Australia Enggan Ikuti Nol Emisi 2050, Bagaimana dengan Indonesia

Australia Enggan Ikuti Nol Emisi 2050, Bagaimana dengan Indonesia
No Emisi 2020 (Foto: Istimewa)

MONITORDAY.COM - Perdana menteri Australia, Scott Morrison menolak berkomitmen pada target PBB untuk emisi nol pada 2050. Dia lantas menyatakan enggan  menandatangani cek kosong atas nama warga Australia untuk target tanpa rencana.

Baginya, Warga Australia berhak mengetahui rencana itu secara rinci, termasuk implikasi dan biayanya.Sebelumnya, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB telah memperingatkan bahwa selama 20 tahun ke depan, suhu global diperkirakan akan mencapai atau melebihi 1,5 derajat Celcius.

Sebuah laporan oleh para pakar di IPCC memproyeksikan bahwa dalam beberapa dekade mendatang, perubahan iklim akan meningkat di semua wilayah, termasuk gelombang panas, musim hangat yang lebih panjang, dan musim dingin yang lebih pendek.

“Pada pemanasan global 2°C, panas yang ekstrem akan lebih sering mencapai ambang batas toleransi untuk bidang pertanian dan kesehatan,” papar laporan itu.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut laporan itu sebagai "kode merah untuk kemanusiaan.

Dia menambahkan bahwa menjelang konferensi iklim Glasgow pada November, semua negara – terutama ekonomi G20 – perlu bergabung dengan koalisi nol emisi bersih, dan memperkuat janji mereka untuk memperlambat pemanasan global.

Namun, perdana menteri Australia bersikeras akan mengambil rencana yang jelas yang layak diketahui oleh warganya.

Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) merilis laporan terbaru berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” yang menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon pada 2050.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa  mengatakan, laporan itu adalah kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon dalam sistem energi nasional.

Fabby menambahkan bahwa langkah pertama dan krusial dari upaya dekarbonisasi adalah dengan mencapai puncak emisi paling lambat pada 2030.

Menurutnya, dukungan kebijakan yang kuat akan membuat pembangkit energi terbarukan dapat dikembangkan dengan masif disertai dengan penurunan kapasitas pembangkit listrik fosil.

Laporan tersebut menggunakan model transisi sistem energi yang dikembangkan oleh Lappeenranta University of Technology (LUT), sehingga memperlihatkan bahwa Indonesia mampu menggunakan 100 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan, industri, dan transportasi.

Satu dekade mendatang akan menjadi penentu bagi upaya dekarbonisasi di Indonesia. Untuk mulai menurunkan emisi gas rumah kaca, Indonesia perlu memasang sekitar 140 gigawatt energi terbarukan dengan komposisi 80 persen pembangkit listrik tenaga surya pada 2030.

Selain itu, penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada 2030. Suatu peningkatan yang sungguh dramatis bila dibandingkan dengan tingkat penjualan kendaraan listrik yang masih minim saat ini.

Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti oleh energi biomassa. Hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2025.