Andi Amran Sulaiman: Jiwa Petani Bersemayam dalam Dirinya

Sikap pengabdian Amran memang bukan hanya berhenti pada kata-kata, namun memang telah mengalir dalam sikap perbuatannya sehari-hari. Ya, sejak lama, jiwa petani memang bersemayam dalam dirinya.

Andi Amran Sulaiman:  Jiwa Petani Bersemayam dalam Dirinya
Amran Sulaiman

Di masa pemerintahan Orde Baru, para petani di Indonesia bisa dibilang “ada namun tiada”. Disebut ada, karena untuk sekian waktu keberadaan mereka sempat menempati posisi penting di negeri ini. Termasuk para petani di kampung dimana Amran yang kala itu bermukim di daerah Bone, Sulawesi Selatan. Para petani seolah dimanjakan, karena waktu itu jaminan modal, bibit, pupuk, hingga harga yang baik pasca panen mereka dapatkan dengan mudah dari pemerintah.

Pun demikian dengan nasib para ilmuwan pertanian, mereka amat spesial di mata penguasa orde baru. Melalui merekalah para petani kita mampu meraih posisi tertingginya sebagai petani pada tahun 1984. Pasalnya, di tahun tersebut Indonesia berhasil menjadi negara yang berswasembada beras. Amran yang lahir dan menghabiskan masa kecilnya di masa-masa itu (1970-an) masih ingat betul, bila saat-saat itu ia masih sempat bermimpi bila dengan menjadi petani pun kita bisa sejahtera dan bahagia.

Amran tumbuh dan besar dalam lingkungan pertanian, rumah mungilnya di pinggir sebuah kali menjadi saksi bagaimana Amran kecil menghabiskan waktu bermainnya dengan membantu orangtuanya bersama para petani bercocok tanam. Saat masa tanam padi tiba, Amran (begitu sapaan kecilnya) tak pernah mau melewatkan para petani ke sawah. Meski terkadang, ia hanya ingin bermain-main di atas rakkala (alat bajak yang ditarik oleh kerbau) atau sekadar mencari belut bersama teman-temannya di sawah. Amran kecil memang sosok yang selalu ingin tahu apa yang akan dilakukan kedua orangtuanya, termasuk ketika mereka pergi ke kebun untuk menyadap karet atau menanam jagung.

Rontoknya Ketahanan Pangan

Malang bukan kepalang, pamor para petani kita perlahan meredup seiring dengan menurunnya produksi beras. Penggunaan pupuk dan pestisida yang dipaksakan untuk melecut produksi beras Indonesia kala itu ternyata membuat lahan pertanian mengalami kerusakan. Unsur hara yang terkandung dalam tanah secara alami mengalami penurunan secara drastis. Aktivitas mikroorganisme tanah juga mengalami kelumpuhan, karena tak mampu mereproduksi unsur hara. Hama tikus juga menjadi sulit dikendalikan.

Amran teringat betul akan masa sulit yang dialami para petani di tanah kelahirannya lantaran porak porandanya pondasi pertanian Indonesia pada masa-masa terakhir kekuasaan orde baru. Karena hasil produksi sawah tak lagi bisa diandalkan, banyak dari meraka yang memilih untuk menjadi buruh di perkebunan. Untuk sekian waktu, hasil dari pekerjaannya sebagai buruh cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Hingga akhirnya, Orde Baru pun jatuh lalu perkebunan karet dan cengkeh pun ikut jatuh. Para petani kembali harus terpuruk, dan hanya bergantung pada hasil ladang. Saking sulitnya kehidupan di masa itu, Para petani seringkali mengeluhkan yang hingga kini masih terngiang, “Jangan seperti bapak, hidup susah. Lebih baik sekolah yang tinggi, supaya kelak bisa menjadi orang.”

