Anakmu Bukan Anakmu

Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putera puteri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau.

Anakmu Bukan Anakmu
Ilustrasi foto/Net

SUATU ketika ada teman istri yang mampir ke Pendopo Pengulon Yogya untuk silaturrahim. Mereka berlima dengan tiga anaknya laki-laki semua. Awalnya saya lihat mereka happy-happy saja. Rupanya setelah ngobrol soal pendidikan anak, ada persoalan cukup serius yang mereka hadapi. Anak mereka yang pertama rencananya akan masuk ke perguruan tinggi. Dia sudah lulus test dari sebuah perguruan tinggi swasta di Yogya. Tapi orangtuanya masih berharap agar anaknya mau mendaftar di perguruan tinggi negeri. Sementara anaknya justru tidak mau dan merasa sudah menemukan tempat pendidikan yang tepat.

Untungnya saya tahu perguruan tinggi yang dimaksud, dan pernah berkunjung kesana dan ketemu rektor dan para pengelolanya. Tempat pendidikannya menurut saya cukup bagus dan yang lebih utama, perguruan tinggi itu dikelola bersamaan dengan perusahaan yang bergerak di bidang IT khususnya dalam hal pengembangan animasi. Mereka bahkan sudah punya jaringan internasional dan punya karya animasi yang memenangi Festival Internasional.

Mendengar penjelasan saya, teman istri saya itu langsung berubah persepsinya. Anaknya pun bilang, itu kan Yah! Ayah sih nggak mau update! Saya tersenyum menyaksikan komentar anak tersebut. Saya tidak ingin menyalahkan orangtua anak tersebut, tetapi memang ternyata ada gap yang cukup besar antara dunia orangtua dengan anaknya, terutama terkait dengan pendidikan. Dan itu tidak lepas dari mindset yang dibawa antara anak dan orangtua. Bagi orangtua yang seusia saya atau lebih, mindset yang terbangun tentang perguruan tinggi adalah soal prestise sebuah lembaga. Kita ada kecenderungan melihat perguruan tinggi secara umum dan memilih yang kita anggap paling favorit. Sebutlah kita akan melihat UI, ITB, UGM, dan sebagainya sebagai perguruan tinggi favorit. Hal ini memang tidak lepas dari pengalaman bahwa umumnya jaringan alumni perguruan tinggi punya andil yang cukup besar ketika kita meniti karir.

Tapi untuk anak sekarang, mereka justru tidak terlalu melihat kebesaran sebuah lembaga perguruan tinggi, tapi lebih fokus kepada jurusan yang ingin mereka pilih. Mereka akan memilih sebuah jurusan atau program studi (prodi) yang menurut mereka cocok dan pas dimanapun itu perguruan tingginya. Mereka akan memilih jurusan atau prodi yang dianggap favorit meskipun itu bukan berada di perguruan tinggi yang prestisius.

Pilihan jurusan atau prodi anak sekarang pun cenderung lebih mengikuti passion mereka masing-masing, bukan jurusan yang mungkin di zaman saya dulu kuliah ada jurusan yang dianggap prestisius dan bukan. Orang di zaman saya akan merasa bangga jika bisa kuliah di kedokteran, teknik elektro, akuntansi, dsb. Tapi tidak untuk anak sekarang, mereka lebih berani mengekspresikan cita-citanya sesuai passion mereka, yang mungkin di mata orangtua dianggap pilihan yang kurang favorit. Ada kakak kelas anak saya yang lebih memilih jurusan tata boga karena dia ingin menjadi seorang tukang masak atau koki, padahal dia adalah anak terpandai di kelasnya. Atau anak saya sendiri lebih memilih ingin kuliah di jurusan design gravis karena dia suka bikin kreasi banner, poster, dsb. Di sekolahnya dia jadi andalan teman-temannya jika ada pekerjaan membuat design untuk kegiatan sekolah.

Memang kita menghadapi dunia yang berbeda dengan anak-anak kita. Kita tidak bisa memaksa mereka berada dalam mindset kehidupan kita yang tentu berbeda dengan dunia mereka. Tugas kita hanyalah mengantar mereka, membimbing mereka agar tidak terjerumus dalam pergaulan dan lingkungan yang salah. Tugas kita hanyalah menyiapkan mereka agar dapat tumbuh menghadapi dunia baru yang mungkin sangat tidak kita pahami. Saya jadi teringat dengan pesan Kahlil Gibran dalam novelnya 'Sang Nabi':

‘Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putera puteri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau. Dan walau mereka ada bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu. Kau dapat memberi mereka cinta kasihmu tapi tidak pikiranmu. Sebab mereka memiliki pikirannya sendiri.’

[Mrf]