Fahri Hamzah dan Perlawanannya Kepada KPK

Masyarakat Indonesia hanya bisa menggantungkan harapnya kepada KPK, untuk menyapu bersih korupsi di Indonesia

Fahri Hamzah dan Perlawanannya Kepada KPK
Istimewa

MONDAYREVIEW.COM - Tidak asing bagi masyarakat Indonesia mendengar nama Fahri Hamzah. Dia adalah Wakil Ketua DPR RI dan politikus muda Partai Keadailan Sejahtera (PKS) yang memiliki pola komunikasi politik yang berbeda dengan politikus lainnya. Dia merupakan politikus yang pemberani dan suka melontarkan pernyataan kontroversial.

Menjadi anggota legislatif tiga kali berturut, dari periode 2004-2009, periode 2009-2014 dan 2014-2019 membuatnya menjadi politikus yang memiliki jam terbang tinggi pada perpolitikan nasional. Sikap politik Fahri sulit dikendalikan. Terbukti saat PKS masuk dalam lingkaran kekuasaan saat rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Fahri tidak mengubah karakternya sebagai pribadi yang pemberani dan kritis. Sehingga keberadaannya kerap menimbulkan “masalah”.

Misalnya pada kasus bailout Bank Century, dia memilih sikap politik yang berbeda, yakni menjadi salah satu penggagas Panitia Khusus (Pansus) Skandal Bank Century. Sikap politik yang dilakukan Fahri secara langsung membuat pusing para elit PKS yang saat itu duduk di pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla sikap kritis Fahri semakin pedas. Bahkan saat menilai kinerja dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dia mengungkapkan bahwa Joko Widodo sebagai pemimpin yang bekerja tanpa berfikir. Bahkan Fahri mengungkapkan bahwa Jokowi adalah pemimpin bangsa yang tidak memenuhi standar. Meskipun Jokowi sebagai Presiden tapi cara berfikirnya masih standar wali kota yang masih melakukan kerja-kerja teknis,  bukan melahirkan gagasan-gagasan besar untuk bangsa.

Pola komunikasi yang pedas kepada Joko Widodo juga pernah dia lontarkan saat kampaye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Fahri yang pada saat itu menjadi bagian dari tim sukses pasangan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa ini kerap melontarkan pernyataan yang sangat menggelitik telinga pihak lawan. Pernyataan yang paling pedas saat dirinya mengkritik Joko Widodo dengan kata-kata “Sinting”. Kata tersebut dia lontarkan untuk mengkritisi gaya komunukasi politik Joko Widodo yang berjanji akan menetapkan 1 Muharram sebagai hari santri hanya demi terpilih sebagai presiden.

“Memusuhi KPK”

Sepajang terjun ke dunia politik, Fahri kerap dianggap sebagai politikus mengelurkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Bahkan dia adalah salah satu politikus yang tegas ingin membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya KPK tidak berhasil memberantas korupsi secara sistemik dan KPK harus diinvestigasi.

Selain itu, dia menilai bahwa keberadaan  KPK tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Pasalnya tidak dibenarkan jika ada institusi super body di dalam sistem demokrasi.

Pernyataan yang kontrovesial ini kerap menuai cibiran dari publik. Pasalnya KPK merupakan institusi negara yang sangat dipercaya oleh rakyat dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun cibiran itu tidak menjadi masalah baginya.  Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataannya yang semakin keras menyarang KPK.

Kali ini, Pada kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) Fahri kembali menyerang lembaga anti rasuah dengan mengusulkan penggunaan hak angket kasus E-KTP yang menyeret sejumlah pejabat negara, petinggi partai politik dan anggota dewan.

Menurutnya hak angket dibutuhkan untuk menggali keterangan soal kronologis masuknya nama-nama tokoh politik dalam berkas dakwaan dua mantan pejabat Kemendagri.  "Menurut saya itu perlu ada klarifikasi terbuka, yaitu tentang bagaimana caranya nama-nama itu masuk dalam list dan apa yang sebetulnya terjadi di masa lalu," kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/3) lalu.

Namun, gagasan Fahri dinilai tidak tepat oleh anggota dewan lainnya. Seperti Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengungkapkan bahwa gagasan yang digulirkan Fahri tidak tepat. Pasalnya hak angket atau interpelasi memiliki tujuan untuk mengkritisi fungsi pemerintahan secara konstitusional.  Menurutnya, ketimbang menggulirkan hak angket, lebih baik pertanyaan-pertanyaan seputar masalah kasus E-KTP dibahas antara KPK dengan mitra kerja di DPR yakni Komisi III.

Cibiran yang lain juga disampaikan oleh  Anggota Komisi III DPR RI dan  
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. Asrul  menilai hak angket kasus korupsi E-KTP tidak perlu didorong untuk mempertanyakan masuknya nama-nama anggota DPR dan petinggi partai dalam dakwaan dua mantan pejabat Kemendagri. Instrumen yang bisa digunakan untuk mendalami kasus e-KTP bisa melalui rapat kerja Komisi III dengan KPK. 

Pendapat yang sama juga dilontarkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat yang juga anggota Komisi I DPR Syarief Hasan. Syarief menilai usulan hak angket kasus korupsi e-KTP yang disampaikan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah belum diperlukan.  Syarief meminta pengusul dan fraksi-fraksi partai politik untuk fokus kepada usulan angket yang tengah didorong, semisal angket pengangkatan kembali Basuki T Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Melihat sikap dan pernyataan yang kerap menyerang KPK yang dilakukan oleh Fahri Hamzah, masyarakat bisa menilai, apakah benar-benar bertujuan untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia  atau justru memiliki tujuan yang justru memberikan ruang bagi para koruptor di Indonesia?

Seperti kita ketahui bersama, bahwa korupsi di Indonesia nyaris sempurna. Pasalnya prilaku korup para pejebat negara ada di tiga lembaga negara. Yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Maka dibutuhkan sebuah kekuatan yang memiliki kekuatan besar untuk memberantas korupsi di Indonesia. Saat ini masyarakat Indonesia hanya bisa menggantungkan harapnya kepada KPK, untuk menyapu bersih korupsi di Indonesia.