Stimulus Ekonomi di Tengah Pandemi

Seumpama kopi, pandemi Covid-19 memang pahit, tapi sejatinya mengajarkan kita untuk tidak tergoda dengan tawaran gula dan creamer. Fokus merasakan dan mengatasi pahitnya, selesaikan perang melawan pandemi lalu beranjak kepada stimulus ekonomi dan sebagainya.

Stimulus Ekonomi di Tengah Pandemi
Ilustrasi foto/MMG.

PANDEMI COVID-19 membuat penduduk dunia benar-benar semaput. Tak hanya merusak aset penting kehidupan manusia, yaitu kesehatan, tapi juga membuat kegiatan ekonomi nyaris lumpuh. Kota-kota besar yang biasa berdenyut tiada henti, mendadak sepi. Hampir setengah penduduk bumi terpaksa harus mengunci diri, hidup dalam bunyi yang sunyi.

Lembaga sentral sistem moneter internasional, IMF telah merilis laporannya dan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 menjadi 3,3 persen saja. Ini terjadi akibat pembatasan wilayah atau penguncian yang membuat kegiatan ekonomi nyaris lumpuh.

Negara-negara G20 juga sudah merilis angka keramatnya (pertumbuhan ekonomi), kuartal pertama tahun 2020. Negeri Paman Sam Amerika mengalami kontraksi 4,8 persen. Sementara ekonomi di negara-negara zona Euro sebesar 3,3 persen akibat kontraksi sebesar 7,5 persen pada 2020. Sementara di Indonesia, realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal 1 tahun 2020 tertekan hingga ke level 2,97 persen.

Banyak analis mengatakan dampak ekonomi dari krisis Covid-19 telah menimbulkan krisis yang melampaui great depression di tahun 1930-an sekalipun. Sekjen PBB, Antonio Guterres juga menyebut krisis kali ini lebih parah dari krisis setelah perang dunia kedua.

Untuk mengantisipasi dampak resesi akibat pandemi, Indonesia telah merancang berbagai langkah untuk pemulihan ekonomi. Anggaran sebesar Rp405,1 triliun telah dan akan dialokasikan untuk sejumlah pos; jaring pengaman kesehatan (75T), jaring pengaman sosial (110 T), dan jaring pengaman ekonomi (70,1 T).

Sayang, stimulus tersebut dinilai banyak kalangan terlalu kecil dan tidak berjalan efektif. Apalagi stimulus tersebut juga tak dibarengi dengan kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan. Alih-alih menimbulkan kerumunan dan berpotensi memperlambat prediksi berakhirnya pandemi.

Di tengah kondisi dunia yang ambruk dan hati yang gundah gulana, kita melihat ada beberapa negara yang memiliki racikan penanganan pandemi dan resep stimulus ekonomi yang cukup manis dan realistis; Tiongkok, Korea Selatan, dan Vietnam.

Ini adalah kali ketujuh Diskusi Kopi Pahit dihelat di masa Pandemi Covid-19. Tepat pukul 09.30 WIB diskusi yang hadir sebagai upaya Monday Media Group mendukung kebijakan pemerintah untuk tetap di rumah selama pandemi ini akan dimulai. Namun sejak pagi buta Natsir (Presiden Kopi Pahit), si host yang tengah hit sudah duduk rapi di depan layar zoom meeting. Rupanya, itu karena tetamu yang hadir di diskusi kali ini memang bukan sembarangan.

Saya sangat berterimakasih kepada Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok Djauhari Oratmangun, Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Bapak Umar Hadi, Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Bapak Ibnu Hadi dan Ekonom CORE Indonesia Ibu Hendri Saparini. Kehadiran mereka membuat Diskusi Kopi Pahit pada Selasa (19/05/2020) pagi menjadi lebih hangat.

Kesemua pembicara bisa menyajikan racikan kopi dan narasi yang nyaris sempurna. Meminjam ungkapan Sandrina Malakiano dalam diskusi Kopi Pahit beberapa hari sebelumnya, bahwa kopi pahit adalah kopi paling sehat dan paling benefisial. Ini terbukti!

Bicara soal stimulus ekonomi, keberhasilan China mengembalikan aktivitas ekonominya ke posisi normal tak lepas dari peran pemerintah yang benar-benar memberikan stimulus ekonomi bagi warganya.

Di tengah pandemi Covid-19 masih bergeliat dan berdampak sistemik pada sektor ekonomi di hampir semua negara di dunia, aktivitas-aktivitas ekonomi China justru sudah kembali berjalan normal. Hal ini diungkapkan Duta Besar (Dubes) RI untuk China, Djauhari Oratmangun.

Putra asal Tanibar, Maluku ini mengungkapkan, keberhasilan China mengembalikan aktivitas ekonominya ke posisi normal tak lepas dari peran pemerintah yang benar-benar memberikan stimulus ekonomi bagi warganya.

Aktivitas ekonomi tersebut, dikatakan Djauhari dimulai dari kondisi ekonomi Tiongkok untuk triwulan pertama yang terkontraksi 6,8 persen. FDI turun 10,8 persen, untuk triwulan pertama jumlahnya 31,2 milliar. ODI Triwulan pertama 24,25 milliyar turun sektiar 10 persen. Volume perdagangan ke seluruh dunia juga menurun 6,4 persen.

