Dawam Rahardjo Tutup Usia, Haedar Nashir: Hingga Akhir Hayatnya Beliau Tetap Jadi Bagian Keluarga Muhammadiyah

Sampai akhir hayatnya Prof Dawam menjadi bagian dari keluarga besar dan anggota Muhammadiyah.

Dawam Rahardjo Tutup Usia, Haedar Nashir: Hingga Akhir Hayatnya Beliau Tetap Jadi Bagian Keluarga Muhammadiyah
Prof. Dawam Rahardjo/Net

MONDAYREVIEW - Jika saja arus sejarah mampu menampakkan warna atas perjalanan dan penyejarahan seseorang, maka sejarah perjalanan hidup Dawam Rahardjo akan berwarna-warni seperti pelangi di sore hari. Ini lantaran seluruh babakan kehidupannya dihabiskan dalam dunia intelektual yang sarat dengan dinamika intelektual dan aktivisme, habitat yang dinilai banyak pihak sebagai ranah yang paling sesuai bagi Dawam Rahardjo.

Secara bergiliran, dinamika, tantangan, cemoohan dan hukuman yang memojokan ia hadapi dengan ketegaran dan tanpa keluh kesah. Hingga akhirnya ia mengehmbuskan nafas terakhirya, Rabu (30/5) pukul 22.55, di RS Islam Cempaka Putih pada usia 76 tahun, setelah menderita beberapa komplikasi penyakit.

Lahir di Solo, Jawa tengah, 20 April 1942, kepergian Dawam meninggalkan duka dan perasaan kehilangan dari berbagai kalangan. Termasuk Muhammadiyah, rumah kedua yang pernah menjadi tempatnya mengaktualisasikan ide-ide besarnya.

Atas meninggalnya Dawam Rahardjo, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sendiri menyampaikan dukacita yang mendalam. “Semoga almarhum husnul khatimah, diampuni dosa dan kesalahannya, serta diterima amal ibadahnya di sisi Allah Swt.,” tutur Ketua Umum PP Muhammadiyah kepada mondayreview.com, Kamis (31/5).

Menurut Haedar Nashir, almarhum pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah periode 2000-2005, sebelumnya menjadi Ketua Majelis Ekonomi. Kata Haedar, sampai akhir hayatnya Prof Dawam menjadi bagian dari keluarga besar dan anggota Muhammadiyah.

Oleh karena itu, kata Haedar, ketika tahu Prof. Dawam Rahardjo menderita sakit parah, PP Muhammadiyah berinisiatif memindahkannya untuk dirawat di RSIJ Cempaka Putih. “Selama dirawat di RSIJ Ketua Umum dan Anggota PP Muhammadiyah dan handai tolan dari Persyarikatan Muhammadiyah menjenguk dan mendo’akan Prof Dawam. Tapi Allah telah menentukan garis ajal tokoh nasional tersebut sebagaimana berlaku untuk semua insan bani Adam,” ujarnya.

Haedar menjelaskan, banyak gagasan beliau dalam hal ekonomi maupun pemikiran keislaman menjadi rujukan umat Islam di eranya. Beliau bersama Adi Sasono (almarhum) juga pelopor LSM generasi awal (era tahun 1970-1980an) yang banyak melibatkan kaum muda muslim modernis.

“Guru Besar Pak Dawam Rahardjo diterima dari Universitas Muhammadiyah Malang. Beliau juga dikenal sebagai pemikir dan pemulis produktif,” tutur Haedar.

Bagi Dawam Rardjo, tampaknya hidup tanpa tantangan bukanlah hidup yang sebenarnya, bahkan di penghujung hayatnya, ia tetap membaca, menulis, merenung dan berbicara dalam berbagai forum. Karena baginya, disinilah habitat yang paling pas, bukan di habitat yang lain.

Dawam Rahardjo dikenal sebagai sosok yang multidimensi. Selain sebagai seorang intelektual, Dawam dikenal juga sebagai budayawan, pemikir Islam, dan pegiat LSM. Karirnya di dunia LSM dimulai sejak terlibat di LP3ES sekitar tahun 70-an. Lelaki jebolan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fakultas Ekonomi tahun 1969 ini, menduduki jabatan puncak di LP3ES sebagai Direktur dan Pemimpin Umum majalah Prisma.

Hal lain yang ditinggalkan Dawam Rahardjo adalah catatan historis maupun genealogi pemikiarannya ketika bersama Mubiyarto aktif memperjuangkan ekonomi kerakyatan atau lebih ekstrimnya ekonomi syari’ah, masa-masa dimana keduanya aktif memperjuangkan penerapan prinsisp-prinsip ke-Islaman atau “syari’ah” dalam ekonomi, masa-masa dimana keduanya memilih untuk mundur dari badan pekerja MPR bidang ekonomi karena pemerintah lebih memihak kepada para ekonom liberal dari kelompok “mafia brekeley”. Mas Dawam bahkan lebih ekstrimnya mengamini perjuangan penegakan nilai-nilai ke-Islaman untuk diformalkan dalam konstitusi meski lewat perjuangan partai politik sekalipun.

Mengeksplorasi sisi sejarah dan genealogi pemikiran Dawam Rahardjo, dari sisi tersebut mungkin dapat memberi jawaban kenapa pada babakan terakhir ia seakan berbalik mengecam formalisasi syari’ah termasuk dalam ekonomi ataupun bank syari’ah.

Tulisan terakhirnya terkait ekonomi Islam di media cetak (Media Indonesia, Maret 2007) dapat menyimpulkan bahwa ia menginginkan arah ekonomi Islam berjalan menuju realisasi tekno-ekonomi, yakni pembangunan ekonomi yang memakai paradigma dan logika teknis-saintis yang sebetulnya telah banyak di kecam para pemikir neo-marxis, maupun post-marxis sekalipun. Kecenderungan pemberian hadiah nobel ekonomi satu dasawarsa terakhir bahkan diraih para ekonom yang giat mengembangkan model pendekakatan ekonomi holistic yang menggunakan studi antropologi dan model pembangunan post-marxis, bukan tekno atau saintis ekonomi.

Betulah kiranya, bila Dawam Rahardjo memang manusia multidimensi. Sejarah perjalanan hidupnya begitu berwarna. Selamat jalan Dawam Rahardjo. [Mrf]