Garut dan Mimpi Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Sebagai negara yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, subur dan segar, bangsa Indonesia pun sesungguhnya telah lama sadar akan pentingnya sektor pertanian bagi kehidupan masa depannya

Garut dan Mimpi Mewujudkan Kedaulatan Pangan
ilustrasi foto

Ada kerinduan yang menyergap, impian yang pernah tertanam kala mengunjungi tanah kelahiran, Garut. Ya, hamparan lahan berbukitnya yang landai serta indah, air terjun yang menyembul dari sela-sela gunung, membentuk aliran sungai berkelok-kelok lalu mengaliri hamparan pesawahan, mengingatkan sejenak akan mimpi para petani tentang’ kedaulatan pangan’.

Di belahan bumi bagian mana pun, pertanian senantiasa menempati posisi penting. Di Amerika dan Belanda misalnya, profesi petani teramat menjanjikan mengingat begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap petaninya. Tak heranlah bila seorang Thomas Jefferson dalam sebuah surat yang ia tulis untuk koleganya George Washington mengatakan, “agriculture is our wisest pursuit.” Karena memang pertanianlah yang kelak akan berkontribusi secara riil terhadap kesejahteraan sebuah bangsa. Tak hanya itu, pertanian juga dapat membuat seseorang lebih bahagia. Karena pada prinsipnya, pertanian itu meniscayakan moral yang baik, maka seseorang dapat hidup selaras dengan alam. Ungkapan Jefferson dalam surat itu pun kini terbukti bukan sekadar kata dan mimpi, melainkan kenyataan. Paling tidak dilihat dari kesejahteraannya dibandingkan negara lain.

Sayang, imaji besar tentang pertanian ala Thomas Jefferson tersebut sulit membumi di Indonesia. Sebaliknya, pertanian di negeri ini malah mengalami nasib tragis. Kita atau siapa pun tentu akan heran, tatkala melihat kenyataan negeri yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia malah gemar mengimpor sejumlah produk pangan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.

Anehnya lagi, sebagai negara agraris, Indonesia malah mengimpor hampir 65 persen dari semua kebutuhan pangannya di dalam negeri. Mengacu pada data BPS tahun 2013, bahan-bahan yang diimpor tersebut tercatat adalah 17 miliar kilogram bahan pokok senilai Rp104,9 triliun. Padahal, beberapa bahan pangan yang diimpor tersebut sesungguhnya bisa dihasilkan di dalam negeri seperti teh, cengkeh, jagung dan beras.

Runtuhnya mental petani

Menurut hemat penulis, persoalan utama yang membuat Indonesia tak mampu mempertahankan kedaulatan pangannya adalah akibat dari runtuhnya mental para petani. Para petani tak lagi menikmati peran dan profesinya. Tak ada lagi kebanggaan menjadi seorang petani.

Selain itu, para petani di negeri ini tak memiliki kepercayaan diri terhadap masa depan pertanian. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin berkurangnya lahan pertanian yang ada ditambah lagi hilangnya generasi para petani. Bagi sebuah negara agraris, hilangnya generasi petani tentu saja merupakan sebuah petaka.

Belum lagi adanya alih fungsi lahan pertanian yang telah membuat lahan pertanian kian menyusut. Di tempat kelahiran saya Garut, alih fungsi lahan pertanian terjadi salah satunya akibat pembangunan perumahan yang tak mempertimbangkan aspek AMDAL dengan baik.

Mestinya, dengan potensi pertanian Garut yang luar biasa alih fungsi lahan pertanian tak boleh ditolerir. Kopi preanger yang mendunia, jeruk garut yang berkhasiat menurunkan demam, domba garut yang kuat dan gagah, serta hasil alam lainnya adalah potensi luar biasa yang bila dikembangkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Salah urus pertanian

Hal lain yang menjadi penyebab Indonesia tak lagi berdaulat atas pangan adalah adanya ‘salah urus’ sektor pertanian. Kalau bukan karena salah urus, apa mungkin negara agraris seperti Indonesia bila terpuruk? Selama ini secara political will memang ada, namun bagaimana cara mengurusnya itu yang keliru.

Selama ini pemerintah kita terlalu fokus membangun infrastruktur dan melupakan pertanian. Akibatnya, lahan pertanian pun kian menyusut. Selama periode tahun 2002-2010 misalnya, data BPS menyebutkan bila laju alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian mencapai 56.000-60.000 ha per tahun.

Pemerintah Indonesia juga kurang fokus dalam menerapkan strategi pembangunannya. Harusnya yang diutamakan adalah pembangunan sumberdaya manusianya, bukan fisiknya saja. Kalau pun kita mau fokus pada pembangunan fisik terlebih dahulu, semestinya pembangunan fisiknya pun terukur dan untuk hal-hal yang produktif (infrastruktur pertanian) bukan konsumtif seperti yang terjadi saat ini (mall dan apartemen).

Selain itu, kita juga menyayangkan adanya upaya ‘pemaksaan’ terhadap petani untuk menjalankan program-program spektakuler pemerintah tanpa mempertimbangkan kesiapan dan kecocokan para petaninya. Karena sedang booming kentang, bukan berarti semua patani harus menanam kentang. Karena bertani itu memerlukan penjiwaan.

Hidup mati sebuah bangsa

Sebagai negara yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, subur dan segar, bangsa Indonesia pun sesungguhnya telah lama sadar akan pentingnya sektor pertanian bagi kehidupan masa depannya. Tak heran bila Bung Karno pernah mengatakan, “Pertanian itu hidup mati bagi sebuah bangsa.” Dan karena itu, pertanian harus dipertahankan melalui cara apa pun. Dalam hal ini, Pemerintah mesti meyakinkan para petani, bahwa pertanian dapat menyejahterakan sekaligus mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Selain itu, pemerintah, parlemen, atau siapa pun yang peduli dengan kondisi pertanian kita saat ini mesti bahu membahu memajukan kembali pertanian Indonesia. Kuncinya tentu saja adalah bagaimana kita, petani, pemerintah atau siapa pun di negeri ini kembali mencintai pertanian. Artinya seperti disinggung di awal tadi, bahwa rakyat Indonesia kembali pada kesadaran sejatinya bahwa menjadi petani juga hebat. Karena dengan pertanianlah sebuah bangsa akan memperoleh kesejahteraan yang nyata.

Ke depan, untuk kembali mendekatkan dunia pertanian dengan masyarakat Indonesia, dus juga mewujudkan mimpi kedaulatan pangan, diperlukan adanya  inovasi seperti yang saat ini tengah dikembangkan di daerah Garut, yaitu agro techno park atau taman pertanian dengan model komoditas kentang lebih dominan dan di dalamnya dilakukan riset untuk pembibitan kentang super. Agro techno park ini akan memberikan nilai tambah ekonomi bagi para petani dan potensi Garut tidak hanya terkenal dengan kopi preanger, domba, jeruk, dan dodol, tapi bisa diselaraskan dengan sektor pariwisatanya.

M. Muchlas Rowie