Haedar Nashir: Keagungan Nilai Islam Jangan Disalahartikan
Islam mengajarkan umatnya untuk menyebarkan kedamaian dan keselamatan.

MONITORDAY.COM –Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir angkat bicara soal bagaimana ummat Islam, terutama anak-anak muda, memaknai ajaran agamanya. Apalagi ketika dihadapkan dengan sejumlah persoalan yang menimpa ummat saat ini; fenomena hoax maupun pandangan radikal.
Menurut Haedar Nashir, Islam mengajarkan umatnya untuk menyebarkan kedamaian dan keselamatan. Selain itu, Islam juga mengajarkan, agar nilai-nilai luhur dalam Islam disampaikan dengan baik dan proporsional.
Kata Haedar, jika nilai-nilai luhur Islam dipahami dan disampaikan secara keliru, maka tentu maknanya juga menjadi keliru. Seperti kalimat ‘Allahu Akbar’ yang seringkali dipekikkan kurang pada tempatnya.
“Allahu akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok,” kata Haedar dalam sesi dialog Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA), Rabu (21/2/2018).
Misalnya saja di sejumlah acara, kata Haedar, kalau ada pidato sedikit-sedikit terdengar pekik ‘Allahu Akbar’ ketika setuju dengan isi pidato itu. Tentu itu baik, tapi kalau sering begitu kalimat agung itu menjadi terasa kurang tepat.
Dalam pemaparannya di depan para mahasiswa dan staf pengajar UQ, Haedar juga mengatakan bahwa pandangan radikal atau ektrem juga bisa lahir karena adanya bias pemahaman tersebut. Paham radikal atau ekstrem itu bukan hanya di lingkungan umat beragama atau karena paham agama, apalagi hanya ditujukan pada Islam dan umat Islam.
“Radikalisme itu universal karena ideologi non agama seperti komumisme, liberalisme, sekularisme, nasionalisme, dll. Radikalisme juga sering tumbuh berkaitan dengan pandangan serta situasi politik dan ekonomi tertentu yang memicu orang untuk bertindak radikal,”terang Haedar.
Fenomena ini pula yang menurutnya membuat posisi Muhammadiyah, NU, dan mayoritas Muslim Indonesia yang moderat menjadi sangat penting serta perlu memperkuat posisi Muslim moderat di masyarakat.
Muhammadiyah sendiri justru menawarkan pendekatan moderasi dalam berhadapan dengan kelompok radikal, bukan deradikalisasi.
Deradikalisasi, kata Haedar, adalah berusaha mengubah pihak radikal dengan cara yang juga radikal. Ia merasa pendekatan ini kurang pas, terutama untuk jangka panjang, karenanya Muhammadiyah mengedepankan moderasi.
"Kelompok radikal biasanya mereaksi pihak lain yang sama radikalnya. Misalnya, ada kelompok yang ngotot menolak LGBT sementara di ujung spektrum yang lain ada kelompok yang tak kalah radikalnya dalam mendorong pengakuan hak LGBT," ujar Haedar.
Kelompok moderat seperti Muhammadiyah dan NU sangat penting dalam membendung pertumbuhan radikalisme. Bila negara secara tidak langsung ikut berkontribusi “menumbuhkan” kelompok radikal dengan kebijakannya yang tidak adil, maka peran yang diemban kelompok moderat menjadi makin berat.
[Mrf]