Fathu Makkah: Pembebasan Kota Tanpa Darah (Bagian 1)

Fathu Makkah: Pembebasan Kota Tanpa Darah (Bagian 1)
Sumber gambar: pecihitam.org

RUANGSUJUD.COM - AFGAN, KABUL, TALIBAN, tiga suku kata ini nampaknya jadi yang teramai dibicarakan orang beberapa hari terakhir. Soalnya, ada banyak kesan yang berbeda ketika kita menyebut dan membayangkannya.

Komentar paling gokil adalah mengaitkan kata Afgan dengan sosok pelantun lagu ‘sadis’. Lalu kata Kabul dengan pelawak nyentrik yang selalu hadir dengan dandanan serba menor dan selalu menyematkan cincin akik di jari jemarinya. Terakhir, kata Taliban, yang tak lebih dari sekadar seonggok tali yang terbuat dari ban mobil. Gila!

Yang bikin miris, adalah komentar yang menyebut tiga suku kata itu, tak sekadar sebagai lagu, tapi sadis dan hororrnya milisi Taliban yang kini meguasai Kota Kabul di Afganistan. Ya, Ketika minggu kemarin Taliban berhasil menduduki Ibu Kota Afghanistan, Kabul, bayangan lama itu muncul kembali. Afghanistan akan kembali menjadi negara paling sadis dan horror.

Sejatinya, kesan itu wajar adanya. Karena memang Taliban punya irisan sejarah dengan beragam peristiwa terorr di belahan dunia. Salah satu yang terbesar adalah peristiwa 11 September 2001. Peristiwa pelik, penuh teka-teki, namun kita pun tak mengelak jika ada yang menyebut tokoh utama peristiwa itu, punya kaitan kekerabatan dengan Taliban. Sama seperti keyakinan kita bahwa Osama bin Laden adalah bekas antek yang melawan tuannya. 

Untungnya, Taliban di bawah Mullah Muhammad Rasul, punya wajah yang berbeda. di tangannya, Taliban dibuat berjarak dengan Al-Qaeda maupun ISIS. Jadi Taliban kini, berbeda dari kesan orang tentang kekerasan dan teror.

Dengan posisi saat ini, saya memilih untuk berada di tengah dan mengajak semua mengingat kembali peristiwa Fathu Makkah, pembebasan sebuah kota tanpa darah dan air mata. Bahkan terhadap sosok paling antagonis saat itu, Abu Sufyan. Pemimpin Quraisy sepeninggal Abu Jahal dan Utbah bin Rabiah.

Kepala suku Bani Abdu Syams, atau salah satu dari cabang suku Quraisy. Ia adalah salah satu pemimpin utama Quraisy dan orang-orang terpandang di Mekkah. Bagi Abu Sufyan, Muhammad dan kaum muslimin merupakan ancaman terhadap tatanan sosial Mekkah. Tujuan mereka sekadar untuk kekuasaan politik serta berpaling dari dewa-dewa Quraisy.

Bersama Abu Jahal dan Utbah bin Rabiah, Abu Sufyan memimpin Suku Quraisy untuk memberikan terorr dan kekerasan agar kaum muslim meninggalkan Muhammad. Hingga mereka hijrah ke Habsyah, lalu Madinah.

Abu Sufyan bin Harb yang garang dan kejam, berubah jadi baghl pucat yang kehausan di tengah terik padang pasir.  Ia terguncang hebat. Kedua kakinya menghunjam ke bumi, Tubuhnya bergetar ketakutan. Pucat pasi, bagai bulan kesiangan.

Matanya melotot, penuh nanar. Melihat pasukan segelar sepapan, datang dari empat penjuru Kota Mekkah. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, sepuluh ribu orang. Berpakaian seba hijau, berlapis zirah, dan bersenjata lengkap.

Ketika bertakbir, suara mereka bergemuruh. Gunung Hind yang menjulang kokoh seolah bergetar olehnya. Abu Sufyan kagum luar biasa. Ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Abbas bin Abdul Muthalib yang ketika itu berada disampingnya berkata, “Lihatlah, itu Muhammad di tengah mereka!” Nyali Abu Sufyan makin ciut.

Kabar baik datang tiba-tiba, Abu Sufyan akan dibebaskan. Abu Sofyan lari terbirit-birit ke Kota Mekkah. “Wahai orang-orang Quraiys, Muhammad telah datang dengan pasukannya. Tak mungkin kita melawannya. Karena itu, barangsiapa masuk ke rumah ku ia akan selamat! Seiapa yang menutup pintu rumahnya, ia selamat! Siapa yang masuk ke Masjidil Harram ia akan Selamat!”

Ketika sampai di Dzu Thuwa, pintu gerbang Kota Mekkah, Muhammad menundukkan badannya di atas punggung unta. Bersyukur bisa kembali ke Kota Mekkah tanpa perlawanan sama sekali. Ia yakin itu karena pertolongan Allah. 

Penulis: M. Muchlas Rowi (Founder Monday Media Group)