DPR: Defisit BPJS Kesejahatan Jangan Seperti Kutukan
Sejak pertama dilaksanakan melalui program JKN pada 2014 hingga pertengahan 2017, defisit selalu saja terjadi.

Mondayreview.com – Defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ibarat seperti kutukan. Sebab, sejak pertama dilaksanakan melalui program JKN pada 2014 hingga pertengahan 2017, defisit selalu saja terjadi.
Demikian disampaikan Anggota DPR RI dari komisi IX, Irma Suryani dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi IX dengan Dewan Pengawas dan Direktur BPJS Kesehatan, di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (23/11).
Suryani menjelaskan pada tahun 2014 mengalami defisit sebesar Rp 3,3 trilliun. Defisit juga kembali terjadi bahkan mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi Rp 5,7 trilliun. Sedangkan, pada semester 1 tepatnya awal Agustus mengalami defisit sebesar Rp 5,6 trilliun, bahkan di akhir Agustus 2017 mencapai Rp 8 trilliun.
“Seakan BPJS Kesehatan ini ditakdirkan untuk selalu defisit. ” tegasnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan jika tidak segera ditangani, maka tidak menutup kemungkinan defisit yang akan ditangani BPJS Kesehatan akan semakin bertambah. "Saya perkiraan sampai akhir 2017 ini defisitnya bisa mencapai 11-12 trilliun, " imbuhnya.
Politisi NasDem ini berpandangan, defisit yang setiap tahun terus bertambah ini disebabkan masih dijadikannya iuran peserta sebagai satu-satunya pemasukan utama.
"Ini lebih kecil daripada cost yang harus dikeluarkan untuk empat pos pendanaan dalam mengelola iuran BPJS Kesehatan itu sendiri yakni kapitasi, inasibijis, pengelolaan dana BPJS (insentif, operasional) dan pos terakhir, promotif serta preventif," jelasnya.
Ini diperkuat oleh data yang didapatkan oleh Irma bahwa per 30 Juni 2017, pemasukan iuran BPJS hanya sebesar Rp 35 trilliun, sementara biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 41,5 trilliun.
"Artinya apa? Jadi kalau dilihat satu semester itu bisa defisitnya sebesar 6,5 trilliun. Tolong di cek betul atau tidak data yang saya peroleh ini, Pak, " pinta Irma kepada Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris.
Irma juga meminta kepada BPJS selaku operator yang mengelola iuran agar segera meng-update dan merinci penerima dana BPJS kesehatan, baik penerima bantuan iuran (PBI) dan non PBI.
"Kalau menurut saya, besaran iuran bagi PBI sebesar 23.000 perorang/bulan belum bisa menutupi biaya operasional bagi rumah sakit. Itulah keluhan yang saya terima dari rumah sakit penerima iuran PBI," imbuhnya.
Legislator dapil Sumsel II ini menerangkan, menaikkan iuran bagi PBI dan peningkatan pelayanan rumah sakit kepada peserta BPJS bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah defisit atau mismatch terus berulang di setiap semesternya.
"Iuran PBI harus dinaikkan menjadi 36.000 per orang. Kalau kita tidak mau mismatch ini terus berulang dan service rumah sakit pun tidak berkurang. Maka saya kira memang ini harus dibenerin," tandasnya.
Dalam rapat tersebut Irma juga menyoroti masih minimnya kepesertaan BPJS kesehatan. Data per 30 Juni 2017 menyebutkan, tidak lebih 10, 5 juta PPU yang mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan.
"Defisit ini juga tidak bisa dilepaskan kepesertaan dari Pekerja Penerima Upah (PPU) yang relatif masih sedikit, ini juga harus jadi koreksi bagi BPJS Kesehatan," demikian Irma.