Ekonomi Pandemi : Impor Turun Tajam, Neraca Surplus, dan Perdagangan Amblas
Meski Neraca Perdagangan Surplus tak serta merta menjadi kabar yang menggembirakan bagi Indonesia. Hal itu dapat berarti tekanan pada pertumbuhan ekonomi. Karena ekonomi kita ditopang oleh sektor konsumsi. Barang-barang mengalir dari aktivitas perdagangan. Termasuk dipenuhi oleh barang-barang impor.

MONDAYREVIEW.COM – Meski Neraca Perdagangan Surplus tak serta merta menjadi kabar yang menggembirakan bagi Indonesia. Hal itu dapat berarti tekanan pada pertumbuhan ekonomi. Karena ekonomi kita ditopang oleh sektor konsumsi. Barang-barang mengalir dari aktivitas perdagangan. Termasuk dipenuhi oleh barang-barang impor.
Surplus neraca perdagangan Indonesia dalam lima bulan terakhir ini lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2019 yang hanya sebesar 2,68 miliar dolar AS.
Berita baiknya tentu saja ada. Bank Indonesia menilai surplus neraca perdagangan periode Januari-Mei 2020 yang sebesar 4,31 miliar dolar AS akan memperkuat ketahanan eksternal perekonomian Indonesia di tengah dinamika tekanan ekonomi global akibat pandemi COVID-19.
Untuk periode Mei 2020 saja, Indonesia berbalik mencetak surplus neraca perdagangan sebesar 2,09 miliar dolar AS, setelah pada April 2020 mencatat defisit 372,1 juta dolar AS.
Surplus pada Mei 2020 itu didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas dan perbaikan defisit neraca perdagangan migas.
Neraca perdagangan nonmigas Indonesia pada Mei 2020 surplus sebesar 2,10 miliar dolar AS, atau berbalik dari April 2020 yang defisit 81,7 juta dolar AS. Hal itu karena penurunan impor nonmigas sejalan dengan permintaan domestik yang melemah akibat merebaknya dampak pandemi COVID-19.
Penurunan impor nonmigas terjadi pada seluruh golongan penggunaan barang.
Sementara itu, ekspor nonmigas menurun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global yang juga melambat. Adapun neraca perdagangan migas pada Mei 2020 mencatat defisit sebesar 5,4 juta dolar AS, atau lebih rendah dari defisit pada bulan sebelumnya sebesar 290,4 juta dolar AS.
Perbaikan defisit ini dipengaruhi penurunan impor migas sejalan dengan penurunan permintaan minyak mentah dan hasil minyak, dan peningkatan ekspor migas, terutama pertambangan gas.
Impor didominasi oleh China dengan andil 28,13% dan disusul oleh Jepang sebesar 10,04%, lalu Singapura sebesar 6,59%, Thailand sebesar 6,19%, dan Thailand sebesar 5,93%. Impor utama masih dari Tiongkok sebesar 28,13% pada Mei 2020.
Impor utama yang berasal dari China, berupa bawang putih hingga laptop. Sementara kawasan ASEAN tercatat memiliki share sebesar 19,81% dan Uni Eropa sebesar 7,73%. (BPS)
Kinerja Ekspor
Permintaan karet Sumatera Utara dari berbagai negara khususnya Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) meningkat setelah sempat anjlok akibat pandemi COVID-19.
Data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut, ekspor karet Sumut pada Mei 2020 yang sebanyak 14.975 ton, penjualan terbesar ke Jepang dan RRT. Ekspor karet Sumut ke Jepang pada Mei sebesar 3.985 ton atau 26,61 persen dari total ekspor karet Sumut yang sebanyak 14.975 ton.
Ekspor karet terbesar kedua adalah ke RRT atau 17,31 persen dan disusul ke Amerika Serikat 10, 70 persen. Ekspor karet yang masih sangat terganggu adalah ke India karena negara itu belum terlalu terbuka untuk perdagangan dampak pandemi COVID-19.
Melihat perkembangan ekspor di Mei, ada prediksi ekspor semakin membaik pada Juni.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menilai bahwa tren ekspor kelapa sawit dan produk turunannya masih kondusif di tengah kondisi perdagangan Nasional yang terdampak dari situasi pandemi COVID-19.
Wamendag Jerry Sambuaga menjelaskan bahwa pemerintah optimistis terhadap prospek ekspor kelapa sawit ke depan, mengingat komoditas tersebut masih menjadi pilihan yang paling ekonomis sebagai sumber minyak nabati dunia dibandingkan minyak lain, seperti minyak bunga matahari, rapeseed, dan soybean.
Secara umum ekspor kita dilihat dari kacamata global masih surplus, apalagi produk kelapa sawit ini satu dari sekian banyak komoditas yang masih surplus. Jadi secara umum, kondisi ini masih kondusif.
Jerry memaparkan bahwa merebaknya virus corona di akhir tahun 2019, telah berdampak pada perdagangan Nasional, termasuk ekspor minyak sawit dan turunannya.
Sejak awal 2020, ekspor CPO dan produk turunannya memang mengalami penurunan. Kinerja ekspor di beberapa pasar utama pun bervariasi.
Sepanjang Januari-April 2020, ekspor CPO dan produk turunannya ke India mengalami pertumbuhan sebesar 11,2 persen menjadi 1,64 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dilihat dari segi nilainya, kinerja ekspor sawit juga meningkat 55,3 persen menjadi 1,09 miliar dolar AS.
Sementara itu, volume ekspor ke China anjlok sebesar 54,3 persen dari 1,93 juta ton pada 2019 menjadi hanya 879.000 ton pada 2020. Dari segi nilai, ekspor juga turun 48,5 persen dari 966,1 juta dolar AS menjadi 497, 4 juta dolar AS.
Kinerja ekspor produk utama sawit, yaitu RBD Palm Oil mengalami penurunan yang cukup dalam sebesar 28,8 persen dari 4 juta ton pada Januari-April 2019, menjadi 2,85 juta ton pada Januari-April 2020.
Sementara untuk CPO, justru kinerja ekspornya mengalami peningkatan yang cukup baik dari segi volume dan nilai. Volume ekspor CPO meningkat 13,3 persen menjadi 2,48 juta ton pada 2020, sedangkan nilainya meningkat 57,7 persen menjadi 1,64 miliar dolar AS.
Menurut Wamendag, Indonesia juga menghadapi hambatan ekspor lainnya, yakni di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di pasar AS, ekspor biodiesel Indonesia dikenakan anti-dumping dan anti-subsidi dengan total marjin 126,97 persen sampai 341,38 persen.
Sementara di pasar Uni Eropa, ekspor biodiesel Indonesia juga dikenakan antisubsidi oleh otoritas UE dengan pungutan bea masuk 8-18 persen.