Fanatisme Dalam Pandangan Islam

Fanatisme Dalam Pandangan Islam
sumber gambar: tebuireng online

MONITORDAY.COM - Fanatisme adalah suatu paham dimana seseorang mencintai golongannya secara berlebihan. Fanatisme membuat seseorang tidak bisa lagi bersikap objektif dalam menilai golongannya. Misalnya saat golongannya berbuat salah, dia akan tetap benarkan. Sebaliknya, jika dia benci sebuah golongan, maka dia akan tetap benci walaupun golongan itu menunjukan kebaikan. 

Dalam Islam fanatisme disebut dengan ashobiyah. Sebenarnya dalam kadar tertentu, ashobiyah sah-sah saja dan merupakan hal yang wajar. Ashobiyah dalam kadar yang terukur disebut solidaritas. Namun dalam kadar yang berlebihan, ashobiyah menjadi sesuatu yang tidak sehat. Karena itu dikenal sebuah istilah fanatik buta, dimana fanatisme membutakan pikiran individu. 

Sebelum Islam datang, solidaritas di kalangan masyarakat Arab dibangun berdasarkan hubungan darah. Kesukuan memegang peranan penting dalam masyarakat Arab. Seseorang bisa dilindungi atau diperangi karena faktor kesukuan. Sebuah konflik dan aliansi bisa terjadi karena faktor kesukuan juga. Maka pada masa pra Islam, fanatisme kesukuan sangatlah kuat. 

Nabi Muhammad SAW sendiri merupakan bagian dari budaya solidaritas kesukuan tersebut. Nabi Muhammad SAW memperoleh keuntungan secara tidak langsung dengan adanya solidaritas kesukuan. Karena beliau berasal dari suku yang agung, tidak ada yang berani mencelakai beliau. Namun yang jadi korban adalah para sahabatnya dari kalangan hamba sahaya, karena mereka tidak memiliki pelindung dari sukunya. 

Salah satu misi dari risalah Islam adalah mengganti fanatisme berdasarkan suku menjadi solidaritas berdasarkan ajaran agama. Hal ini berhasil dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad mengikat suku-suku yang berbeda bahkan agama yang berbeda dalam satu ikatan perjanjian yang dinamakan Piagam Madinah. 

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa ajaran Islam tidak mengenal ashobiyah atau ajaran kesukuan. Nabi Muhammad SAW pun menegaskan bahwa walaupun dirinya berasal dari Bangsa Arab, namun tidak berarti Bangsa Arab pasti mulia dibanding bangsa asing. Yang menentukan kemuliaan adalah ketakwaannya, bukan asal usul primordialnya. 

Sayangnya sepeninggal Nabi Muhammad SAW, sentimen fanatisme kesukuan mulai naik kembali. Hal ini bisa terlihat dalam konflik antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah yang mencuat kembali. Bahkan sampai timbul peperangan fisik. Pada masa kekhalifahan kesukuan kembali menjadi landasan sebuah Dinasti, misalnya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. 

Walaupun begitu, sebuah pandangan menarik dikemukakan Ibnu Khaldun seorang sosiolog Muslim. Bagi Ibnu Khaldun ashobiyah tidak sepenuhnya buruk. Karena berkat ashobiyah terbentuk solidaritas umat yang membuat umat Islam dapat menaklukan daerah-daerah di sekitarnya. 

Pada masa kini ashobiyah tidak lagi terkait suku, namun bisa jadi terkait ormas, agama, almamater dll. Hendaknya kita menjaga diri dari fanatisme buta, karena hal tersebut dapat membuat kita tidak berpikir objektif. Solidaritas boleh saja, namun harus tetap proporsional. Jangan berlebihan.