Bagaimana Nasib Industri kita Pak Menteri?

Industri Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kecil. Masalah sinergi kebijakan, kinerja sektor industri, dan fluktuasi nilai tukar ada di depan mata. Sinergi kebijakan diharapkan mampu mengurangi hambatan investasi di Indonesia.

Bagaimana Nasib Industri kita Pak Menteri?

 

MONDAYREVIEW.COM – Industri Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kecil. Masalah sinergi kebijakan, kinerja sektor industri, dan fluktuasi nilai tukar ada di depan mata. Sinergi kebijakan diharapkan mampu mengurangi hambatan investasi di Indonesia.

Di satu sisi, Pemerintah mengklaim ada beberapa indikator yang memberi harapan bagi pertumbuhan dan penguatan sektor industri di tanah air. Di sisi lain, sebagian pengamat dan kalangan pelaku usaha menilai terjadi deindustrialisasi dini di tanah air.

Banyaknya barang impor menjadi lampu kuning di sektor perdagangan dan perindustrian. Investasi di sektor perdagangan khususnya impor dikhawatirkan lebih besar dan dominan dibanding sektor industri yang menghasilkan barang baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan juga untuk ekspor.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada kuartal I tahun 2019 naik 4,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Jumlah tersebut juga lebih lebih tinggi dari sepanjang 2018 yang hanya 4,07%. Kenaikan produksi IBS ditopang oleh sektor industri pakaian jadi yang naik 29,19% karena melimpahnya order, terutama dari pasar ekspor.

Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri tekstil dan pakaian termasuk dari lima sektor yang disiapkan menjadi andalan dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia. Industri TPT merupakan salah satu sektor manufaktur yang dikategorikan strategis dan prioritas dalam perannya menopang perekonomian. Demikian dilansir dari setkab.go.id.

Industri TPT telah menyerap tenaga kerja sebanyak 3,6 juta orang. Ini yang menjadikan industri TPT sebagai sektor padat karya dan berorientasi ekspor.

Sektor IBS lain yang produksinya tumbuh pesat adalah industri minuman sebesar 24,8%, lalu disusul industri percetakan dan reproduksi media rekaman 21,44%, industri pengolahan tembakau 17,19%, dan industri furnitur 12,92%.

Menperin RI Airlangga Hartarto optimistis kinerja industri tekstil dan produk tesktil serta industri makanan dan minuman mampu tumbuh tinggi pada semester I 2019. Pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil (IMK) pada kuartal I-2019 naik 6,88% terhadap periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah tersebut juga meningkat 4,55% terhadap kuartal IV-2018.

Secara tahunan BPS mencatat, kenaikan IMK didorong oleh produksi industri percetakan dan reproduksi media rekaman sebesar 29,63%. Kemudian, produksi industri komputer, barang elektronika dan optik yang naik 15,76%.

Geliat industri manufaktur Indonesia juga terlihat dari capaian purchasing manager index (PMI) yang dirilis oleh Nikkei.

PMI manufaktur Indonesia pada April 2019 berada di angka 50,4. Peringkat di atas 50 menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif.

Nikkei melaporkan, pada periode April 2019, ekspor naik untuk pertama kalinya dalam kurun waktu hampir satu setengah tahun, kemudian jumlah tenaga kerja juga terus naik. Selanjutnya, sentimen bisnis masih bertahan positif. Dan, dari segi harga, tekanan biaya berkurang.

Industri manufaktur merupakan tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu menjadi sektor andalan dalam memacu pemerataan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang inklusif.

Potensi Deindustrialisasi Dini di Indonesia

Meski deindustrialisasi dan transformasi struktural ekonomi merupakan fenomena alamiah dan terjadi secara global, namun demikian deindustrialisasi di Indonesia terjadi cepat (deindustrialisasi dini). Demikian pendapat Ekonom INDEF, Izzudin Al Farras (14/04/2019).

Lebih lanjut Izzudin menambahkan bahwa dalam 10 tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7 persen. Padahal negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia, penurunan porsi manufakturnya terhadap PDB tidak lebih dari 4 persen.

Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia berdampak ke beberapa hal. Salah satunya turunnya penerimaan perpajakan, padahal manufaktur menjadi sektor tertinggi dalam menyumbang pajak dengan kontribusi sebesar 30 persen.‎

Ada 5 masalah investasi yang krusial dan berpengaruh pada tumbuhnya industri di Indonesia, yaitu  masalah inkonsistensi peraturan dan perpajakan, kualitas tenaga kerja, ketersediaan lahan dan hambatan izin pembangunan, kualitas infastruktur, dan keluhan berkaitan dengan pekerja asing.