BPJS Kesehatan Jadi Syarat Banyak Urusan Layanan Publik, Simak Alasan Lengkapnya!

BPJS Kesehatan Jadi Syarat Banyak Urusan Layanan Publik, Simak Alasan Lengkapnya!
Ilustrasi foto/Net

MONITORDAY.COM - Tanggapan reaktif lagi-lagi datang dari masyarakat yang dialamatkan ke Pemerintah seiring dikeluarkannya Instruksi Presiden Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dalam beleid yang diteken pada 6 Januari 2022 ini layanan publik hanya dapat diakses dengan tambahan syarat dari kepesertaan BPJS Kesehatan. Setidaknya ada tujuh poin layanan publik yang termaktub dalam Inpres tersebut. Antara lain, pengurusan SIM, SKCK, STNK dari pihak kepolisian, mengurus jual beli tanah yang diakomodir Kementerian ATR/BPN. 

Kemudian, pendaftaran haji dan umrah melalui Kementerian Agama, pengajuan Kredit Usaha Rakya (KUR) yang dilakukan Kemenko Perekonomian, pengajuan izin usaha yang diurus Kementerian Dalam Negeri, serta kelompok petani dan nelayan yang menerima program dari Kementerian Pertanian juga Kementerian Perikanan.

Tujuh lembaga negara itu diminta Presiden melakukan penyempurnaan regulasi terkait pelaksanaan KUR dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Beberapa poin instruksi tersebut membuat kartu peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi syarat wajib di beberapa layanan publik selain KTP dan NPWP.

Dari sisi pemerintah, beleid ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Program JKN-KIS dan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan. Selain tujuh lembaga tadi, Pemerintah Daerah dari mulai Provinsi hingga Kabupaten/Kotamadya juga didorong untuk mengalokasikan anggaran untuk Program JKN, termasuk mengajak seluruh warganya agar terdaftar sebagai peserta JKN.

Pertanyaannya, apakah kali ini masyarakat terlalu reaktif terhadap aturan baru tersebut? Jawabannya bisa iya dan tidak. Sebelum Inpres ini dikeluarkan, publik riuh rendah menanggapi Permenaker No. 2 tahun 2022 yang mengais ragam komentar terutama dari kalangan pekerja.

Masyarakat mengasumsikan syarat kepesertaan BPJS kesehatan untuk mengakses layanan publik adalah cara Pemerintah mengatasi defisit anggaran di BPJS Kesehatan. Namun jelas, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan merupakan dua entitas yang berbeda. Akar permasalahannya bisa jadi serupa tapi tak sama.

Kesehatan, bagaimanapun juga hal yang paling mendasar bagi seorang individu yang hidup di tengah masyarakat, edukasi mengenai kesehatan yang masih belum memadai. Walau begitu, Negara wajib memberikan kelonggaran dan keleluasaan bagi warga negaranya mengakses fasilitas kesehatan jika perlu perawatan. 

Kehadiran BPJS Kesehatan merupakan solusi dari itu semua, memang masih banyak kekurangan. Akan tetapi, jika dibandingkan negara yang jauh lebih maju seperti Amerika Serikat. Indonesia dinilai terlalu bermurah hati kepada warga negaranya. 

Kok bisa ada anggapan seperti itu? Di Indonesia, kadang orang tidak pernah membayar iuran kesehatan melalui entitas layanan kesehatan publik. Seperti pengetahuan umum mengenai produk asuransi kesehatan. Pengertian iuran di sini masih dianggap bukan suatu keharusan. Tapi saat diperlukan meminta pelayanan optimal dari fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang menerima pasien BPJS.

Pengetahuan yang belum memadai ini diperparah dengan peran media yang mengaduk emosi masyarakat seperti yang diorkestrasi Koran Tempo. Pada edisi lalu, Koran Tempo menulis Headline dengan tendensi negatif soal Inpres yang digagas Presiden Jokowi ini. Mestinya, sebagai suatu media yang independen, Tempo kudu bersandar pada kepentingan publik yang lebih luas.

Ditulis Tempo, bahwa hal ini dilakukan Pemerintah atas alasan defisit di APBN. Padahal kalau mau bersabar sedikit, Tempo bisa menemukan data saat pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak yang tumbuh sebesar 59% sepanjang Januari 2022. Nilainya mencapai Rp109,11 triliun. Hitung-hitungan bodohnya, dengan kinerja positif ini saja cukup untuk menambal defisit di BPJS Kesehatan yang didera juga oleh pandemi.

Lucunya, pada saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, 19 Januari 2022 lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, lembaga yang dinakhodainya mencatatkan surplus sepanjang tahun 2021. Kondisi itu baru pertama kali terjadi sejak tahun 2015.

"Biasanya kami defisit dan selalu ramai di DPR. Di Desember 2020, pernah cashflow positif, tapi kalau kewajibannya dijalankan, seperti utang - utang, dan sebagainya, jadi defisit," ujar Ghufron

Per 31 Desember 2021 cashflow BPJS Kesehatan dinilai aman dan masuk dalam kategori sehat untuk memenuhi estimasi pembao klaim untuk 4,83 bulan ke depan. Adapun surplus yang dicatatkan senilai Rp 39,45 triliun tersebut.

Instruksi presiden sifatnya memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sasaran utama dari Inpres itu tak lain untuk memperluas akses kesehatan masyarakat. Inpres nomor 1 tahun 2022 itu dikeluarkan dalam rangka mewujudkan target 98% masyarakat Indonesia terdaftar JKN pada 2024. Supaya mampu menjalani harinya dengan kegiatan produktif.