Jangan Tunda Momentum Bagi Pemimpin Muda

Calon presiden, atau setidaknya calon wakil presiden yang masih relatif muda sedang mendapatkan momentumnya. Tunggu apa lagi?

Jangan Tunda Momentum Bagi Pemimpin Muda
portal islam.com

MONDAYREVIEW.COM - Anies Baswedan, Anis Matta, dan AHY layak disebut pemimpin muda yang bisa masuk di bursa cawapres bahkan capres 2019. Ketiganya mewakili generasi baru Indonesia yang memiliki harapan untuk mengemban tugas menjadi nakhoda bagi bangsa yang majemuk ini. Popularitas ketiganya harus diangkat ke permukaan agar calon pemilih mulai mengenali.

Bebagai hasil survei baik untuk posisi capres maupun cawapres layak kita ketengahkan sebagai referensi bagi para calon pemilih di pilpres 2019 kelak. Hasil survei Indobarometer bulan Februari 2018 ini, Anies memliki elektabilitas tertinggi dengan 10%, dan AHY di posisi ketiga dengan 8,7% suara.  Tanpa menutup kemungkinan bagi cawapres lain seperti Muhamimin Iskandar yang juga tergolong muda, maka Anies Baswedan dan AHY sangat potensial menjadi sosok pemimpin nasional.

Sementara itu menurut Survei yang dilakukan Median (Media Survei Nasional), elektabilitas Anis Matta menurut survei tersebut mencapai 1,5% mengungguli politisi berbasis Islam lainnya seperti Fahri Hamzah dengan elektabilitas 0,9 persen, TGB Zainul Majid 0,8 persen, Ahmad Heryawan 0,6 persen, Mahfud MD 0,5 persen, Rhoma Irama 0,3 persen, dan Muhaimin Iskandar 0,2 persen.

Sang petahana, Jokowi, juga bisa dikatakan pemimpin muda. Disamping usianya yang relatif muda, Jokowi juga membangun citra diri yang mewakili anak muda. Suka musik cadas, suka motor chopper, gaya busana yang merakyat sekaligus casual, bahkan anti formalitas yang bisa dibaca sebagai anti kemapanan. Jokowi, adalah pemimpin yang bisa meraih simpati anak muda. Maka para penantang pun selayaknya tampil lebih muda, bukan sebaliknya.  

Popularitas bukanlah jaminan kinerja. Namun popularitas adalah pintu untuk mendongkrak elektabilitas. Petahana dan generasi tua, menang pengalaman? Belum tentu. Namun soal popularitas tentu mereka sudah jauh meninggalkan orang-orang muda. Tingkat popularitas yang rendah diakibatkan oleh penetrasi media massa yang masih rendah. Pun media sosial yang juga belum bisa merambah ke lapisan terbawah piramida sosial.

Popularitas yang tinggi akan berdampak pada elektabilitas. Berbagai riset menunjukkan korelasi yang berbanding lurus anatara kedua variabel ini. Walau tidak dalam perbandingan satu banding satu, minimal tidak berbanding terbalik. Misalnya mengacu pada data salah satu survei yang menyuratkan bahwa popularitas Jokowi tak kurang dari 95%, elektabilitasnya mendekati 50%.

 

Sebelum popularitas bisa didongkrak, capres dan cawapres muda ini harus memiliki tekad yang kuat. Menjadi penantang dalam kontestasi politik sungguh butuh nyali. Bukan saja pertaruhan ekonomi, bahkan kenyamanan dan kehidupan pribadipun bisa terseret dalam kancah perseteruan tanpa menyisakan belas kasihan.

Ketika langkah sudah diayun ke arena pertarungan demokrasi, maka upaya mengejar popularitas harus dilakukan dengan strategi yang menggabungkan antara sprint dan marathon. Waktu yang pendek mengharuskan untuk melakukan sprint dan energi yang tersedia membutuhkan kebugaran yang tinggi dalam menjaga ‘endurance’ sampai saatnya pencoblosan tiba.