Bagi Amran, perkataan ayahnya tersebut tak kemudian malah membuatnya antipati terhadap pertanian. Sebaliknya, menjadi titik tolak lahirnya kesadaran kritis (critical consciousness) tentang masa depan pertanian. Amran juga yakin, bila nukilan perkataan para petani tersebut sebetulnya menyasar kepada perjuangan bahwa ‘para petani seharusnya bisa hidup lebih sejahtera di negeri ini’. Kesadaran Amran tersebut lahir dari hasil persinggungannya dengan pemikiran-pemikian kontemporer seperti Paolo Freire, Habermas hingga Anthonio Gramsci. Dari nama yang terakhir, Amran kemudian sadar untuk memaksimalkan akal budi dan meraih kesadaran tertinggi sebagai intelektual, tak cukup hanya dengan berdiam diri di menara gading, namun juga perlu terjun dalam aktivisme. Karena dengan cara seperti itu, seorang intelektual akan lebih organik, lebih dekat dengan realitas yang sesungguhnya.

Menanamkan Optimisme

Asa Amran untuk dapat memberi andil bagi dunia pertanian tak pernah lekang karena panas, lapuk karena hujan. Jiwa intelektualitasnya senantiasa menyala bila menemukan sebuah persoalan yang sulit mendapat jawaban. Sejak menempuh pendidikan tinggi di fakultas Pertanian Unhas Makassar, jiwa itu terus terbentuk.Tak heran bila sewaktu menempuh pendidikan S1, Amran telah berhasil mencatatkan sebanyak 4 hak paten penemuannya. Di Strata pendidikan Magister, Amran juga berhasil lulus dengan prestasi mengagumkan dengan cum laude dengan IPK sempurna 4,0 yang juga dilanjutkan ketika berhasil lulus dengan cum laude juga dengan IPK 4,0 di pendidikan Doktoralnya.

Dengan lahan pengabdian sebagai akademisi (dosen) dan peneliti, Amran memang bisa dikatakan sangat haus akan ilmu dan nilai-nilai intelektualitas. Semangat mencari kebenaran merupakan hal yang sangat dijunjung tinggi. Inilah yang kerap membawanya pada kegelisahan seorang intelektual bila menemukan hal yang mengganggu pikirannya. Seperti ketika dia merasakan rasa sedih para petani ketika tanaman yang menjadi tumpuan hidupnya habis karena terserang hama tikus. Kegelisahan intelektual inilah yang kemudian terus membawanya hingga pada penemuan dan terobosan bagaimana menanggulangi serangan hama tikus tersebut.

Tikus adalah salah satu hama pengganggu yang sangat merepotkan petani. Saat menyerang, kerugian yang ditimbulkan pasti cukup serius. Namun bagi Amran, hama tikus justru menjadi berkah hidup. Gara-gara binatang ini, ia berkesempatan menjabat tangan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dengan bangga sembari menerima Satyalencana Kategori Perorangan Bidang Wirausaha Pertanian, di Palembang 7 Juli 2009 lalu. Temuannya, berupa racun tikus yang lebih ekonomis dan efisien dari yang sudah ada, menempatkan Amran sebagai warga yang sangat berjasa menekan kehilangan produk padi dari serangan hama tikus.

Kesadaran Amran tentang pentingnya akal budi dan kreativitas, menghantarkannya menjadi seorang peneliti. Tepatnya peneliti alat pemusnah hama tikus. Bagi Amran ketika itu mudahnya, pikirnya bagaimana caranya bisa menolong para petani dari kesulitan. Dan alat pemusnah hama tikus diyakininya menjadi jalan untuk memberi andil buat mereka (para petani).

Pengalaman Amran sebagai peneliti yang menemukan alat pemusnah hama tikus, membuat dirinya terbiasa hidup dengan penuh dialektika, sistematis, konsisten, telaten serta tak kenal putus asa. Pengalaman itu pula yang mengajarkannya menjadi seorang yang kreatif dan inovatif mengelola hidup ini dengan melahirkan banyak hal baru yang menyentuh kemaslahatan hidup orang banyak. Karena pengabdian ini pulalah Andi Amran Sulaiman dipercaya untuk mengejawantahkan NAWACITA Pembangunan di sektor pertanian. Tugas berat yang sebetulnya menjadi kulminasi dari perjuangannya selama ‘untuk selalu bersama para petani’. Sikap pengabdian Amran memang bukan hanya berhenti pada kata-kata, namun memang telah mengalir dalam sikap perbuatannya sehari-hari. Ya, sejak lama, jiwa petani memang bersemayam dalam dirinya. [Mrf]