Hoaks, Politik Identitas, dan Betapa Tunabacanya Kita
Pemilu 2019 malahan menjadi magnet yang kuat untuk menarik isu hoaks dan politik identitas.

ADA benarnya juga apa yang disampaikan calon presiden nomor urut 02 bahwa, perhelatan Pilpres kali ini sangat menyita waktu dan pikiran. Sayangnya, itu bukan karena dinamika dan debat kebangsaan seperti pernah terjadi di era 30-an, yang melahirkan polemik kebudayaan antarpara tokoh bangsa. Apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya, hoaks dan politik identitas yang semakin menguat.
Pemilu 2019 malahan menjadi magnet yang kuat untuk menarik isu hoaks dan politik identitas. Tentu saja ini menjadi catatan kelam sejarah demokrasi kita setelah 20 tahun menjalani reformasi.
Saat ini, yang menjadi persoalan seperti dikatakan Ariel Heryanto, bukan kenapa kemudian produksi hoaks makin banyak di sekitar kita, tapi kenapa yang seperti itu menjadi amat laris di negeri kita.
Pun demikian sesungguhnya untuk persoalan politik identitas, yang semakin hari semakin menguat dan dijadikan banyak orang sebagai komoditas serta alat untuk sekadar meningkatkan elektoral ansich. Padahal, setelah proses kontestasi demokrasi berakhir; janji tinggal janji, manis di bibir namun pahit di hati. Artinya sejak awal politik identitas dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis belaka.
Dalam konteks ini, tentu ada banyak alasan dan sebab kenapa kemudian baik hoaks maupun politik identitas ini jadi laris manis dan mudah dikonsumsi. Menurut Dr. Ujang Komarudin, Direktur Indonesia Political Review, bahwa penyebab utamanya adalah karena lemahnya budaya baca kita.
Soal politik identitas, pria kelahiran Subang ini menyebut sedari dulu ruang-ruang politik identitas memang tidak hilang dan selalu direproduksi untuk kepentingan politik. Yang sebetulnya sah-sah saja bila ‘politik identitas’ digunakan sebagai alasan pilihan demokrasi saja. Yang jadi soal adalah ketika politik identitas diproduksi untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik. Ini tentu saja berbahaya, karena bisa memperluas persoalan.
Pun demikian untuk urusan hoaks, awalnya mungkin sekadar obrolan warung kopi biasa. Namun ketika ditarik-tarik ke ranah politik atau bahkan urusan SARA, akan menjadi problem besar. Dan inilah yang bisa kita rasakan saat ini di kanal-kanal digital. Isu dan persoalan kecil apa pun kini dijadikan alasan religiusnya, seolah semua orang berhak untuk menjadi juru bicara Tuhannya.
Dalam konteks Pilpres 2019, upaya capres nomor urut 01 menggandeng Kyai Ma’ruf Amin sebetulnya dalam upaya meredam konflik, akibat hoaks maupun politik identitas yang kian menguat itu. Ada upaya dari keduanya untuk melakukan netralisir. Dan tentu saja ini menjadi sangat penting, agar ke depan baik hoaks maupun politik identitas ini tak lagi menjadi materi debat kebangsaan.
Ada begitu banyak hal yang bisa dijadikan bahan diskusi dan perdebatan yang lebih produktif dan mencerahkan. Bisa soal masa depan ekonomi, revolusi industri, masa depan energi, lalu soal SDM masa depan, termasuk soal pendidikan karakter generasi milenial.
Dalam konteks ini, memang kembali lagi kepada kondisi masyarakat kita yang memang sangat memungkinkan tumbuh suburnya hoaks maupun politik identitas itu sendiri. Penyebab utamanya adalah lemahnya budaya literasi kita.
Sangat jarang sekali, kita memverifikasi berita-berita yang berkembang di media sosial. Lantaran yang berkembang saat ini adalah budaya oral. Artinya, belum selesai kita menanamkan budaya baca, kita malah melompat ke budaya oral. Inilah sebenarnya yang harus kita pikirkan. Di luar negeri ada, tapi tidak banyak karena budaya baca mereka sangat kuat.
Jadi, tingkat pendidikan berpengaruh terhadap penyebaran informasi. Al-Qur'an sangat jelas anjurannya, bahwa jika ada informasi datang kepada kita, maka lazimnya adalah melakukan tabayyun. Ini jarang kita lakukan. Budaya bacanya harus diperdalam. Jadi kita tidak bisa hanya menyalahkan para produsen hoaks, tapi kitanya yang kurang tabayyun.