“Sejak akhir Februari lalu, semua sentra ekonomi sudah diinstruksikan supaya mulai berproduksi, jadi perediksi sekarang mudah-mudahan triwulan kedua sudah mengarah ke positif," ujarnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, ada beberapa kebijakan strategis yang diterapkan China sehingga sukses menjalankan kembali sektor ekonominya. Sebut saja misalnya di sektor moneter, ada kebijakan moneter dari Bank Central China. Kemudian, adanya kebijakan membebaskan jalan tol, hingga menerapkan pemotongan biro wajib minimum dengan dana 1,75 triliun.

Untuk UMKM sendiri Pemerintah Tiongkok memberikan prioritas, lalu memberikan insentif terhadap bank-bank besar milik negara, penangguhan bunga pinjaman, meningkatkan dukungan untuk produksi pertanian musim semi maupun pengembangan perternakan, lalu bebas sewa selama 2 bulan.

"Jadi cukup banyak yang dilakukan pemerintah China pada pelaku ekonomi di negerinya. Jadi cukup signifikan," tandas Djauhari.

 

Bergerak cepat atasi pandemi

Duta Besar Vietnam punya kisah yang tak kalah menarik, menurutnya sukses Vietnam menurunkan kurva persebaran virus corona adalah tindakan cepat. Sejak awal, Vietnam memang bergerak cepat, mereka tahu virus ini mematikan, begitu juga warganya mereka sama sadarnya.

Menurut Ibnu Hadi, stabilitas ekonomi memang penting, namun penanganan wabah jauh lebih penting. Keduanya harus saling melengkapi, tak bisa dipilih salah satunya.

"Mengenai pengalaman Vietnam, mungkin yang bisa dipelajari atau menyamar menjadi referensi Indonesia adalah bahwa ekonomi adalah penting khususnya untuk negara berkembang, tetapi memang Covid dengan ekonomi itu adalah dua hal yang harus sifatnya back to back, jadi penanganan kesehatan terlebih dahulu," tuturnya. 

Karena itu, kata Ibnu Hadi, Pemerintah di Tanah Air mesti segera mengatasi pandemi Covid-19. Menurutnya, jika pemerintah tidak dapat mengatasi Covid-19 dengan cepat maka ekonomi juga bergerak lamban.

"Kebijakan mengenai ekonomi dan itu memang harus segera diantisipasi sejak dini, sejak awal supaya ekonomi cepat bergerak kembali karena tanpa ekonomi juga nanti masyarakat Indonesia bisa lumpuh, kita ya kita juga negara berkembang sehingga perlu penanganan secara cepat," pungkasnya.

Kolaborasi di Tengah Pandemi

Cara Korea Selatan mengatasi pandemi dan memberikan stimulus ekonomi juga menarik dan patut jadi contoh. Seperti Indonesia, Korsel tidak memilih penguncian wilayah. Tapi dukungan masyarakat begitu kuat, sehingga pemerintah bisa menjalankan kebijakannya dan masyarakat membantunya. Ya, kolaborasi di tengah resesi memang jadi esensi stimulus ekonomi.

Keberhasilan Korea Selatan dalam menangani virus corona (Covid-19) yang belum banyak orang ketahui adalah karena pemerintahnya berhasil mendelegasikan sebagian dari tanggung jawab negara ke masyarakat. Sehingga masyarakat merasa bertanggung jawab untuk menangani virus ini.

Demikian disampaikan oleh Dubes RI untuk Korea Selatan Umar Hadi. Ia mengatakan, Korsel merupakan satu dari sedikit negara yang tidak melakukan lockdown, PSBB atau jenis karantina lain. Selain itu, kegiatan ekonomi juga masih berjalan, pasar-pasar tidak ada yang tutup meskipun di masa darurat pandemi. Namun meski begitu, tanggung jawab untuk menangani virus sebagian dipegang oleh masyarakat.

"Misalnya di kota Daegu, salah satu kota industri di korea. Para pemimpin industrinya melakukan hal sedemikian rupa agar karyawannya tidak terjangkit virus corona. Karena mereka menyadari bahwa survival perusahaannya tergantung ada yang terjangkit atau tidak karyawannya," ujar Umar Hadi.

Di samping masyarakat merasa bertanggung jawab, pemerintah juga mengimbanginya dengan dua hal. Pertama, pemerintah melakukan profesional prepareness, atau kesiapsiagaan terkait dengan penanganan wabah, yang dilakukan oleh seluruh bidang lembaga dari tingkat pusat sampai kelurahan.

"Misalnya yang terjadi saat masa darurat di daerah Daegu di wilayah perkampungannya, petugas kelurahan mengumumkan dengan menggunakan 'Toa' terkait perkembangan wabah di daerah tersebut. Kalau di kota mungkin memberikan pengumuman itu melalui sms atau teknologi lainnya, namun di perkampungan mereka berinovasi untuk memberitahukan warga sekitar dengan cara yang low tech," tutur Dubes Umar Hadi.

