Bisikan Amandeman di Tengah Hantaman Wabah

Bisikan Amandeman di Tengah Hantaman Wabah
Ketua MPR RI/Bambang Soesatyo

MONITORDAY.COM - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo atau dikenal Bamsoet kembali menyinggung soal kebutuhan amandemen UUD 1945 saat berpidato pada Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI, di Jakarta, Senin (16/8/2021).

Menurut Bamsoet, Undang-undang Dasar 1945 bukan kitab suci. Sehingga kata dia, bukan hal tabu jika ada amandemen untuk melakukan penyempurnaan. Sebabnya, menurut bamsoet konstitusi akan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman.

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya,” kata Bamsoet.

Pernyataan serupa sebetulnya pernah pula ia sampaikan pada pidato pertamanya dalam Rapat Paripurna penetapan dan pelantikan Pimpinan MPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, jakarta, Kamis (3/10/2019). Ketika itu, Ketua MPR periode 2019-2024 sempat menyinggung soal kebutuhan amandemen UUD 1945.

Bamsoet saat itu juga berharap MPR menjadi lembaga yang komunikatif dalam menyikapi kebutuhan amandemen. “Kami berharap, MPR periode ini adalah MPR yang terbuka dan mampu menatap perkembangan baik nasional, maupun internasional,” ujar politisi partai beringin ini.

Bamsoet juga menekankan, pilihan untuk mengamandemen Undang-undang Dasar 1945 harus mengedepankan pada rasionalitas dan konsekuensi. Selain itu, kata dia, amandemen juga tidak boleh merusak tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukumnya.

Di Indonesia, kedudukan tertinggi diisi oleh Presiden yang fungsinya mengepalai negara. Sebelum menjadi seorang pemimpin, calon presiden akan dipilih melalui pemilihan umum yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pendapat tersebut sejatinya tecantum dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945, yang mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia memang dipimpin oleh seorang Presiden.

Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Kendati begitu, presiden memiliki tanggungjawab atas kedudukan tertinggi di sistem pemerintahan Indoneia, tetap ada cara yang dapat dilakukan oleh komponen lain untuk mengawasi kinerjanya. Saat ini, tugas pengawasan tersebut dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan perwakilan Rakyat (DPR).

Baik tugas dan wewenang eksekutif maupun legislatif, tentunya membutuhkan visi yang sama dalam rangka pembangunan nasional dan daerah. Karena itu pentingnya pokok-pokok haluan negara (PPHN) yang bersifat filosofis.

Hal tersebut, kata Bamsoet, sesuai dengan rekomendasi MPR RI periode 2009-2014, dan MPR 2014-2019, hasil kajian MPR periode 2019-2024. Karena itu, amandemen meurut bamsoet akan memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945..

“Keberadaan PPHN yang bersifat filosofis sangat penting untuk memastikan potret wajah Indonesia masa depan, sekitar 50-100 tahun yang akan datang. Situasinya penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi," kata Bamsoet.

Sementara itu, pengamat Hukum Universitas Andalas Ferry Amsari menilai tidak ada hal yang mendesak atau urgensi terkait wacana undang-undang dasar (UUD) 1945 memerlukan perubahan atau amandemen terbatas. Terutama untuk menambah kewenangan MPR menetapkan Pokok-Pokoh Haluan Negara (PPHN). Ferry mengatakan rencana amandeman itu bahkan membuka peluang MPR memiliki kewenangan memilih presiden.

“Jika disimak karena kondisi saat ini sedang pandemi tidak ada relevansi,” ujarnya Rabu (18/8/2021). Apalagi kata Ferry, tidak ada hal mendesak atau urgensi untuk melakukan penambahan kewenangan MPR terutama di isu kewenangan membentuk PPHN.

Ferry menjelaskan, pasal 37 UUD 1945 membatasi hanya membahas terhadap usul yang diajukan. Namun, bisa saja pembahasan melebar. Jika itu terjadi, lanjut dia, perubahan tidak dapat dicegah. “Bahkan di konstitusi juga tidak diatur kalau pembahasan di luar apa yang diusulkan apakah itu membuat konstitusi yang disahkan tidak sah atau tidak berlaku kan juga tidak,” tutur Ferry.

Ferry meyakini, amandeman ini akan menjadi ruang permainan yang membuat pembahasan sangat melebar. Konsekuensinya, lanjut dia, MPR akan merasa dirinya sebagai lembaga tertinggi. Sehingga lembaga itu akan membuka ruang kekuasaan lebih jauh.

“Bukan tidak mungkin akan mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR, atau menambah kekuasaan-kekuasaan lain yang menurut saya bersebrangan dengan arah reformasi demokrasi yang sudah kita lakukan sebelumnya,” ujarnya. [ ]