Geger Mahar Politik Pilkada
Pilkada 2018 dinilai rawan dengan mahar politik. Permainan politik yang sulit dijerat secara hukum. Mampukah Badan Pengawas Pemilu untuk menindaknya?

MONDAYREVIEW, Jakarta— Kontestasi politik, khususnya pemilu kepala daerah (pilkada), ditengarai kerap diawali serah terima imbalan atau biasa disebut mahar politik. Fenomena ini tidak hanya santer terdengar dari kasak kusuk publik, melainkan pengakuan sejumlah bakal kandidat kepala daerah pada Pilkada serentak 2015 hingga 2018.
Kasus terbaru muncul pada tahap pencalonan Pilkada 2018. Terdapat sejumlah pihak yang mengaku dimintai mahar partai politik, salah satunya La Nyalla M. Mattalitti di Pemilihan Gubernur Jawa Timur.nPengakuan La Nyalla mengenai mahar yang diminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memicu gejolak politik. La Nyalla bahkan menyebut telah mengeluarkan uang sebesar Rp5,9 Miliar dan cek senilai Rp70 Miliar.
Uang dan cek diserahkan kepada Ketua DPD Gerindra Jawa Timur Supriyanto dan cek akan bisa dicairkan apabila surat rekomendasi Partai Gerindra untuk pencalonan La Nyalla telah terbit. Namun, Gerindra membantah tidak ada permintaan uang dalam surat tugas Partai Gerindra untuk La Nyalla Mattalitti maju pada Pilkada 2018.
Rawan memang. Peneliti Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan mahar politik Pesta Demokrasi tahun ini jauh lebih banyak daripada pilkada-pilkada sebelumnya. "Mahar politik kali ini jumlahnya jauh lebih tinggi daripada pilkada-pilkada sebelumnya,” katanya saat ditemui di Sekretariat ICW Jalan Kalibata Timur IV D No. 6, Jakarta Selatan Selasa (16/1/2018).
Almas merasa, momen pilkada 2018 dimanfaatkan oknum menghimpun dana untuk Pemilihan Presiden 2019. "Jarak Pileg dengan Pilpres 2019 yang sangat sempit harinya, menunjukan tidak ada lagi waktu untuk elite-elit partai politik untuk menghimpun dana kampanye 2019," ungkapnya.
Almas khawatir korupsi kepala daerah setelah 2018 justru semakin merajalela. Sebelum fenomena mahar politik mencuat, korupsi kepala daerah sudah sangat masif. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sejak 2010-2015, sebanyak 215 Kepala daerah terjerat korups.
Almas menambahkan, mahar politik akan berdampak pada jual beli kursi pilkada untuk alasan mendanai partai maupun masuk ke kantong pribadi oknum partai. "Konsekuensinya sangat berbahaya, tingkat korupsi di daerah akan semakin besar," terangnya.
Langkah Bawaslu Jawa Timur yang memanggil La Nyalla untuk klarifikasi adanya transaksi pencalonan patut diapresiasi. Sebab, Bawaslu pada dasarnya tidak harus menunggu adanya laporan.
Bawaslu dapat memulai dengan menjadikan pengakuan bakal kandidat sebagai temuan yang perlu segera ditindaklanjuti. Terlebih lagi, pengakuan kandidat telah menjadi polemik dan perdebatan publik yang dapat berdampak pada semakin tercederainya integritas pemilu.
editor: Elbach