Industri dan Gaya Hidup Halal. Jangan Sampai Kita Hanya Jadi Konsumen!
Penduduk Indonesia yang cukup besar dan mayoritas muslim dilirik banyak negara sebagai pasar produk halal. Kementerian Perindustrian meyakini pasar industri halal nasional akan terus berkembang seiring penggunaan produk berlabel halal yang sudah menjadi gaya hidup masyarakat. The Global Islamic Economy Report 2019 menyebutkan bahwa populasi Muslim di seluruh dunia menghabiskan total US $ 1,4 triliun untuk makanan dan minuman Halal pada tahun 2018. Demikian menurut riset yang dilaporkan oleh Ni Putu Desinthya And Yunice Karina Tumewang.

MONDAYREVIEW.COM – Penduduk Indonesia yang cukup besar dan mayoritas muslim dilirik banyak negara sebagai pasar produk halal. Kementerian Perindustrian meyakini pasar industri halal nasional akan terus berkembang seiring penggunaan produk berlabel halal yang sudah menjadi gaya hidup masyarakat.
The Global Islamic Economy Report 2019 menyebutkan bahwa populasi Muslim di seluruh dunia menghabiskan total US $ 1,4 triliun untuk makanan dan minuman Halal pada tahun 2018. Demikian menurut riset yang dilaporkan oleh Ni Putu Desinthya And Yunice Karina Tumewang.
Jumlah yang signifikan ini didorong oleh semakin besarnya peran konsumerisme etis dan peningkatan konektivitas digital. Indonesia, selama beberapa tahun berturut-turut, secara konsisten menduduki peringkat negara dengan pengeluaran tertinggi di dunia untuk makanan halal dengan total pengeluaran sebesar US $ 173 miliar.
Ini bukan hanya karena jumlah Muslim di Indonesia yang besar, tetapi juga karena meningkatnya kesadaran akan konsumsi Halal di kalangan masyarakat Indonesia - negara ini berada di urutan ketiga dalam hal pentingnya agama dalam kehidupan masyarakat, menurut Pew Global Attitudes Survey 2015.
Terbentuknya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) memang merupakan komitmen nyata pemerintah untuk memaksimalkan potensi Indonesia sebagai pasar pangan halal terbesar di dunia.
Undang-undang tersebut akan diterapkan tahun ini sebagai persyaratan wajib bagi semua pelaku industri. UU JPH sangat diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen serta nilai kompetitif bagi pelaku usaha. Meski demikian, beberapa protes dan kritik sinis dilontarkan karena dapat menjadi pedang bermata dua karena potensinya untuk membunuh atau mengembangkan UKM di Indonesia.
Dari sisi optimis, sebagian besar pelaku usaha menyambut baik mandatori sertifikat Halal, mengingat hal tersebut merupakan dukungan yang berharga dari pemerintah untuk mempercepat perkembangan industri Halal di Indonesia. Namun, masih ada ekspektasi biaya sertifikasi halal yang lebih terjangkau atau bahkan gratis jika memungkinkan.
UU JPH mengatur tentang 'Sertifikat Wajib Halal' dan bukan 'Wajib Halal', yang artinya produk non-Halal tetap boleh beredar di masyarakat dan harus secara terbuka disebut tidak Halal. Produk halal, bagaimanapun, perlu diperiksa dan disetujui oleh pemerintah melalui sertifikasi sebelum deklarasi Halal.
Mengingat fakta bahwa Indonesia adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia, secara teoritis seharusnya tidak sulit untuk membangun sistem rantai pasokan Halal karena peternak sapi, penjagal daging, dan pengecer di Indonesia semuanya didominasi oleh Muslim. Namun, kenyataannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kasus 'ayam tiren' (ayam yang mati tanpa melalui proses pemotongan), makanan tradisional yang dicampur darah ayam untuk penyedap dan pewarna, kandang sapi yang tidak higienis dan proses pemotongan hewan yang 'tidak Islami' masih ada. Maka sulit untuk berasumsi bahwa semua produk Halal di Indonesia.
