Irjen Napoleon Minta Suap Djoko Tjandra Ditambah Rp 4 M, Untuk 'Petinggi Kita'

MONITORDAY.COM - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte disebut meminta uang suap terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra ditambah dari Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar. Napoleon beralasan uang juga harus diserahkan kepada petingginya.
Hal itu terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Disebutkan dalam surat dakwaan, Irjen Napoleon awalnya diperkenalkan dengan Tommy Sumardi yang merupakan teman Djoko Tjandra yang mengurus keperluan penghapusan red notice dan status buronan. Napoleon menyanggupi asalkan ada imbalan. Napoleon mengungkapkan hal itu kepada Tommy Sumardi pada 27 April 2020 di ruang Kadihubinter.
"Dalam pertemuan tersebut terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa Red Notice Joko Soegiarto Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka asal ada uangnya. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa nominal uangnya dan oleh Irjen Napoleon Bonaparte dijawab, 3 lah ji (Rp 3 milliar). Setelah itu Tommy Sumardi meninggalkan ruangan Kadivhubinter," kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung Zulkipli membacakan dakwaan.
Usai pertemuan, Tommy Sumardi menghubungi Djoko Tjandra yang saat itu berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Djoko Tjandra lantas mengirimkan uang USD 100 ribu ke Tommy Sumardi melalui sekretarisnya bernama Nurmawan Francisca.
Sebelum uang diserahkan ke Napoleon, Tommy bertemu dengan Brigjen Prasetijo Utomo yang saat itu menjabat Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Prastjio adalah orang yang mengenalkan Tommy kepada Napoleon. Prasetjo lantas mengambil USD 50 ribu dari USD 100 ribu uang kiriman dari Djoko Tjandra itu.
Pada 16 April 2020, Tommy bersama Prasetijo Utomo bertemu Napoleon di ruangan Kadivhubinter Polri. Setiba di ruangan Kadihubinter, Prasetijo menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak 50 ribu dolar AS, namun Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut.
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji (7 miliar), soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'," ucap jaksa Zulkipli.
Pada 28 April 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya menyerahkan 200 ribu dolar Singapura ke Tommy Sumardi. Tommy lalu menemui Napoleon pada hari yang sama di kantor Napoleon dan menyerahkan uang 200 ribu dolar Singapura kepada Napoleon.
Pada 29 April 2020, kembali Joko Tjandra meminta sekretarisnya menyerahkan 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Tommy lalu kembali menemui Napoleon di ruang Kadivhubinter gedung TNCC Mabes Polri lantai 11 dan menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepada Napoleon.
Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ke Imigrasi yang ditandatangani atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7 dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Pada 4 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya memberikan uang 150 ribu dolar AS kepada Tommy. Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo dan keduanya menemui Napoleon, dalam pertemuan itu Tommy menyerahkan uang 150 ribu dolar AS ke Napoleon.
Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat yang ditandatangani oleh An. Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang berisi penghapusan "Interpol Red Notice".
Pada 5 Mei 2020, Tommy dan Prasetijo kembali menemui Napoleon di kantornya dan menyerahkan uang sejumlah 20 ribu dolar AS kepada Napoleon.
Setelah mendapat uang, Napoleon kembali membuat surat perihal penyampaikan penghapusan "Interpol Red Noices" atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No.: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun).
Setelah surat itu diterbitkan Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi melalui telepon dan mengatakan 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya' dan dijawab oleh Tommy Sumardi 'sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana".
Tommy lalu bertemu Prasetijo keesokan harinya di kantornya pukul 14.00 WIB dan memberikan 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo sehingga total uang yang diserahkan Tommy kepada Prasetijo adalah 150 ribu dolar AS.
Napoleon pada 8 Mei 2020 lalu meminta anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto membuat surat untuk Anna Boentaran yang menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol didapatkan hasil Joko Soegiarto Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek Red Notice ICPO Interpol, Lyon, Prancis.
Pada 12 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Pada 22 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya untuk menyerahkan uang 50 ribu dolar AS kepada Tommy sehingga total uang yang diserahkan Joko Tjandra ke Tommy adalah 500 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura.
Setelahnya, Ditjen Imigrasi Kemenkumham menghapus status DPO Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi dan digunakan oleh Joko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan PK pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Atas penerimaan uang tersebut, Napoleon Bonaparte diancam pidana dalam pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 atau pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal mengatur mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.[]