Ekspansi, Utang Tak Terkendali, dan Salah Kebijakan Menjadi Penyebab Krisis Evergrande

MONITORDAY.COM - Bagaimana rasanya punya utang membengkak tak terkendali sampai USD 300 Milyar atau Rp 4.270 Triliun? Itulah yang kini dirasakan oleh Xu Jiayìn, boss perusahaan properti terbesar di Tiongkok bahkan mungkin di dunia Evergrande.
Perubahan regulasi pemerintah dan utang tak terkendali. Dua kombinasi yang membuat Jiayin terpuruk bersama perusahaan yang telah lama dirintisnya. Bisnis properti telah membuatnya menjadi salah satu orang terkaya di planet bumi. Pada pertemuan tahunan Partai Komunis ia mendapat julukan ‘Belt Brother’ dari media karena sabuk emas Hermes yang dikenakannya.
Masalah pun datang. Ekspansi Evergrande tak terkendali di mana utangnya tumbuh bersama ukuran dan asetnya. Tumbuh seperti kanker kapitalisme di negeri sosialis. Kamerad Xu Jiayin tengah membuat repot Kamerad Xi Jinping. Jika tak dibantu oleh uluran tangan Pemerintah maka efek domino dapat mengguncang sektor finansial dunia. .
Pemerintah Tiongkok tak dapat lari dari tanggung jawab. Pengembang juga menjadi korban dari pendekatan Beijing yang berubah untuk mengelola ekonomi raksasa China. Tak lama setelah ia berkuasa pada tahun 2013, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa China perlu "mengalihkan fokus untuk meningkatkan kualitas dan pengembalian pertumbuhan ekonomi untuk mengejar pertumbuhan PDB yang asli daripada yang meningkat".
Mengurangi utang telah menjadi bagian utama dari upaya Xi untuk meminimalkan risiko sistemik. Ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan tetapi Beijing telah mencoba – misalnya, tahun lalu memperkenalkan apa yang disebut “tiga garis merah” untuk pengembang terpilih, yang sangat membatasi kapasitas mereka untuk meminjam.
Secara teori, aturan baru akan memaksa seluruh sektor real estate untuk melakukan deleverage guna meningkatkan kesehatan keuangan. Kebijakan ini awalnya dipandang sebagai intervensi yang disambut baik oleh beberapa kalangan. Manajemen aset UBS mengatakan awal tahun ini: “Kami memiliki keyakinan tinggi terhadap cakupan kebijakan ini.”
Pada kenyataannya, di lapangan terjadi masalah besar yang membuat segala rencana berantakan. Sebelum masalah baru-baru ini, Evergrande telah menawarkan propertinya dengan harga diskon untuk memastikan likuiditas yang cukup untuk menjaga bisnis tetap bertahan. Tapi kepercayaan pasar terlanjur rusak. Harga dan volume penjualan tak tertolong lagi. Nyungsep bersama hari-hari yang panjang di tengah badai pandemi.
Evergrande juga menekan staf untuk meminjamkan uang. Pinjaman itu disajikan sebagai skema investasi berbunga tinggi, tetapi mereka yang tidak ambil bagian berisiko kehilangan bonus mereka. Bulan ini, Evergrande berhenti membayar kembali karyawannya. Sekarang mereka berkumpul di jalan-jalan di luar kantor perusahaan, menuntut uang mereka kembali.
Harga saham Evergrande anjlok lebih dari 80% tahun ini. Lembaga pemeringkat kredit juga telah menurunkan peringkat obligasinya. Dunia berharap Kamerad Xi segera bisa membantu Kamerad Xu. Jangan sampai krisis yang sama membuat negara pesaingnya seperti Amerika Serikat mengalami nasib yang sama. Meski bersaing kedua negara kuat ini sekarang sama-sama berdiri di atas kebebasan pasar. Dan setiap waktu terancam oleh bunga utang yang mencekik dan ‘membunuh’ raksasa sekalipun. Tak peduli seberapa kuat Lehman and Brothres di AS, begitupun dengan Evergrande.