Pergeseran dari label Halal ke Haram juga bisa menjadi masalah karena kata 'Haram' memiliki konotasi negatif bahkan untuk non-Muslim, sehingga label Halal tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab Badan Penjaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menjamin proses sertifikasi dan kredibilitasnya.
Lebih lanjut, perpindahan barang yang diproduksi dari pabrik pemasok ke konsumen memiliki beberapa konsekuensi terhadap lingkungan dalam hal emisi karbon. Pemangku kepentingan terkait perlu mengingat pentingnya optimalisasi industri halal sejalan dengan pelestarian lingkungan karena merupakan bagian dari prinsip syariah. Untuk itu, logistik rantai pasokan hijau menjadi salah satu cara untuk memastikan bahwa industri halal tidak hanya dapat berkontribusi untuk kemakmuran negara tetapi juga untuk keberlanjutan.
Konsumen non-Muslim sebagian besar berpendapat bahwa produk makanan halal hanya mencerminkan nilai yang diharapkan dari pembelian makanan halal yang sehat, higienis dan aman dikonsumsi. Untuk itu, sosialisasi dan edukasi sangat dibutuhkan dalam masyarakat global. Perlu diketahui bahwa sertifikasi halal bukanlah diskriminasi suatu agama terhadap agama lain, melainkan tentang perlindungan hak semua konsumen.
Saat ini, konsep Halal tidak eksklusif hanya pada ajaran agama karena mengedepankan gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Persyaratan halal dengan mudah memenuhi banyak standar kualitas konvensional, seperti ISO, Codex Alimentarius, Analisis Bahaya dan Titik Kontrol Kritis, serta Praktik Higienis yang Baik.
Yang terpenting, BPJPH juga perlu melibatkan pemangku kepentingan dalam proses audit Halal karena partisipasi pemangku kepentingan akan membantu dalam menyelenggarakan jaminan Halal yang lebih dikenal dan lebih kredibel. Jika undang-undang tersebut disepakati oleh para pemangku kepentingan dalam industri, biaya sertifikasi halal tidak lagi dapat dilihat sebagai kewajiban tetapi sebagai investasi. Proses internal dan eksternal untuk membangun sistem tata kelola organisasi yang baik harus dikendalikan dan dipantau.
Halal bukan karena masalah agama, tapi sekarang menjadi bagian fesyen. Jadi, keinginan orang menerapkan cenderung hidup menggunakan pendekatan produk halal. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional Kemenperin Dody Widodo.
Dalam rangka meraih potensi industri halal di Indonesia, ia mengatakan harus didukung tiga hal, yakni sumber daya manusia, fasilitas, dan insentif dari pemerintah. Untuk dukungan SDM, Kementerian Perindustrian memiliki 24 sekolah yang tentunya hal ini akan sangat bisa melakukan dukungan yang masif untuk menciptakan tenaga-tenaga penyelia untuk produk halal ini.
Ia menambahkan pihaknya akan berupaya untuk mengombinasikan beberapa program dalam rangka mengimplementasikan produk halal, misalnya dengan melaksanakan pemagangan, sertifikasi, dan penempatannya.
Apabila dengan sekolah yang Kemenperin miliki itu Kemenperin lakukan pemagangan yang bekerja sama dengan industri halal di kawasan industri, itu mempercepat dukungan terhadap implementasi dari industri halal. Ia optimistis dengan sejumlah program yang dimiliki Kemenperin, industri halal nasional akan berkembang dengan cepat.
Terkait fasilitas, Dody mengatakan, untuk memacu daya saing dan produktivitas pelaku industri halal sehingga bisa semakin memperkuat daya saingnya terutama di kancah global, pihaknya memiliki Balai dan Balai Riset dan Standardisasi (Baristand).
Ini bisa Kemenperin manfaatkan juga bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam mendukung sertifikasi untuk produk halal.
Mengenai insentif, Dody mengatakan pemerintah memberikan insentif, baik kepada pelaku usaha mikro maupun besar untuk mendorong produksi halal.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah memberikan insentif fiskal yang dapat digunakan untuk mendorong investasi dan ekspor produk halal.
Insentif-insentif itu didelegasikan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sehingga BKPM bisa langsung memberikan berbagai insentif untuk investasi untuk bidang-bidang yang merupakan prioritas.