Kemudian kedua, yakni adanya koherensi pemerintah di berbagai sektor. Kebijakan yang diambil seluruhnya sama dari pusat hingga daerah. "Yang berarti ada satu kesatuan dari A sampai Z sama semua, dari pusat sampai ke tingkat paling bawah, sehingga ada kepercayaan yang tinggi dari masyarakat kepada pemerintah untuk menangani virus ini," jelas Umar Hadi.

Saat ini, yang jadi fokus Pemerintah Korsel adalah mengkampanyekan bagaimana cara hidup yang baru pasca-pandemi. Pemerintah dalam hal ini telah menerbitkan panduan terkait cara hidup yang baru sehari-hari.

"Sebab masyarakat korea selatan percaya bahwa ini bukan pandemi yang terakhir dan ke depan masih ada dan ada lagi. karena itu pola hidup masyarakat yang harus diubah untuk beradaptasi dengan situasi yang baru, bahwa hidup berdampingan dengan virus adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari," ungkap umar Hadi.

Tak hanya dalam menangani wabah, Umar Hadi mengungkapkan, Pemerintah Korsel juga memakai cara yang sama dalam memberikan stimulus ekonomi, yakni pendelegasian sebagian tanggung jawab kepada pelakunya.

"Tapi di samping itu pemerintah Korsel fokus pada elemen-elemen usaha yang paling rentan. Jadi bantuan langsung itu diberikan kepada usaha mikro kecil menengah yang jumlahnya besar. Bentuknya seperti dukungan fiskal, keringanan pajak, dukungan administrasi dan lain-lain," ungkapnya.

Selain itu, Pemerintah Korsel juga mendorong industri yang berkaitan langsung dengan ekspor, kemudian industri penerbangan dan angkutan laut, serta industri pariwisata.

"Kemudian pemerintah memberikan bantuan langsung seperti BLT di Indonesia. Jadi pemerintah memberikan bantuan cash transfer kepada keluarga keluarga miskin yang jumlahnya sekitar 6 juta, sehingga mereka bisa belanja lagi dan juga produsen-produsen usaha mikro bisa kembali jualan lagi," tandas Dubes.

 

Penopang Ekonomi Indonesia

Ekonom Hendri Saparini membenarkan, jika penanganan pandemi Covid-19 suatu negara akan menentukan persepsi pasar. Hal tersebut bahkan lebih penting di mata investor daripada paket stimulus ekonomi. Mengingat tidak ada satu negara pun yang tidak terpengaruh oleh pandemi ini.

Menurutnya, dari apa yang terjadi di Vietnam, Korsel, maupun Tiongkok, maka yang perlu digarisbawahi adalah pelonggaran hanya dilakukan ketika grafik penyebaran virus korona sudah menurun. Yaitu ketika wabah telah terkendali.

Saya satu pandangan dengan Hendri Saparini bahwa, secara mendasar perekonomian Indonesia berbeda dengan Vietnam, Tiongkok, dan Korea Selatan. Vietnam terlihat sangat lincah dan responsif sebelum dan selama pandemi berlangsung. Tiongkok memiliki cadangan devisa dan ukuran ekonomi yang sangat besar. Demikian juga dengan Korea Selatan.

Soal Indonesia, seperti juga disebut Hendri Saparini, ekonomi bertumpu pada Konsumsi Rumah Tangga. Demikian pula dengan sektor UMKM dan informal.

 “Tak kurang dari 56% ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi Rumah Tangga”, kata Hendri Saparini. Struktur ekonomi Indonesia berbeda dengan negara lain.

Dengan demikian stimulus untuk mendongkrak daya beli rumah tangga sangat penting. Misalnya dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ketepatan sasaran dalam penyaluran bantuan sosial ini sangat diperlukan. Disamping itu juga melibatkan SDM yang ada untuk bekerja dalam berbagai sektor yang produknya diperlukan di era pandemi.

“Budaya internet di Indonesia tinggi namun level pendidikan SDM kita lulusan SD-SMP”, lanjut ekonom Core Indonesia ini.

Dari sini Indonesia harus mengukur kemampuannya dengan menyesuaikan diri pada perkembangan digital tanpa melupakan fakta di lapangan. Misalnya dengan membangun ekosistem digital bagi sektor pertanian.

Hendri Saparini juga mengusulkan agar suntikan stimulus ke BUMN seperti Garuda dan PTP misalnya, harus diupayakan memberi dampak seluasnya-luasnya termasuk bagi UMKM untuk dilibatkan dalam mata rantai usaha yang dilakukan BUMN tersebut.

Seumpama kopi, pandemi Covid-19 memang pahit, tapi sejatinya mengajarkan kita untuk tidak tergoda dengan tawaran gula dan creamer. Fokus merasakan dan mengatasi pahitnya, selesaikan perang melawan pandemi lalu beranjak kepada stimulus ekonomi dan sebagainya.

Untuk memberi tambahan energi, kita kuatkan ekonomi keluarga, bantu tetangga, atau dorong industri farmasi lokal. Salah satunya industri farmasi berbasis herbal, yang ternyata potensial. [ ]