Berebut Cuan di Kanal Digital

Gugatan RCTI soal UU Penyiaran membuat siaran live yang selama ini marak dilakukan publik di sosial media menjadi terancam.

Berebut Cuan di Kanal Digital
Ilustrasi foto/MMG.
Gugatan RCTI soal UU Penyiaran membuat siaran live yang selama ini marak dilakukan publik di sosial media menjadi terancam.

 

WAHYU Agung Prasetyo adalah pria kelahiran Jakarta 5 Agustus 1993 silam. Sutradara film Tilik yang kini viral di media sosial ini sebetulnya terbilang baru menekuni dunia film. Wahyu bahkan tak pernah menyangka jika film pendek hasil garapannya bisa mengguncang jagat seni pertunjukkan tanah air justru melalui aplikasi berbagi video, bukan layar lebar atau televisi tradisional yang selama ini menjadi raja diraja.

“Sama sekali tak menyangka, bahkan hingga saat ini saya speechless. Karena sejak dua tahun terakhir, distribusi film-film kita memang ke festival film dan pemutaran alternatif,” ujar Wahyu saat diwawancarai di sebuah stasiun televisi.

Ya, film ini sejatinya menyuguhkan konsep dan tema yang sangat sederhana. Namun berhasil membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Meski tokoh utama dalam film tersebut, Bu Tejo sangat menyebalkan, namun oleh netizen segera dinobatkan sebagai super villain, mengalahkan Thanos atau bahkan Joker sekalipun.

Tilik pun kini membuka mata banyak orang, termasuk insan pertelevisian yang kini tengah berjuang di Mahkamah Konstitusi, jika saat ini telah terjadi pergeseran besar. Bahwa untuk mendapatkan hiburan yang realistis, orang tidak lagi harus menyalakan televisi.

Sejak jauh hari, insan pertelevisian sejatinya sudah diingatkan oleh perkembangan terbaru di negara asal pelantar berbasis video tersebut, yaitu Amerika Serikat. Beberapa kali, Youtube juga sudah mengumumkan, jika perkembangan penggunanya di seluruh dunia kian meningkat tajam.

Meski masih terpaut jauh dibandingkan TV yang disaksikan selama 1,25 miliar jam di wilayah Amerika Serikat, namun menurut data Nielsen, di periode yang sama seperti dilansir CNBC, angka viewership YouTube itu sudah meningkat hingga 10 kali lipat dibandingkan lima tahun sebelumya pada 2012.

Durasi waktu menonton di YouTube juga cenderung terus meningkat, sementara TV sebaliknya. Bukan tidak mungkin suatu ketika YouTube bisa menyalip TV sebagai pilihan utama dalam menyaksikan konten video.

Di Amerika, ada beragam cara untuk menyikapi kedigdayaan Youtube. Mulai dari membuat chanel tersendiri di kanal Youtube untuk menyalurkan konten offline televisinya. Ini artinya, televisi mencoba berdamai dengan Youtube. Atau membuat tayangan lebih kreatif lainnya supaya bisa bersaing dengan Youtube.

Sejatinya, insan pertelevisian juga bukannya tidak sadar akan realitas tersebut. Sudah lama ada kesadaran bahwa Indonesia diprediksi mengalami kerugian triliunan rupiah dalam satu bulan dan puluhan triliun rupiah dalam setahun apabila tetap mengandalkan sistem TV Analog dan tidak migrasi ke sistem TV Digital.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah amat lama menjelaskan jika TV analog memakan banyak frekuensi yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan digitalisasi salah satunya jaringan 5G yang telah lama dinanti. Sayang, ide migrasi tersebut terlalu lama dan tak kunjung dieksekusi.

Belakangan, dua stasiun televisi RCTI dan iNews malah menempuh jalur lain, dengan menggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix tunduk pada UU Penyiaran. RCTI dan iNews merasa khawatir jika akan marak konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.

Hal itu terungkap dalam permohonan judicial review seperti dilansir laman MK, Kamis (27/8/2020). Permohonan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi:

Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.

RCTI-iNews merupakan penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio yang tunduk kepada UU Penyiaran. Tapi, di sisi lain, banyak siaran yang menyiarkan berbasis internet tidak tunduk pada UU Penyiaran. Akibatnya, konten siaran RCTI-iNews diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sedangkan konten siaran berbasis internet tidak ada pengawasan. Hal ini yang membuat RCTI-iNews khawatir.

"Bahkan, yang tidak kalah berbahaya, bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet memuat konten siaran yang justru memecah belah bangsa dan mengadu-domba anak bangsa," bebernya.

Menurut RCTI-iNews, rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo menimbulkan multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik. Keduanya mencontohkan pernyataan Ketua KPI Agung Suprio yang akan mengawasi YouTube dan Netflix tapi langsung menuai reaksi dari masyarakat.

Terkait gugatan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan apabila permohonan pengujian Undang-Undang Penyiaran yang dilakukan iNews TV dan RCTI dikabulkan, masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial karena terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/8).

Apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum dikatakannya akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Selanjutnya perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.

Lebih lanjut, Ramli mengakui kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran, tetapi usulan agar penyiaran yang menggunakan internet termasuk penyiaran disebutnya akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan Undang-Undang Penyiaran.

Pada akhirnya, persolan juga tidak cuma soal kecepatan melakukan konvergensi tapi juga soal aturan main. Sudah ada banyak juga kasus yang menunjukkan maraknya konten-konten yang menuntut etika informasi dan penggunaan media digital. Karena sudah banyak pula yang harus berurusan dengan pihak berwajib.

Perlu ada undang-undang baru oleh DPR dan Pemerintah yang mengatur layanan siaran melalui internet. Sementara Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) harus mempercepat digitalisasi nasional, terutama di sektor penyiaran digital lewat kebijakan migrasi TV analog ke digital (analog switch off/ASO).

Dan yang terpenting, tentu saja jangan sampai semua aturan itu dibuat sekadar mengatur perebutan cuan di kanal-kanal digital saja. Tapi juga soal pentingnya konten-konten yang berisi narasi-narasi positif membangun keadaban digital. 

Penulis/Reporter: Fahri Septian

Editor: Ma'ruf Mutaqin