Elit Golkar di Mata Jokowi
Resuffle kabinet jilid 3 dinilai menjadi strategi Presiden Jokowi untuk memperkuat posisi dalam Pemilu 2019. Apakah strategi Jokowi seirama dengan kebijakan PDIP?

MONDAYREVIEW, Jakarta – Masuknya petinggi partai yang masih menjabat ke jajaran Kabinet III dipandang tak etis. Apalagi Presiden Joko Widodo pada masa kampanye Pilpres 2014 menegaskan tidak akan melibatkan petinggi partai ke istananya
.
Masuknya dua petinggi Golkar, Airlangga Hartanto dan Idrus Marham ke jajaran kabinet pun menjadi sorotan. Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menyatakan Presiden Jokowi telah mengistimewakan Golkar untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2019. “Yang jelas kan Jokowi mengistimewakan Golkar,” katanya saat dihubungi, Jumat (19/1/2017).
Direktur Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) ini menjelaskan, reshuffle memang hak prerogratif presiden. Namun, diangkatnya dua petinggi Golkar ini dinilai memiliki peran strategis pada konstelasi Pemilu mendatang, terlebih posisi Kementerian Sosial. “Makanya cukup mengagetkan juga Jokowi memberikan jatah kementerian strategis kepada Golkar,” tuturnya.
Pengamat Hukum dan Politik Universitas Al-Azhar, Prof Suparji Ahmad menjelaskan, rangkap jabatan dua petinggi Golkar itu tidak masalah jika mengacu pada yuridis normatif. Tidak ada norma hukum yang melarang rangkap jabatan di Kementerian. “Tetapi itu kembali pada janji dan komitmen awalnya , etika dalam konteks bagaimana jaga konsistensinya itu,” kata Suparji kepada Mondayreview.com
Suparji menambahkan, timbulnya asusmi bahwa reshuffle merupakan upaya Jokowi selangkah di depan jelang Pilpres 2019 adalah hal wajar. Menurutnya, ini adalah akad awal presiden dengan partai pendukungya sehingga di 2019 tinggal pestanya saja.
Menurutnya, Jokowi tengah mencoba mandiri agar tak selalu di bawah bayang-bayang PDI-P sebagai parpol pendukung utama. “Sehingga tidak bisa dielakkan Jokowi dapatkan dukungan besar. Mau tidak mau PDI-P support untuk itu dan ini percaya diri Jokowi di 2019 semakin meningkat,” tutunya.
Menurut Suparji, Golkar memiliki daya tawar yang besar mengingat Golkar selalu tiga besar dalam tiap gelaran Pemilu. Suparji memaparkan, Golkar memiliki kekuatan utama pada infra dan suprastruktur yang sudah mapan dan pengalaman mengelola kekuasaan. “Itu yang dijadikan semcam rintangan bagaimana presiden berusaha berkolaborasi dengan Golkar, pada pemilu sebelumnya kan tidak ada dan sekarang peluang itu terbuka sekali,” jelasnya.
Sementara Hendri Satrio berpandangan, oposisi terhadap PDI-P bisa saja terjadi kalau memang prediksi di Pilpres 2019 koalisinya sama seperti Pilkada Jawa Timur. Di Pilkada Jawa Timur PDI-P berkoalisi dengan PKB, PKS dan Gerindra (58 kursi parlemen). Sementara Golkar berkoalisi dengan Demokrat, Hanura, PAN, PPP, dan Nasdem (42 kursi). “Nah sebetulnya Erlangga kalau memang pedukung Jokowi ya mundur saja daripada berikan amunisi pada lawan politik Jokowi karena dianggap tidak memegang komitmen laranganan menteri rangkap jabatan, kan bisa mundur tanpa reshuffle,” ungkap Hendri.
Mengenai penunjukan Idrus Marham sebagai pengganti Khofifah, Presiden mengatakan, karena dirinya menilai Idrus Marham sosok yang cocok di posisi Mensos. “Ya karena cocok saja. Cocok di situ Pak Idrus,” tegas Presiden di Istana Negara, Jakarta kepada awak media