Haji dan Umrah Gratis Tiap Hari

Haji dan Umrah Gratis Tiap Hari
Foto: umroh.com

MONITORDAY.COM - Setiap Muslim pasti sangat merindukan nilai-nilai kebaikan serta semangat spiritual yang terpancar dari Baitullah, sehingga mereka sangat mencita-citakan kesempatan melakukan ibadah di depan Ka’bah (Masjidil Haram) dan senantiasa berdo’a agar Allah Swt memberikan panggilan kepadanya untuk mengunjungi Baitullah, baik melalui ibadah haji maupun umrah.

Perasaan dan cita-cita seperti ini sangat positif dan harus senantiasa ditumbuhkembangkan dalam jiwa setiap muslim, sebab ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh mereka yang mampu. Tetapi bagi mereka yang diberi keutamaan oleh Allah Swt berupa kelebihan rejeki, hendaknya dapat menahan diri dari bersikap berlebihan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah. Agar tidak termasuk mereka yang egois dalam beribadah dan tidak kehilangan ruh serta pesan sebenarnya dari ibadah haji dan umrah.

Dalam setiap pelaksanaan ibadah, selain harus mempertimbangan motivasi ruhiyyah (spiritual), kita juga harus mempertimbangkan dimensi sosial (ijtima’iyyah). Allah tidak akan menerima ibadah seseorang yang hanya mempertimbangkan dimensi spiritual dan lupa dimensi sosial. Untuk itu, Allah Swt menyebut mereka yang dalam kehidupannya kehilangan ruh sosial sebagai orang yang “mendustakan agama” (QS. Al-Ma’un: 1-3).  

Lalu, bagaimana dengan orang yang belum Allah beri karunia rejeki untuk haji dan umrah? Apakah mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pahala dan kebaikan haji dan umrah?

Atau bagaimana dengan orang yang secara materi telah Allah karuniai rejeki berupa  harta dan mampu melaksanakan ibadah haji dan umrah, namun terhalang pandemi seperti saat ini? Apakah harapan mereka untuk mendapat pahala dan keutamaan haji dan umrah harus pupus?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, Rasulullah Saw. memberikan solusi praktis. Rasulullah Saw memberikan harapan dan semangat kepada umatnya agar tetap optimis, dimana siapa saja dan kapan saja dari umat beliau dapat melakukan iabdah haji dan umrah, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak, tidak menguras waktu dan tidak menghabiskan tenaga.

Solusi atas persoalan tersebut dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits yang diterima oleh Sahabat Anas bin Malik Ra, dimana Rasulullah Saw. bersabda:  

“Barang siapa yang shalat Shubuh berjamaah, lalu ia duduk (untuk) berzikir kepada Allah Swt. hingga matahari terbit, lalu (dilanjutkannya) shalat sunnah dua rakaat, maka orang tersebut akan mendapat pahala yang persis sama dengan pahala haji dan umrah, pahala yang sangat serupa, pahala yang sangat serupa, pahala yang sangat serupa sempurna." (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunannya dengan nomor: 586).

Memang ada ulama yang memperdebatkan keshahihan hadits ini. Akan tetapi, banyak juga ulama yang menilai derajat kesahihan hadits tersebut dalam kualifikasi Hadits Hasan. Di antara yang menyatakan bahwa hadits ini hasan adalah Syeikh Nashiruddin Al-Albany.

Pada dasarnya, hadits hasan adalah sebuah hadits yang statusnya hampir sama dengan hadits shahih. Jika hadits shahih adalah sebuah hadits yang rangkaian sanadnya bersambung (dari sahabat sampai rawi terakhir), diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit (dari awal/sahabat sampai akhir sanad/rawi) juga di dalam hadits tersebut tidak ada yang syadz dan tidak ada illat.

Adapun hadits hasan adalah hadits yang rangkaian sanad/periwayatannya bersambung (dari awal/sahabat hingga para rawi terakhir), diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi tingkat kekuatan hafalan rawinya agak kurang (khaffa dhabtuhu), serta di dalamnya tidak terdapat syadz ataupun ‘illat.

Dengan demikian, perbedaan hadits shahih dan hadits hasan sangat kecil, sebab perbedaan tersebut hanya terletak pada kualitas hafalan sang perawi, dimana rawi hadits hasan tidak sekuat rawi hadits shahih. Untuk itu, para ulama menyebutkan bahwa pada dasarnya hadits hasan memenuhi syarat-syarat utama hadits shahih kecuali soal level hafalan rawinya yang setingkat di bawah hafalan rawi hadits shahih.

Atas dasar inilah para ulama menyebutkan bahwa hadits hasan berada di antara hadits shahih dan hadis dhaif. Ia satu tingkat di bawah hadits shahih tetapi satu tingkat di atas hadits dhaif. Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa hadits hasan dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

Atas dasar itu juga, beberapa ulama kontemporer pun-seperti Syekh Ibn Baz-berpendapat, "Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan yang wajar, maka kami menganggapnya sebagai hadits hasan lighairihi. Maka shalat ini (dua rakaat setelah matahari terbit yang dirangkai dengan amalan sebelumnya/dzikir) adalah sunnah. Ia sunnah didirikan setelah matahari terbit dan telah meninggi seukuran tombak. Atau sekitar sepertiga atau seperempat jam kurang lebih setelah terbit." (Fatawa Syekh Ibn Baz: 25/171).

Dengan demikian, nyatalah bahwa hadits di atas dapat diamalkan, dimana dua rakaat tersebut benar-benar merupakan sebuah amalan sunnah yang dapat kita lakukan, sehingga kita dapat mencapai keutamaan pahala ibdah haji dan umrah setiap hari dengan usaha yang sesuai dengan kemampuan kita.

Dari sini kita dapat menangkap pula, betapa Islam adalah benar-benar agama rahmah, agama kasih sayang yang sangat memperhatikan perasaan dan kondisi umatnta. Agama Islam bukan hanya untuk orang yang memiliki rizki berlebih, tetapi mereka yang dalam keadaan papa dan lara, tetap dapat mencapai keutamaan yang tidak kalah dari apa yang dapat dicapai oleh mereka yang memiliki harta. Wallahu A’lam Bishhowab.