Derita Para Driver Ojol: Kapitalisme Kian Sempurna Dengan Digitalisasi?

Derita Para Driver Ojol: Kapitalisme Kian Sempurna Dengan Digitalisasi?
Driver Ojol dan Kapitalisme. | Ilustrasi: MMG

MONITORDAY.COM - DIGITALISASI sebagai bagian dari era industri 4.0 bagaikan pisau bermata dua. Selain menjanjikan kemajuan ternyata juga memunculkan ilusi dan penindasan. Di balik kemudahan yang ditawarkan industri berbasis digital, ternyata juga ada risiko terjerat oligarki industri besar, big tech.

Michio Kaku adalah seorang professor fisika teoritis lulusan Universitas Harvard. Ketika menjadi salah satu pembicara dalam Open Innovations Forum yang dihelat di Moskow, 2017 silam, dia sempat menyinggung soal hubungan digitalisasi dan kapitalisme ekonomi.

Penemu 'Teori Dawai' (String Theory) ini juga menyebut digitalisasi sejatinya meniscayakan kapitalisme yang sempurna, berbasis supply dan demand. Hanya saja, kata dia, seringkali kapitalisme juga dijalankan secara curang; soal harga, kualitas produk, dan tentu saja juga soal profit.

Jika meminjam analisanya peraih hadiah nobel George Akerlof, maka digitalisasi mestinya dapat meminimalisasi asymetric information. Karena seperti dalam bisnis jual-beli mobil bekas, keuntungan lebih sering diraih berkat ketidaktahuan kita akan kondisi mobil sebenarnya.

Michiko membetulkan, jika kita ingin menjadi seorang miliarder, maka tentukan industri apa yang ingin kita bangun, lalu digitalisasi lah. Dengan begitu, akan makin banyak miliarder bertebaran dimana-mana.

Namun faktanya, tak pernah ada satu pun miliarder yang rela berbagi dan mencari titik temu terhadap ketimpangan upah. Alasannya selalu klasik, demi efisiensi. Atau setidaknya menerapkan sistem kerja yang saling menguntungkan.

Seorang pria berjalan melewati daerah kumuh di dekat gudang Amazon yang menjulang tinggi.
Foto: Carlos A. Moreno

Sebutlah Amazon, perusahaan teknologi multinasional Amerika yang berbasis di Seattle, atau layanan online jasa sewa rumah Airbnb yang tiap detik berkembang semakin besar, namun sekaligus juga memperbesar ketimpangan upah di dalamnya.

Perusahaan e-comerce raksasa asal Tiongkok Alibaba lebih merisaukan. Setelah sekian lama dianggap sebagai pahlawan nan hebat, Jack Ma sang pendidirinya kini tengah dirundung pilu. Banyak pekerja muda yang ikut mengembangkan Alibaba kini mulai berontak terhadap ketimpangan upah yang ada di dalamnya.

Jack Ma bahkan dituding sebagai pihak yang membuat banyak anak muda di negeri Tiongkok itu makin gemar berutang. “Kalian masih muda, habiskanlah uang,” seru sebuah iklan di Huabei, fitur semacam kartu kredit yang dijalankan Alipay.

Kapitalisme dimana pun memang sama saja, meski dalam wajah yang berbeda, termasuk di negeri kita Indonesia. Project Multatuli yang digagas Faisal Irfani dan kawan-kawan adalah yang pertama kali mengungkap soal adanya ilusi kemitraan, upah yang tak sepadan, serta nasib kurir yang kian tak jelas dalam sistem kemitraan yang dibangun perusahaan penyedia jasa ojek online, Gojek.

Project Multatuli juga mengungkap, soal akar masalah yang menimbulkan sengkarut hubungan antara driver dan perusahaan yang didirikan Nadiem Anwar Makarim ini. Hasil wawancaranya dengan Nabyla Risfa menyabut jika akar masalahnya ada pada konsep gig economy, yang melatarbelakangi kelahiran ride sharing, tak lama usai krisis finansial tahun 2008 silam.


Nabiyla Risfa Izzati, Peneliti pada Fairwork Indonesia.
Foto: Fairwork

Menurut Nabyla, konsep gig economy hakikatnya mendisruppsi pasar kerja konvensional. Tumpuannya adalah efisiensi, yang diterapkan melalui mekanisme on demand. Maksudnya, pekerjaan bisa dilakukan selama ada permintaan. Persoalannya mekanisme menimbulkan adanya grey area, karena perusahaan seperti tidak ada, namun sebetulnya menyedot keuntungan luar biasa.

