Berebut Ikan Mati di Lumbung Emas Pongkor

SEJAK dua dekade terakhir, pemandangan berbeda selalu terlihat di sepanjang aliran Sungai Cikaniki, Sungai Ciasmara atau Cianten sejak dari hulunya di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sawah-sawah yang dahulu menghampar lepas. Punuk-punuk bukit yang disilau mentari. Ladang-ladang petani yang tumbuh di lereng-lereng bukit. Kini berubah drastis, mereka seperti enggan menjalin harmoni.
Para penduduk di sekitar aliran-aliran sungai ini, selalu termotivasi menjadi pekerja tambang di PT Antam, penambang liar atau gurandil di sekitar Ciguha, maupun pekerja di PT Chevron Geothermal Salak, ketimbang petani. Mereka tak begitu tertarik menggarap lahan-lahan di sekelilingnya.
Hasilnya, terjadi disharmoni antara mereka dengan alam. Seperti terlihat Rabu (2/2/2022) pagi tadi, ribuan ikan di Sungai Cikaniki, Kecamatan Nanggung, ditemukan mati.
Diduga, ikan tersebut tercemar limbah dari penambang emas tanpa izin (Peti) atau gurandil di Kampung Lukut, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung.
Pantauan di lokasi, sejumlah warga tampak mengambil ikan yang mati di Sungai Cikaniki.
“Iya benar banyak ikan mati diduga karena tercemar limbah dari penambang emas,” kata warga sekitar Aceng (48) ketika ditemui para pewarta.
Dia mengaku, sampai saat ini masih ada masyarakat di lokasi untuk mengambil bangkai ikan di sepanjang aliran Sungai Cikaniki.
“Kami baru tahu pagi ada warga yang ke Sungai Cikaniki melihat ikan mati. Padahal awalnya tidak pernah terjadi pasca pembersihan PETI,” jelasnya.
Hal senada dikatakan Holid tokoh pemuda setempat. Dia menduga ikan-ikan mati tersebut terkena racun yang diduga dibuang ke sungai.
"Ini membahayakan. Kasian rakyat makan ikan mati yang beracun," katanya.
Berdasar informasi yang didapat, pihak keamanan melakukan razia ke penambang liar. Hanya saja tidak didapat penambang dan muatan kimia di lokasi penambangan liar itu. Diduga kuat muatan kimia beracun dibuang ke sungai.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada keterangan dari pemerintah setempat maupun pihak PT Antam perihal kejadian ikan mati di aliran Sungai Cikaniki, Kecamatan Nanggung.
Legenda tambang emas
Nama Gunung Pongkor di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Kabupaten Bogor, Jawa Barat sudah menjadi legenda tempat penambangan emas di Jawa Barat. Kawasan yang dikelola PT Aneka Tambang Tbk (Antam) ini dulu seperti madu yang mengundang lebah.
Pasalnya, cadangan emas yang besar di Gunung Pongkor yang ditemukan dan dikelola oleh Antam kala itu menarik hasrat para masyarakat untuk ikut menambang dengan cara tradisional atau Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) di luar Antam. Para penambang yang sebagian besar merupakan pendatang itu juga dikenal dengan sebutan gurandil.
Menurut informasi, setidaknya dulu dari tahun 1995-2000-an ada sekitar 70 ribu gurandil dari Sabang hingga Merauke tumpah ruah menambang emas tanpa izin di wilayah milik Antam ini. Dari hulu hingga hilir sungai Cikaniki, tenda-tenda biru beranak pinak. Menunggu para penambang keluar dari lubang yang mereka buat di dinding-dinding bukit.
Rata-rata, dalam sehari di tahun-tahun itu, para gurandil bisa mendapatkan lebih dari 10 juta dari hasil menambang. Cuan pun melimpah ruah. Bahkan, para pencuci motor saja bisa mendapat penghasilan 1 juta per hari.
Sayang, gegara nafsu serakah manusia, cerita lumbung emas yang melegenda itu pun perlahan sirna. Seiring konflik sosial yang meluluhlantahkannya di tahun 1998.
Kini, ingatan lama yang sempat terkubur dalam itu kembali muncul ke permukaan. Di tengah beredarnya kabar akan beroperasinya kembali para gurandil. Kita atau siapa pun, tentu tak ingin kejadian serupa di tahun 98-an itu kembali terjadi.
Kalaupun betul itu terjadi, maka penduduk di Bogor Barat lah yang mestinya mendapat prioritas. Karena setelah sekian lama harta karun itu dikeruk, mereka tak merasakan dampaknya. Seperti sempat disinggung di Gedung DPR saat Raker Komisi VII dengan PT Antam, satu pun pengusaha tak pernah betul-betul muncul dari daerah ini.
Satu hal yang saat ini terasa pasca kehadiran para penambang dan perusahaan-perusahaan yang mengeruk emas maupun panas bumi di Halimun Salak, udara yang lebih panas, aliran sungai yang tercemar, dan jalan-jalan yang rusak parah gegara kendaran berat yang lalu lalang. [ ]