Apa Strategi Ekonomi Nasional Menyongsong Hari Kebangkitan Nasional ke-111 Tahun? (Bagian 1)

Pilihan strategi ekonomi nasional akan menentukan apakah kita akan bangkit atau tenggelam sebagai sebuah bangsa

Apa Strategi Ekonomi Nasional Menyongsong Hari Kebangkitan Nasional ke-111 Tahun? (Bagian 1)
petani kita (c) aventsaur

 

MONDAYREVIEW- Hari Minggu atau Ahad, tanggal 20 Mei 2018, kita Bangsa Indonesia memperingati Kebangkitan Nasional yang diinspirasi dari lahirnya sebuah organisasi pergerakan para pribumi dengan nama Budi Oetomo. Sampai dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka semangat Budi Oetomo menjadi katalisator bagi para pejuang suku bangsa yang telah hidup di NKRI untuk lebih strategis berjuang.

Namun, pasca Proklamasi Kemerdekaan, NKRI selalu menghadapi konflik politik yang membuat "terganggunya" pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia. Puncaknya adalah pada Tahun 1965 terjadi pemgambilalihan kekuasaan sebagai akibat dari adanya gerakan sebagian kelompok orang atau organisasi yang dicurigai akan mengganti Ideologi Negara Pancasila, dan pada akhirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) ditetapkan sebagai partai terlarang melalui TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966.

Sejarah kemudian mencatat Mayor Jenderal TNI Soeharto kemudian ditetapkan secara resmi sebagai Presiden kedua Republik Indonesia pada Sidang Umum MPRS melalui Ketetapan MPRS Nomor XLIV pada tanggal 27 Maret 1968 setelah sebelumnya menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan pejabat Presiden RI tanggal 12 Maret 1967.

Presiden Soeharto membangun perekonomian bangsa yang porak poranda melalui kebijakan pembangunan nasional yang dijalankannya secara terencana, bertahap dan terarah serta yang terpenting adalah pro pada rakyat banyak dan sejatinya merupakan juga gagasan dari Perencanaan Pembangunan Semesta Raya dari almarhum Bung Karno yang tak berjalan. Presiden Soeharto kemudian menyampaikan strategi pembangunan bertahap 5 (lima) tahunan yang dikenal dengan nama Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).

Agaknya Pemerintah saat ini perlu kembali menjadikan kebijakan perencanaan nasional  secara bertahap ini untuk mengulangi keberhasilan pembangunan ekonomi di era Orde Baru atau prestasi terdahulunya (sucess factor). melalui konsepsi perencanaan pembangunan Indonesia yang pada Tahun 1984 berhasil mencapai swasembada beras dan memperoleh penghargaan dari Badan Pangan Dunia (FAO).

Realitas Ketimpangan Ekonomi

Sesuai data dan informasi yang telah dipublikasi secara luas bahwa selama 3 tahun terakhir pemerintah telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 5 persen per Tahun. Lalu bagaimana  dengan isu dan permasalahan mengembalikan peran pribumi ke kancah perekonomian nasional yang telah dibangun oleh mantan Presiden Soeharto sebelumnya.

Namun juga ketimpangan ekonomi yang dihasilkan dengan semakin mengguritanya bisnis para taipan yang juga dibantu perkembangannya selama Orde Baru dan menjadi kroni pemerintahaan kala itu. Perlu konsolidasi yang lebih luas secara nasional menghadapi ketimpangan ekonomi di Indonesia terkini agar tak kembali menjadi sumber petaka politik sebagaimana yang terjadi di masa lalu.

Perbaikan di berbagai sektor harus menjadi prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama untuk cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dan, sesuai janji Trisakti dan Nawacita, maka kebijakan pemihakan ekonomi (economic affirmative action) harus diarahkan setidaknya pada 2 (dua) entitas ekonomi dan bisnis yang diperintahkan oleh konstitisi pasal 33, yaitu BUMN dan Koperasi.

Agak aneh rasanya, jika di negara-negara lain seperti, Denmark, Swiss, Jepang, Korea Selatan justru entitas bisnis BUMN dan Koperasi lah yang berskala besar. Di bidang pertanian, perikanan dan kelautan nilai tukar dan daya beli petani semakin menurun serta kepemilikan atas lahan semakin berkurang atau hanya sebagai petani penggarap saja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada bulan September 2017 (Triwulan III) Nilai Tukar Petani (NTP) saat itu adalah sebesar 102,22 atau naik sebesar 0,61persen dari sebelumnya sebesar 101,60. Kenaikan NTP ini disebabkan oleh indeks harga yang diterima oleh petani naik sebesar 0,49 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar oleh petani turun sebesar 0,12 persen atau ada selisih sebesar 0,37 persen. Sedangkan Nilai Tukar Nelayan (NTN) hanya naik sebesar 0,14 persen dan itu didominasi oleh naiknya nilai tukar dari pembudi daya ikan yaitu sebesar 0,21 persen.