 Dalam soal popularitas Anies Baswedan sudah terdongkrak sejengkal demi sejengkal. Sebagai pegiat Indonesia Mengajar, ia mulai dikenal. Kala menjadi menteri pendidikan, ia semakin dikenal. Dan saat pertarungan paling fenomenal dalam perebutan kursi DKI 1, Anies Baswedan sudah berada di papan atas dalam kategori sumber berita paling dicari.

Walau demikian, popularitasnya belum terbangun secara eksponensial. Personal Branding Anies sebagai decision maker belum kuat. Ia lebih dipandang mampu dan memiliki karakter menonjol sebagai solidarity maker. Terobosan-terobosan berani Pemprov DKI sekan berhenti kala Anies menjabat sebagai Gubernur. Walau klaim para pendukungnya, itu disebabkan oleh ulah media yang cenderung tak berfihak ke Anies.

Efektifitas kepemimpinan Anies dalam menakhodai birokrasi Jakarta akan menjadi tonggak bagi langkah selanjutnya. Publik tengah menilai kinerja Anies sebagai pemimpin yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan di lapangan. Bukan di atas kertas dan di meja diskusi belaka. Kemampuan Anies dalam membangun citra terbilang bagus. Namun, serangan yang sangat kuat dari lawan politik yang ‘terlukai’ dalam pilkada DKI tidak kunjung surut bahkan cenderung semakin menguat.    

Agus Harimurti Yudhoyono menjadi sosok muda alternatif yang layak diperhitungkan. Kemampuannya dalam menyampaikan visi, menghadapi media, dan merespon terlihat lebih siap dibanding Edhie Baskoro Yudhoyono, Sang Adik yang lebih dulu tercebur di medan politik nasional yang panas.

Langkah AHY memang terlihat belum meyakinkan di awal kariernya sebagai politisi. Seperti ayahnya, ia tampak sangat menjaga citra diri. Terlepas dari sorotan bahwa keberadaannya di pentas politik lebih didorong untuk melanjutkan dinasti politik Cikeas, sosok AHY tetap menjadi magnet bagi lapisan masyarakat yang merindukan sosok yang teduh dan jauh dari gaduh.

Posisi tertinggi di Komando Tugas Bersama Pemenangan Pemilu Partai Demokrat akan mendorong publikasi yang bagus bagi AHY. Kepiawaiannya sebagai Komandan di medan politik akan diuji sampai dengan laga pamungkas. Mampukah AHY sedikit keluar dari bayang-bayang SBY? Kita masih menunggu sepak terjangnya mulai dari hari-hari ini.  

Anis Matta menjadi calon alternatif yang juga layak diperhitungkan. Sosoknya matang. Pengalaman di politik sejak muda. Tidak suka membuat gaduh. Anis Matta memiliki basis yang kuat di Partai Keadilan Sejahtera. Bukan mustahil bila ia memiliki kemampuan memperluas basis pendukung anak muda dan golongan tua yang faham urgensi kaderisasi, maka popularitasnya akan semakin berkibar.

Anis Matta memang belum keluar dari cangkang PKS. Ceruk konstituen pendukungnya belum cukup luas, namun loyalisnya bukanlah variabel yang bisa disepelekan. Memiliki basis pendukung yang kuat loyalitasnya menjadi poin tersendiri dalam melangkahkan kaki menuju kursi pimpinan nasional. Di akar rumput PKS sendiri nama Anis Matta menduduki elektabikitas tertinggi yaitu 45 persen. Mengungguli Prabowo 17,9 persen, Gatot Nurmantyo 9,3 persen, dan Jokowi 0,7 persen.

Kemunculan dan penguatan peran para calon presiden atau calon wakil presiden ini adalah keniscayaan sejarah politik Indonesia. Bersamaan dengan semakin matangnya persemaian demokrasi di Indonesia, kita berharap tak ada yang  sejarah politik Indonesia. Bersamaan dengan semakin matangnya persemaian demokrasi di Indonesia, publik  berharap tak ada yang menghalangi momentum emas munculnya para tokoh muda di pentas nasional.