain, arsitektur juga dapat dipandang sebagai bagian dari proses budaya. Sebagai bagian dari proses budaya, arsitektur berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan tujuan kemanusiannya.

Dengan meminjam istilah altman, faktor lingkungan, faktor teknologi, faktor budaya yang merupakan aspek-aspek yang tentunya secara tak kasat mata membentuk suatu pola keseimbangan antara yang terlihat (materil/Lahir) dan (Immateriil/Batin). Kiranya istilah Jabar Juara Lahir batin dapat disimpulkan bersandar kepada daya nalar sang arsitek (RK) melalui proses internalisasi dalam pendidikan arsitektur peminatan Urban Design di University of California (1999-2001) sehingga lahir eksternalisasi pemikiran di bidang politk melalui kapasitasnya sebagai Gubernur Jawa Barat sehingga bermuara pada Visi Jabar Juara Lahir Batin yang hari ini menjadi tugas bersama masyarakat Jawa Barat untuk ikut serta mengawal, mengevaluasi sekaligus berperan aktif memajukan Jawa Barat yang saat ini berada  di Tangan sang Arsitek.

Berbagai informasi dan pemahaman teoritis yang dibangun dalam tulisan ini bermaksud mempertegas alternatif yang kembali hadir dalam iklim politik di Indonesia. Berbagai keahlian yang terdapat dalam individu setiap warga negara sepatutnya akan menyempurnakan nilai hak politik seutuhnya. Kejumudan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) perlu menjadi sebuah prioritas utama dalam membangun masyarakat madani. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ merupakan nafas yang dititipkan para leluhur untuk dapat dihembuskan dalam setiap perjalanan kehidupan berbangsa dan negara. Semoga contoh kecil hubungan Arsitektur dan Politik Kekuasaan ini menjadi sebuah dorongan kecil bagi lahirnya individu berdaya saing  dan memiliki SDM kuat, yang selanjutnya  kiranya dapat bergeser dari  iklim ‘politik uang’ menuju ‘politik gagasan’ di masa mendatang.