Momentum Subtitusi Impor
Sementara itu sejumlah proyek strategis memerlukan dukungan dari pelaku industri logam dan mesin. Diantaranya program superhub, ketenagalistrikan, kawasan penyediaan pangan (food estate), dan instalasi pengolahan sampah. Jika proyek ini terbengkalai maka ketertinggalan Indonesia dari negara pesaing akan sangat menyulitkan bagi anak cucu di masa yang akan datang.

MONDAYREVIEW.COM – Beberapa bulan lalu banyak pihak tak menyangka bahwa dampak wabah sedemikian besar bagi perekonomian dunia. Pukulan yang berat dialami oleh industri pengolahan. Termasuk industri logam. Juga kerabatnya yakni industri permesinan dan otomotif.
Permintaan jelas turun drastis. Dalam beberapa kasus bahan baku utama dan bahan baku pendukung pun sulit didapatkan. Hingga sempat diwacanakan bakal dihapusnya pajak bagi pembelian mobil baru. Tujuh bulan terakhir menjadi ujian berat bagi dunia usaha khususnya dunia industri di tanah air.
Pukulan berat atau kategori hard hit dialami sektor industri logam, permesinan dan otomotif. Kategori moderat, untuk sektor petrokimia yang relatif stabil. Dan kategori high demand untuk sektor industri makanan dan minuman, farmasi, serta alat kesehatan.
Sementara itu sejumlah proyek strategis memerlukan dukungan dari pelaku industri logam dan mesin. Diantaranya program superhub, ketenagalistrikan, kawasan penyediaan pangan (food estate), dan instalasi pengolahan sampah. Jika proyek ini terbengkalai maka ketertinggalan Indonesia dari negara pesaing akan sangat menyulitkan bagi anak cucu di masa yang akan datang.
Mau tak mau kondisi pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga tentang perlunya segera melakukan pendalaman struktur industri nasional untuk mengatasi ketergantungan impor, dengan target substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022.
Untuk itu Kementerian Perindustrian terus fokus dan menggenjot subtitusi impor untuk mencapai kemandirian industri nasional di tengah pandemi COVID-19 yang menekan perekonomian Indonesia.
Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian untuk mewujudkan kedalaman struktur industri mandiri dan berdaya saing. Demikian menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi.
Melalui keterangan tertulis Doddy mengatakan Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan perekonomian semua negara saat ini sedang macet atau hang, karena itu dibutuhkan restart dan rebooting.
Semua negara, termasuk Indonesia, memiliki kesempatan untuk menyusun ulang semua industrinya. Untuk itu pemerintah siap menjalankan beberapa kebijakan terkait penurunan impor. Salah satunya dengan menaikkan tarif bea masuk most favourable nation (MFN) untuk komoditas strategis.
Selain itu, pemerintah akan menjalankan kebijakan non-tarif seperti penerapan technical barrier to trade (TBT) melalui peningkatan jumlah Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib.
Untuk menjalankan kebijakan tersebut, dibutuhkan penambahan alur proses pengajuan SNI untuk produk tertentu, pembenahan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), penerapan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri secara tegas dan konsisten, serta implementasi minimum import price.
Dalam webinar dengan Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA) baru-baru ini, Doddy juga menyampaikan, saat ini baru terdapat 22 SNI wajib di sektor industri logam. Selanjutnya, terdapat empat SNI wajib di sektor permesinan.
Ini merupakan potensi untuk meningkatkan investasi baru atau ekspansi dalam rangka substitusi impor. Dengan menarik investasi, kita dapat membangun kemandirian industri, dan meningkatkan hilirisasi industri dalam negeri.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo menyatakan industri nasional masih memerlukan kebijakan dan infrastruktur yang mendukung agar bisa tetap berdaya saing yang tinggi.
Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Program Strategis Nasional yang mencakup 23 sektor. Program tersebut merupakan program unggulan yang dipercepat pencapaiannya. Program-program ini ditargetkan selesai sebelum tahun 2024. Hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan untuk memenuhi kebutuhan dari pembangunan infrastruktur maupun non-infrastruktur tersebut.
Kemandirian industri dan hilirisasi industri sudah menjadi perbicangan para pengambil kebijakan sejak lama. Namun realisasinya membutuhkan kesungguhan dari banyak fihak. Momentum pandemi adalah saat yang tepat. Jika terlambat dan gagal mengantisipasi kita akan terpuruk di buritan laju perekonomian dunia.