Harga Pangan Makin Mahal. Ini Data FAO!

MONITORDAY.COM - Indonesia memiliki jumlah penduduk sekira 267 juta jiwa. Banyak perut yang mesti dipikirkan. Kebutuhan pangan untuk semua penduduk menjadi masalah krusial. Termasuk bila harga pangan meningkat. Harap diingat bahwa Indonesia mengimpor sejumlah komoditas pangan. Meski negeri kita negeri agraris dan maritim yang memiliki potensi sumber daya penghasil pangan yang melimpah, bukan berarti kita tak rawan dalan urusan pangan.
Tak terlalu mengejutkan bila harga pangan meningkat saat pandemi menghantam. Manusia akan kembali mengamankan kebutuhan dasarnya. Dari sisi permintaan pasti ada peningkatan yang berarti. Dari sisi persediaan ada kemungkinan penurunan terutama disebabkan oleh terganggunya lini distribusi. Harus kita akui dalam kondisi normal tanpa pandemi pun kita sudah sering kelabakan oleh lonjakan harga pangan.
Kenaikan Indeks Harga Pangan Dunia menjadi perhatian semua pihak. Lembaga Pangan Dunia FAO memberi sinyal bahwa harga komoditas pangan naik mencapai level tertingginya dalam sepuluh tahun terakhir. Rantai pasok dunia yang terganggu oleh pandemi menjadi salah satu sebab yang ditengarai siginifikan.
Disamping harga komoditas, angka yang diperhitungkan dalam indeks ini adalah bobot masing-masing komoditas. Bobot yang diambil dari rerata pangsa pasar masing-masing kelompok komoditas. Indeks Harga Pangan FAO (FFPI- FAO Food Price Index) adalah ukuran perubahan bulanan harga internasional dari sejumlah komoditas pangan.
Pada bulan Mei 2021 tercatat peningkatan tajam dalam nilai Indeks Harga Pangan FAO yang dirilis pada 03/06/2021 berada pada rerata 127,1 poin, naik 5,8 poin (4,8 persen) dibandingkan April dan 36,1 poin (39,7 persen) di atas periode yang sama tahun lalu. Data ini tentu saja menarik untuk dicermati. Gejala di balik kenaikan Indeks ini harus dianalisa dengan seksama. Dan pada akhirnya Pemerintah dan swasta dapat mengantisipasinya.
Bagi negara importir kenaikan harga akan semakin memberatkannya. Kenaikan Mei merupakan kenaikan bulanan terbesar sejak Oktober 2010. Ini juga menandai kenaikan bulanan kedua belas berturut-turut dalam nilai FFPI ke nilai tertinggi sejak September 2011, membawa Indeks hanya 7,6 persen di bawah nilai puncaknya di 137,6. poin tercatat di Februari 2011.
Kenaikan tajam di bulan Mei mencerminkan lonjakan harga minyak, gula dan sereal bersama dengan harga daging dan susu yang lebih kuat. Diantara lima kelompok komoditas itu kita bisa lihat tiga diantaranya.
Indeks Harga Sereal FAO rata-rata 133,1 poin di bulan Mei, naik 7,6 poin (6,0 persen) dari April dan 35,7 poin (36,6 persen) di atas nilai Mei 2020. Di antara sereal utama, harga jagung internasional naik paling tinggi, naik 12,9 poin (8,8 persen) pada Mei, mencapai 75,6 poin (89,3 persen) di atas nilainya tahun lalu dan level tertinggi sejak Januari 2013.
Penurunan prospek produksi Brasil menambah tekanan pada pasokan global yang sudah ketat di tengah permintaan kuat yang berkelanjutan. Namun, menjelang akhir bulan harga jagung mulai turun, sebagian besar karena ekspektasi prospek produksi yang lebih tinggi di Amerika Serikat.
Harga jelai dan sorgum internasional juga meningkat di bulan Mei, masing-masing naik sebesar 5,4 persen dan 3,6 persen. Menyusul lonjakan harga gandum pada awal Mei, kondisi panen yang membaik, terutama di Uni Eropa dan Amerika Serikat, menyebabkan penurunan harga yang tajam pada akhir bulan.
Namun, harga gandum masih rata-rata 8,0 poin (6,8 persen) naik dari April dan 27,7 poin (28,5 persen) di atas Mei 2020. Harga beras internasional tetap stabil di bulan Mei, dengan biaya logistik dan pengiriman menjaga aktivitas perdagangan tenang sepanjang bulan.
Sementara Indeks Harga Minyak Nabati FAO rata-rata 174,7 poin di bulan Mei, naik 12,7 poin (atau 7,8 persen) bulan ke bulan dan menandai kenaikan bulanan kedua belas berturut-turut. Penguatan indeks yang berkelanjutan terutama mencerminkan kenaikan nilai minyak kelapa sawit, kedelai dan minyak lobak.
Harga minyak sawit internasional tetap pada lintasan naik di bulan Mei dan mencapai level tertinggi sejak Februari 2011, karena pertumbuhan produksi yang lambat di negara-negara Asia Tenggara, bersama dengan meningkatnya permintaan impor global, membuat persediaan di negara-negara pengekspor utama pada tingkat yang relatif rendah.
Indeks Harga Produk Susu FAO rata-rata 120,8 poin di bulan Mei, naik 1,7 poin (1,5 persen) dari April, menandai satu tahun kenaikan tak terputus dan mengangkat nilai 26,4 poin (28 persen) di atas level satu tahun lalu.
Indeks Harga Daging FAO rata-rata 105,0 poin di bulan Mei, naik 2,3 poin (2,2 persen) dari April, mencatat kenaikan bulanan kedelapan dan mengangkat indeks 10 persen di atas level satu tahun lalu, tapi masih hampir 12 persen di bawah puncaknya tercapai pada bulan Agustus 2014.
Pada bulan Mei, kuotasi harga untuk semua jenis daging yang terwakili dalam indeks naik, terutama ditopang oleh laju pembelian impor yang lebih cepat oleh negara-negara Asia Timur, terutama China.