Berpotensi Timbulkan Disintegrasi, Presiden Diminta Ambil Alih Penanganan Masalah Papua
Solusi permasalahan Papua tidak bisa dilihat parsial dari sudut keamanan saja, karena Papua saat ini menjadi barometer paling kritis atas adanya ancaman disintegrasi bangsa.

MONITORDAY.COM – Kerusuhan di Papua masih berlangsung. Dimulai sejak adanya aksi protes terhadap dugaan perlakuan diskriminasi rasis di Surabaya dan Malang, masyarakat di Papua di beberapa kota di Papua dan Papua Barat turut menggelar aksi serupa.
Dimulai pada senin (19/8) lalu, masyarakat Papua menggelar aksi di Manokwari dan Sorong, Papua Barat berujung ricuh, dan terjadi pembakaran gedung pemerintahan. Kemudian pada Selasa (21/8), kericuhan terjadi di Fakfak, dengan isu yang sama, massa aksi melakukan pembakaran dan perusakan fasilitas umum.
Menaggapi hal tersebut, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Kastorius Sinaga mengatakan, hal tersebut jika tidak segera ditangani dengan tepat, maka akan mengancam keutuhan dan persatuan negara. Menurutanya, dalam hal ini Presiden langsung yang harus menangani polemik yang terjadi di bumi Cendrawasih ini.
“Sudah sewajarnya presiden mengambil alih seluruh penanganan masalah Papua termasuk dalam merumuskan platform penyelesaian Papua berjangka panjang. Bila tidak maka dikwatirkan eskalasi kerusuhan akan berlangsung ke arah kebuntuan politik yang akan mengancam persatuan bangsa,” ujar Kastorius, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/8).
Ia mengatakan, perlu penanganan yang komperhensif dalam menggatasi masalah tersebut. Solusi permasalahan Papua tidak bisa dilihat parsial dari sudut keamanan saja, karena Papua saat ini menjadi barometer paling kritis atas adanya ancaman disintegrasi bangsa.
“Karena itu, Jokowi sebaiknya tidak menyerahkannya tanggung-jawab secara parsial dan teknis sektoral ke para pembantunya. Termasuk ke tangan TNI dan Polri sebagai leading sector untuk pemulihan keamanan,” tutur Kastorius.
Dia menambahkan, pemerintah pusat harus menanggapi serius pergeseran agresi massa dari sekadar ungkapan emosional akibat tindakan rasial terhadap warga Papua di Jawa Timur ke motif kemerdekaan Papua dari NKRI. “Agresi massa di Papua terjadi bak bola salju yang cepat menjalar dan membakar berbagai kota mulai Monokwari, Sorong, Fakfak, dan Timika,” terangnya.
“Jika kerusuhan ini terus berlangsung maka Papua akan menjadi faktor utama disintegrasi nasional. Ini akan dapat berujung fatal bagi stabilitas dan keamanan nasional seperti pernah dialami pada kasus lepasnya Timor Timur di tahun 1999," sambung Kastorius.
Dalam hal ini, Kastorius mmenyarankan agar Presiden meletakkan prinsip human dignity bagi penyelesaian Papua. Papua tak bisa diselesaiakan hanya dari pendekatan keamanan dan pembangunan fisik infrastruktur. Namun, pemerintah harus menempatkan kembali warga Papua setara dengan warga Indonesia secara keseluruhan.