“Kalau konvensional, kan jelas ada perusahaan. Sedangkan gig economy ada perusahaan, tapi mereka mengaku tidak memberi pekerjaan, hanya sebagai perantara.” Kata Nabyla, mengutip wawancara Project Multatuli, Ahad (17/06/2021).

Perusahaan uber harus mengangkat para driver sebagai karyawan. Jika tidak maka Uber akan didenda 733 juta euro (12,6 miliar).

Keresahan serupa sebetulnya juga sempat dirasakan para pengemudi ojek online di Inggris mereka juga sempat memperjuangkan nasibnya, bahkan hingga ke pengadilan. Hingga akhirnya dua mantan pengemudi Uber james Farrar dan Yaseen Aslam menyeret Uber ke pengadilan ketenagakerjaan di tahun 2016.

Saat itu, Uber berdalih para driver-nya adalah wiraswasta dan mereka tidak perlu membayar gaji tetap apalagi uang liburan. Kamis (28/10/2021) kemarin adalah akhir perjuangan mereka. Setelah sekian lama, Mahkamah Agung Inggris sebagaimana dikutip dari BBC memutuskan, perusahaan uber harus mengangkat para driver sebagai karyawan. Jika tidak maka Uber akan didenda 733 juta euro (12,6 miliar).

Kini mereka pun tak lagi wiraswasta, namun berstatus karyawan. Mereka juga kini berhak mendapat gaji tetap, termasuk saat liburan. Mereka tumpah ruah, turun ke jalan-jalan merayakan perubahan status yang selama ini mengekang.


Pengemudi Uber merayakannya saat mereka mendengarkan keputusan Mahkamah Agung di London.
Foto: Frank Augstein/AP

Sejatinya, uber sempat naik banding ke pengadilan banding Ketenagakerjaan, tetapi ditolak pada November 2017. Banding kedua lalu diajukan Uber, tetapi dimentahkan lagi oleh Pengadilan Banding pada Desember 2018. Jumat pekan lalu adalah banding terakhir Uber, karena Mahkamah Agung di Inggris adalah pengadilan tertinggi dan berhak mengeluarkan putusan akhir. 

Kini mereka pun tak lagi wiraswasta, namun berstatus karyawan. Mereka juga kini berhak mendapat gaji tetap, termasuk saat liburan. Mereka tumpah ruah, turun ke jalan-jalan merayakan perubahan status yang selama ini mengekang.

Hakim MA Inggris George Leggatt mengatakan, Mahkamah Agung dengan suara bulat menolak banding Uber yang menyatakan mereka hanya perantara. 

MA Inggris menilai, driver ojol harus dianggap bekerja tidak hanya saat mengantar penumpang, tetapi juga setiap masuk ke aplikasi. 

Beberapa pertimbangan pengadilan untuk menetapkan driver ojol sebagai karyawan tetap antara lain: Uber menetapkan tarif yang artinya mereka menentukan berapa banyak pendapatan driver.

Uber menetapkan persyaratan kontak dan driver tidak punya suara di dalamnya. Jumlah order diatur oleh Uber dan dapat menghukum driver jika menolak terlalu banyak orderan. 

Uber memantau performa driver dari jumlah bintang dan punya wewenang memutus kemitraan jika peringatan berulang tidak memperbaiki kinerja. 

Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, MA Inggris memutuskan bahwa posisi driver berada di bawah Uber, karena satu-satunya cara meningkatkan penghasilan adalah dengan bekerja lebih lama. 

Jamie Heywood Manajer Umum Regional Uber untuk Eropa Utara dan Timur mengatakan, pihkanya menghormati  putusan pengadilan yang berfokus pada sejumlah kecil driver yang menggunakan aplikasi Uber sejak 2016. 

Sejak itu, Uber pun membuat beberapa perubahan signifikan pada bisnis, dipandu oleh driver di setiap langkahnya, termasuk memberikan kontrol lebih besar atas penghasilan mereka, dan memberikan perlindungan baru seperti asuransi gratis jika sakit atau cedera. 

Uber juga berkomitmen berbuat lebih banyak dan sekarang akan berkonsultasi dengan setiap driver aktif di seluruh Inggris, untuk memahami perubahan apa yang mereka inginkan.

Apa yang terjadi pada Uber mestinya jadi contoh, bagaimana kemudian kemitraan harus dibangun bukan hanya atas dasar efisiensi, namun juga saling menguntungkan. Jika tidak, maka digitalisasi tak ubahnya sebagai penjajahan model baru. [ ]

-----------

Penulis: Ma’ruf Mutaqin
Riset dan Data: Dani Setiawan, Taufan Agasta
Reporter: Faisal Ma’arif, Natsir Amir
Penata Letak: Deni Irawan